Jakarta, Lontar.id – Dua kontestasi Pilpres di Indonesia dilalui oleh Capres Prabowo Subianto dengan dua nama koalisi berbeda. Saat berpasangan dengan Hatta Rajasa pada Pilpres 2014 lalu, koalisi merah putih (KMP) terbentuk.
Kekuatan Parpol pengusung yang terdiri dari Gerindra, PAN, Golkar, PPP, dan PKS kala itu memang bubar di tengah jalan. Satu persatu parpol pengusung balik mengarahkan dukungan ke Pemerintahan terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Dimulai dari PAN, lalu Golkar, dan selanjutnya PPP. Meski bubar, KMP tetap solid sebagai oposisi dengan PKS sebagai partner setia mereka. Namun, masa kekompakan KMP saat itu terbilang panjang. Sekitar setahun lebih mereka solid meski jagoan mereka Prabowo-Hatta kalah oleh Jokowi-JK.
Bahkan, solidaritas KMP sempat ditunjukkan dengan mendominasi parlemen. Niat KMP jelas untuk mengimbangi kebijakan eksekutif melalui dominasi wakil mereka di legislatif.
Masalah kemudian muncul saat Golkar dan PPP terlibat dualisme kepemimpinan. Sedikit banyaknya, solidaritas KMP saat itu mulai goyah. Hingga PAN, Golkar, dan PPP memilih berpaling dengan jaminan jatah Menteri di Kabinet Jokowi-JK.
Retak di Awal
Kini, cobaan solidaritas koalisi baru yang dibentuk Capres-Cawapres Prabowo-Sandiaga di Pilpres 2019 sudah retak duluan sebelum hasil resmi Pemilu diumumkan 22 Mei 2019.
Koalisi Adil Makmur yang di dalamnya terdiri atas Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat mulai terganggu dengan statemen di antara kader mereka. Adalah Waketum Partai Gerindra, Arief Poyuono yang menunjukkan itu. Di tengah proses rekapitulasi penghitungan suara KPU, Poyuono dengan tegas mengusir Demokrat dalam koalisi Adil Makmur.
Statemen Poyuono direspons elite Demokrat. Sekjen Demokrat Hinca Panjaitan mengatakan, pernyataan Poyuono itu merupakan statemen pribadi dan bukan atas nama partai. Demokrat mengaku masih solid di koalisi Adil Makmur.
Isu awal retaknya koalisi Adil Makmur saat Ketum PAN dan Komandan Kogasma Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sempat bertemu dengan Presiden Jokowi. Lalu disusul kemudian oleh pernyataan Andi Arief yang menyinggung soal keberadaan setan gundul dalam klaim kemenangan 62 persen Prabowo.
Poyuono tak terima dengan tudingan tersebut dan balik menyerang SBY dan meminta Demokrat segera menarik diri dari koalisi. Ujian kekompakan koalisi Adil Makmur mulai goyah bahkan sebelum hasil akhir diumumkan.
Jauh berbeda dengan kekompakan KMP di 2014. Hasil akhir nyaris tak menganggu solidaritas mereka. KMP bahkan sempat menyatu di Legislatif sebelum polemik dualisme dan tawaran begabung pemerintahan Jokowi datang.
Godaan jabatan dan ‘jatah’ Menteri memang kerap membuat parpol pengusung yang jagoannya kalah akan tergoda. Dan seperti yang terjadi pada Pemilu 2014 lalu, hanya tersisa Gerindra dan PKS yang tetap solid dalam lingkaran koalisi.
Kini, ujian itu kembali datang. Bahkan sebelum pengumuman resmi ditetapkan. Andaikan Jokowi-Ma’ruf resmi ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2019, masihkah Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat tetap menyatu dalam koalisi Adil Makmur, atau justru koalisi ini akan kembali bubar di tengah jalan?
Ujian solidaritas itu kembali datang. Hasil akhir akan menentukan. PAN punya jejak bergabung dengan Pemerintahan Jokowi. Sementara Demokrat kerap memposisikan diri sebagai parpol penyeimbang tanpa berkoalisi. Soal kesetiaan hanya PKS yang menunjukkan itu. Namun, hasil akhir Pilpres yang akan menentukan apakah Gerindra akan ditinggal ataukah PKS, Demokrat, dan PAN tetap setia dalam jalur koalisi Adil Makmur.