Jakarta, Lontar.id – Saat demonstrasi di Makassar, banyak orang yang mengutuk. Katanya gerakan itu bikin arus kendaraan terhambat lalu macet. Benih-benih anti people power.
People power itu saya artikan sederhana saja, yakni kebebasan berkumpul. Menyampaikan pendapat dan protes, malah menimbulkan suara sumbang dari segelintir masyarakat.
Tidak tertutup kemungkinan, kalau demonstrasi sekarang banyak yang tunggangi. Sudah jadi rahasia umum, kalau aksi massa sekarang sekadar mencari sokongan dana untuk mengisi perut yang keroncongan.
Tak bisa juga semua dipukul rata. Masih ada demonstrasi yang membawa kemurnian substansinya. Dalam hidup ini, ada yang sekumpulan orang yang gemar menipu dan ada juga yang cinta kejujuran, bukan?
Wacana people power yang digaungkan Amien Rais memang seksi bagi yang takut dengan kata-kata. Seperti Wiji Thukul yang dilenyapkan karena puisi kelamnya. Seperti masa-masa kebebasan berkumpul di Indonesia belum secerah ini.
Bayangkan, berseru soal people power saja, polisi bilang itu berbahaya dan masuk delik. Bisa memenjarakan orang yang berteriak ikut aksi itu. Kenapa harus takut pada kata-kata, Pak?
Tim-tim Presiden Jokowi menyebut junjungannya sebagai Orang Baik. Saya benarkan kata-katanya, karena pada eranya, tak banyak demonstrasi yang deras mengalir seperti presiden-presiden sebelumnya.
Saya tidak ingin mengira, kalau hasrat demonstrasi pemuda di bawah kepemimpinan Orang Baik (OrBa) saat ini, sudah takluk dan tumpul karena perutnya sudah dijejali makanan dan minuman lezat. Itu tidak berdasar.
Sebagai seseorang yang lahir dan akrab dengan demonstrasi, saya terbiasa dengan hal seperti itu. Negara ini kepalang menjauhkan dirinya dari rezim diktator dan mendekat dengan zaman kebebasan berpendapat.
Di Makassar, jika mahasiswa menutup jalan, saya anteng saja. Sebab mau bagaimana lagi? Kita sendiri yang menginginkan reformasi itu terwujud. Kita tidak ingin dikekang. Akhirnya, risikonya ya begini.
Kita juga tidak dilarang memberi kendaraan yang bejibun. Seenak dhewe jadinya. Itu juga bagian dari kebebasan menyalurkan hasrat dan tentu saja membuat macet, bukan? Tetapi, ujungnya, gerakan protes juga yang disalahkan. Baiklah.
Saya agak terenyuh jika kawan-kawan mahasiswa yang protes di jalanan itu dimaki-maki. Apa alasannya? Sebab, di Aliansi Jurnalis Independen, saya diajari untuk mengeluarkan pendapat. Baik itu lewat rapat atau aksi di jalanan.
Demonstrasi adalah buah busuk yang mau tidak mau harus diterima oleh masyarakat dari tunas baru bernama Indonesia. Buah busuk itu, bisa dimakan binatang yang kelaparan. Kedua, ia bisa menggangu pemilik rumah.
Itulah risiko. Masa iya, kita mengancam tunas baru itu dengan kalimat “hei pohon, nanti kalau kau tumbuh dan berkembang, jangan pernah beri aku buah yang busuk ya. Awas kalau kau macam-macam!”
Saat ini saya kira narasi people power yang ditentang pemerintah sudah kelewatan. Masa iya mempersiapkan ribuan personel aparat gabungan cuman karena ketakutan yang tidak berdasar?
Ini bukan isapan jempol, sebab Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Dicky Sondani mengatakan ribuan personel gabungan masing-masing terdiri dari 1.200 dari Polri dan 5.000 prajurit TNI.
Untuk Polri sendiri terdiri dari satuan Sabhara, Reskrim, Intel, dan Lantas. Sementara TNI dari kesatuan Rider, Kostrad dan beberapa batalyon lainnnya. Intinya, Polda Sulsel mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.
Apa hal yang tidak diinginkan itu? Teroris? Takut junjungan dan pujaan hatinya jatuh? Baiklah jika begitu. Saya paham. Tetapi saya tidak lebih paham dari persiapan itu, saat kita lebih takut dengan people power daripada tsunami dan gempa.
Pada akhirnya saya mengerti, masih banyak yang mencintai Soeharto. Buktinya, sistem yang dibangun Jokowi itu mirip zaman Soeharto. Menjaga wibawa dan jabatan presiden lebih penting, daripada menjaga alam raya dan cita rasa demokrasi Indonesia.
Syukurlah jika begitu. Sistem pemerintahannya tidak jauh-jauh mencontoh dari sistem yang sudah ditolak tim-timnya, yaitu otoriter. Jokowi tidak bisa didikte. Ia memilih jalan memberangus kebebasan berkumpul. Saya makin yakin ia bukan boneka.
Semoga tidak ada perang setelah pengumuman KPU. Semoga tidak ada ketakutan baru. Semoga tak ada korban baru yang berjatuhan. Terima kasih Pak Jokowi, Anda sudah menjadikan negeri ini kembali ke masa-masa OrBa:
- Orang Baik karena Anda mengakomodir suara masyarakat yang benci dengan demonstrasi dan kemacetan dan Prabowo Subianto.
- Orde Baru karena Anda berhasil membawa saya mengenang masa kecilku, yang aman, tentram, tapi penuh dengan darah dan kematian anak bangsa.
Terima kasih, Pak Jokowi.