Lontar.id – Tinggal hitungan hari, sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) segera dimulai di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK). Tepatnya, Jumat, 14 Juni 2019. Pada saat itu, akan hadir para pihak, yaitu termohon KPU, pemohon dari Paslon 02 (Prabowo-Sandi), dan tentu pihak terkait dari Paslon 01 (Jokowi-Ma’ruf).
Sebagai sidang perdana, di lembaga yang terhormat, MK, yang dihadiri sembilan hakim yang mulia sebagai “tuan rumah”, sebaiknya juga para pihak menghargai lembaga terhormat kita ini dengan menghadiri persidangan tanpa diwakilkan. Karena itu, saya menyarankan, dari termohon, KPU, dihadiri semua (7) komisioner. Dari pemohon, dihadiri Paslon 02, Prabowo – Sandi. Dari pihak terkait dihadiri Paslon 01, Jokowi – Ma’ruf.
Paslon 01, Jokowi – Ma’ruf dan Paslon, 02 Prabowo – Sandi, di mata publik, mereka berempat adalah tokoh bangsa ini. Mereka politisi negarawan. Oleh karena itu, sebagai negarawan, dua Paslon ini sejatinya menyediakan waktu menghadiri, minimal pada sidang perdana PHPU di MK. Bila kedua paslon ini benar-benar hadir, ada dua hal positif bagi negeri ini yang bisa dipetik.
Pertama menurut saya, mampu menurunkan suhu politik. Terbayang oleh saya, tentu sebelum persidangan formal dimulai, kedua Paslon sudah hadir lebih awal di ruang sidang. Mereka saling menyapa, berjabat tangan, berpeluk hangat, memberi senyum, dan sesekali melontarkan jandaan negarawan yang disertai lepas tawa dengan gaya khas masing-masing.
Saat itu pula, Ketua MK, Anwar Usman, turun dari kursi pimpinaan sidang menemui mereka untuk menyapa, menyalam dan memeluk kedua Capres serta kedua Cawapres, sembari mengucapkan selamat datang di “rumah” mahkamah konstitusi kita. Anwar Usman berdiri di antara Jokowi dan Parbowo. Saat itu, mereka berbincang ringan, lucu dan menarik, yang sama sekali tidak terkait dengan perselisihan hasil pemilu. Indahnya demokrasi, Ini bisa menjadi embrio lahirnya “Model Demokrasi ke-Indonesia-an” kita ke depan.
Setting pertemuan semacam ini, lebih natural daripada melalui mediasi yang dijejeki oleh seorang tokoh. Apalagi tokoh tersebut sama sekali tidak “setara” dengan posisi sebagai Paslon Pilpres. Sebagai seorang komunikolog Indonesia, saya berpendapat bahwa pertemuan dalam setting natural jauh lebih efektif daripada pertemuan rekayasa (dirancang) oleh pihak ketiga.
Sebagai lambang non-verbal, peristiwa ini sangat mengandung nilai berita bagi media massa untuk diberitakan secara luas, karena pertemuan para elit puncak politik tersebut dari kedua kubu kekuatan politik yang sempat diwarnai persaingan yang menghangat dalam kampanye dan pasca pemungutan suara Pilpres 2019.
Peliputan peristiwa oleh seluruh media massa maupun yang disampaikan secara kreatif melalui berbagai jenis sosial media, saya pastikan mempunyai dampak bagi seluruh masyarakat Indoensia. Publik akan memberi penilaian yang positif bagi pemimpin elit bangsa ini, utamanya kepada kedua Paslon, bahwa mereka menunjukkan kenegarawanan dan persahabatan yang tidak lengkang oleh hanya karena persaingan politik lima tahunan. Lambang non-verbal semacam ini mempunyai makna sangat mendalam dan melekat lebih parmanen di hati dan peta kognisi masyarakat luas.
Lagi pula pasca pemungutan suara, Jokowi maupun Probowo, sebagaimana mereka wacanakan di ruang publik, sudah memberikan sinyal kuat untuk ingin saling bertemu. Karena itu, saya menyarankan kepada kedua negarawan kita ini agar memanfaatkan momentum sesaat sebelum sidang perdana di MK sebagai ajang komunikasi silaturahmi (hubungan kasih sayang) yang melampaui kepentingan politik prakmatis, ekonomi dan sebagainya. Publik menunggu. Pertemuan tidak perlu ditunda hingga keputusan MK. Sebab, perdebatan di MK sangat substansial, filosofis, akademis, normatif, dan keputusan mengikat para pihak dan final. Di MK sudah tidak ada lagi perdebatan politik prakmatis.
Kedua, pendidikan hukum bagi masyarakat. Hal ini tidak kalah pentingnya. Di satu sisi, penyelesaian PHPU melalui MK, menunjukkan kedesawaan politik bagi para pihak bila mana ada fakta yang diduga tidak sesuai dengan peraturan dan hukum.
Di sisi lain, masyarakat menilai ketaatan hukum bagi para elit, pemimpin dan calon pemimpin negeri ini. Konsekuensinya, masyarakat pun menjadi taat hukum karena ada role model yang menjadi panutan. Perilaku pelanggaran hukum karena kesewenangan akan bisa ditekan seminimal mungkin.
Penulis: Emrus Sihombing (Direktur Eksekutif Lembaga Emrus Corne)