Lontar.id – “Rimpu” merupakan sebuah istilah kebudayaan dalam dimensi busana pada masyarakat Bima dan Dompu, kabupaten yang terletak di ujung paling timur Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Budaya “rimpu” telah hidup dan berkembang sejak dou Mbojo (masyarakat Bima-Dompu) menerima ajaran Islam yang dibawa oleh orang-orang Sumatra melalui hubungan antara kerajaan Bima dengan Gowa. Rimpu merupakan cara berbusana yang mengandung nilai-nilai khas dalam tradisi kebudayaan yang dianut masyarakat setempat yang sejalan dengan nilai-nilai agama Islam.
Sebagai sebuah kebudayaan, rimpu adalah cara berbusana dou Mbojo, khususnya para perempuan Bima-Dompu, dengan menggunakan sarung tenun (muna) khas, yang bernama “tembe nggoli” (sarung nggoli). Tembe nggoli merupakan sarung yang ditenun khusus oleh para perempuan Bima, baik yang tua (ina wa’i) maupun yang muda (sampela), dengan menggunakan alat tradisional yang terbuat dari perut kayu asam, jati, dan bambu pilihan.
Rimpu merupakan rangkaian pakaian yang menggunakan dua lembar (dua ndo`o) sarung. Kedua sarung tersebut untuk bagian bawah dan bagian atas. Rimpu hanya dikenakan oleh kaum perempuan, sedangkan kaum laki-laki tidak memakai rimpu, melainkan apa yang disebut “katente tembe” (menggulungkan sarung di pinggang). Terdapat dua jenis tembe dalam masyarakat Mbojo yaitu tembe nggoli dan tembe songke (Sarung Songket). Begitu juga dengan rimpu, memiliki dua farian, yaitu: rimpu mpida dan rimpu colo. Rimpu mpida merupakan rimpu dengan model cadar, yang dikenakan oleh perempuan dengan hanya terlihat bola matanya; Sedangkan rimpu colo merupakan rimpu yang dikenakan sebagaimana hijab pada umumnya dipakai oleh wanita muslimah.
Namun ironis, tradisi besar dou Mbojo ini perlahan mulai pudar dan kehilangan tempat di hati warganya sendiri. Hal ini semakin diperparah dengan adanya perkembangan zaman dan arus teknologi informatika yang begitu pesat membuat gaya pakaian tradisional seperti rimpu dinilai ketinggalan zaman dan kolot. Sehingga tidak heran jika sebagian besar anak-anak mudanya (sampela) tidak lagi bangga dengan rimpu, dan bahkan muncul penilaian yang sempit bahwa rimpu dianggap sebagai simbol ketertinggalan dan kampungan. Padahal, secara historiography rimpu memiliki sejarah yang lekat dengan Islam.
Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak bisa lepas dari muatan nilai agama Islam. Keduanya saling menyempurnakan dan melengkapi. Dengan demikian, menganggapnya rimpu itu “kampungan” merupakan suatu yang tidak mendasar, sebab bertentang dengan apa yang kita yakini dan imani bahwa nilai-nilai Islam selalu kompatibel dengan perubahan zaman. Untuk itu, sebagai masyarakat berbudaya, yang kental dengan nilai dan nuansa Islam dalam kehidupannya, sesungguhnya rimpu harus menjadi identitas yang membanggakan.
Sehingga dengan kondisi seperti itulah, yang mendorong sebagian kecil kelompok anak-anak muda yang memiliki kesadaran budaya untuk tetap melestarikan rimpu dalam kehidupan sosialnya, di tengah cengkaram taring dan kuku tajam budaya Barat.
Sebut saja seperti yang dilakukan oleh Yuli H. Ode. Perempuan Bima yang saat ini menjadi Duta Rimpu di dunia internasional. Atas kepedulian dan kesadaran budayanya, dari Singapura, tempat ia bekerja, mulai menyebarkan “virus rimpu” kepada dunia, dengan cara mengenakan rimpu di ruang-ruang publik. Seperti di kereta, mall, tempat rekreasi, dan melakukan tour keliling berbagai kota-kota besar di Asia dengan tetap bangga membalutkan tembe nggoli di kepalanya.
Selain itu, Yuli bersama teman-temannya yang lain juga menginisiasi terbentuknya sebuah komunitas Pemilik Jiwa (Peji) Rimpu, untuk menghimpun anak-anak muda, kaum millenials, dan masyarakat umum yang memiliki kepedulian untuk melestarikan, mengajarkan, memahamkan dan menginternalisasikan rimpu.
Gerakan Peji Rimpu memberi dampak signifikan terhadap kelestarian rimpu sebagai simbol budaya yang mewah. Hal ini dapat dilihat dari trend tembe nggoli yang mulai banyak diproduksi dan disulam menjadi barang-barang produktif, seperti sapu tangan, selendang, shall, baju, songkok, jilbab, rok, dan lain-lain. Salah satu upaya utama gerakan Peji Rimpu adalah memodernisasi tembe nggoli menjadi bahan kain yang dapat dijadikan apa saja dan menjadikan rimpu sebagai trend pakaian modern, hal ini sebagai strategi menarik minat kaum millenials dan perhatian dunia.
Kepedulian terhadap rimpu tidak hanya datang dari dou Mbojo sendiri, tetapi juga datang dari masyarakat di luar Bima Dompu, seperti masyarakat Bugis, Makassar, Sunda, Jawa dan bahkan masyarakat internasional mulai meminati kain tenun Bima. Sebut saja misalnya “gerakan cinta rimpu” yang digalangkan oleh Mega Oktaviany, perempuan dari Ibu keturunan Makassar-Belanda dan Papi keturunan Sidrap (Bugis).
Sejak pertama kali ia melihat rimpu sejak itu pula ia jatuh cinta dengan “hijab” ala dou Mbojo tersebut. Walaupun ia perempuan Bugis-Makassar, namun baginya mencintai rimpu merupakan bagian dari cara mencintai Indonesia. Di samping juga cara ia mencintai suaminya yang berasal dari Bima.
Atas dasar pemahaman seperti itu mendorong Mega untuk, tidak hanya cinta dengan kata-kata tetapi juga mencintai rimpu dengan wujud nyata. Hal tersebut ia tunjukkan dalam berbagai aktifitas sosialnya sehari-hari di Jabodetabek, baik formal maupun informal.
Dalam beberapa kesempatan formal misalnya, saat ia diundang menjadi pembicara oleh PB HMI dalam seminar nasional tentang ekonomi Islam di Jakarta Pusat, ia tampil dengan rimpu, dan spanduk atau banner informasi tentang kegiatan tersebut juga menampilkan foto dirinya yang mengenakan rimpu. Hal yang sama juga ia lakukan saat beberapa kali diundang menjadi pembicara dalam seminar nasional di beberapa kampus di Makassar, seperti UIN Alauddin Makassar, STIEM Bongaya, Unismuh Makassar dan Universitas Muhammadiyah Parepare di Kota Parepare, juga tetap tampil dengan busana yang sama.
Tidak hanya itu, dalam kesempatan lain misalnya, dalam aktifitas mengajar di Universitas Gunadarma, tempat ia menjadi dosen tetap Ekonomi Syariah dan menjadi Peneliti Ekonomi Islam, Mega kerap kali mengenakan rimpu saat menyampaikan mata kuliah di hadapan para mahasiswanya. Dalam rapat-rapat penting di kampus juga sering menggunakan rimpu.
Sepanjang informasi yang penulis peroleh, hingga tulisan ini diturunkan, belum ada anak-anak muda, atau masyarakat Bima Dompu pada umumnya yang melakukan seperti yang dilakukan Mega dengan rimpu. Misalnya memakai rimpu saat mengajar di kelas bagi para guru-guru dan dosen di tempat dimana rimpu berasal, foto rimpu di spanduk-spanduk bagi para politisi, atau kampanye rimpu bagi para mahasiswa di Bima.
Anehnya, dari apa yang dilakukan Mega tersebut bukannya ia merasa “malu” atau “risih”, malah ia sering bertanya “kenapa yah, saya begitu suka dengan rimpu?”. Di sisi lain, respon para sahabat dan kolega-koleganya dengan melihat apa ia kenakan, pada umumnya memberi penilaian “mengagumkan”. Ada yang bilang sangat unik, bagus, menawan, cantik, dan sejenisnya.
Bahkan tidak sedikit dari mereka yang memintanya untuk diajarkan cara memakai rimpu, atau ingin membeli kain tenun tembe ngggoli-nya. Banyaknya permintaan dari koleganya tersebut, sebenarnya dapat mejadi peluang bisnis baru bagi dou Mbojo dan pemangku kepentingan di Bima, di samping kesempatan mempromosikan nggoli dan songke (songket) Bima kepada masyarakat luas.
Fondasi kebudayaan yang mengakar kuat dalam lanskap hidup orang-orang Bugis dan Makassar, menjadi latar belakang Mega mudah tertarik dan mencintai budaya Bima. Terutama nilai-nilai kebudayaan yang diwariskan La Pagala dari kerajaan Addatuang Sidenreng dan La Megguk dari Luwu, dan Tumapa’risi’ Kallonna dari kerajaan Gowa Tallo, bahwa apapun kearifan lokal yang agung menjadi pegangan bagi setiap anak cucu.
Di samping, secara geneaologis, dua kebudayaan disebutkan di atas (Bugis-Makassar) setali mata uang dengan nafas dan karakter kebudayaan Mbojo di Bima dan Dompu. Sehingga ketika dalam interaksi sosial, antara orang-orang Bugis-Makassar dan Bima cepat sekali menemukan titik kesamaan budaya, baik bahasa, adat istiadat, pakain tradisional, maupun implementasi nilai sosial lainnya.
Kembali ia bertanya, tentang pertanyaan yang sama, kenapa generasi Bima sendiri tidak mau melestarikan budaya yang indah ini? Kenapa mereka mengabaikan warisan dunia yang mempesona itu? Lagi-lagi penulis tak bisa menjawab. Menurutnya, “rimpu itu gaya pakaian yang sangat unik, mengandung nila yang sejalan dengan Islam, sehingga walaupun ia simbol adat tertentu (Bima) tetapi melestarikannya sama dengan menginternalisasikan ajaran Islam. Hal itu menjadi sangat istimewah jika dikenakan wanita muslimah, karena ia mahkota peradaban yang dapat meluluhkan hati setiap mata yang memandangnya,” saksi mamah dari Haessyfah Drisana Alfarisi ini.
Semoga, dengan gerakan yang dilakukan Yuli H. Ode dan Mega Oktaviany di atas, menginspirasi bagi setiap anak-anak muda, generasi penerus, pejabat-pejabat pembuat kebijakan di Bima dan Dompu, terpanggil untuk memikirkan bagaimana budaya rimpu tersebut dapat tetap hidup, berkembang, modern, disukai banyak orang, dicintai setiap perempuan dan menjadi warisan peradaban nusantara yang mengesankan mata dunia.
Penulis: Al Farisi Thalib