Lontar.id – Perolehan suara Partai Golkar di Pemilu 2019, alami penurunan ketimbang pada hasil Pileg 2014 lalu. Sesuai dengan hasil rapat pleno rekapitulasi KPU, Golkar hanya meraih suara 17.229.789 juta atau setara dengan 12,31 persen.
Dengan perolehan suara tersebut, Golkar hanya cukup puas dengan posisi ke tiga di bawah PDIP 19,33 persen dan Gerindra 12,57 persen. Bila sebelumnya, Golkar berada di urutan kedua di bawah PDIP, kini partai yang didirikan Prabowo Subianto sekaligus calon presiden menggeser posisi Golkar.
Gerindra mendapatkan kapitalisasi suara di pemilu 2019, tak lepas dari posisi Prabowo Subianto sebagai capres yang didukung koalisi Badan Pemenangan Nasional (BPN). Kendati Gerindra menggeser posisi Golkar, perolehan suaranya hanya naik 0,76 persen yaitu dari 11,81 persen di Pileg 2014 lalu. Sedangkan Golkar 14,75 persen, turun 2,44 persen.
Setidaknya, terdapat 3 faktor menjadi penyebab turunnya perolehan suara Partai Golkar di Pemilu 2019. Pertama, tertangkapnya Ketua Umum Golkar, Setya Novanto karena kasus korupsiproyek KTP Elektronik dan drama berkepanjangan sang ketua umum dalam kasus ini. Setya Novanto menjadi buah bibir publik, lewat pelbagai manuvernya.
Sidang MKD DPR yang menentukan nasib Setya Novanto, apakah tetap mempertahankan posisi sebagai ketua DPR, berakhir dengan pengunduran dirinya, lalu digantikan oleh Ade Komarudin. Namun di tengah perjalanan, Setya Novanto mengambil alih posisi ketua DPR dari Ade Komarudin.
Tidak saja Setya Novanto kader Partai Golkar yang terjerat kasus korupsi, mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Golkar, Idrus Marham saat menjabat sebagai Menteri Sosial pun diciduk KPK.
Faktor kedua, Golkar tidak punya kader dan nilai tawar tinggi untuk mendorong kadernya sebagai capres dan cawapres di Pemilu 2019. Padahal, Golkar sebagai salah satu partai papan atas gagal mengamankan kader sendiri melenggang di pemilu.
Sedangkan yang ke tiga, Golkar menunjukkan ketidaksolidan dan cenderung main dua kaki di Pilpres 2019. Sejumlah kader malah memberikan dukungan di Prabowo-Sandi daripada capres Jokowi-Ma’ruf yang diusung.
Tiga faktor sederhana ini, menjadi pemicu turunnya suara Golkar di bawah Gerindra. Namun sebagai partai yang sudah pernah merasakan asam garam konstelasi politik Indonesia, sejak era rezim Soeharto. Golkar tetap bisa memainkan peranan penting dan bertahan di posisi partai papan atas.
Kendati alami penurunan suara di pemilu 2019, sejumlah kader muda yang tergabung dalam Barisan Pemuda Partai Golkar (BPPG) yang Pelopor oleh Abdul Aziz. Mereka menyerukan agar dilakukan percepatan Musyawarah Nasional (Munas) untuk menggantikan Airlangga Hartarto.
Menteri Perindustrian Kabinet Indonesia Kerja, Jokowi-JK ini di cap telah gagal membawa partai pohon beringin berjaya di pemilu 2019. Olehnya itu, Abdul Aziz mengusulkan agar dilakukan percepatan Munas untuk menggantikan posisi Airlangga Hartarto.
Munas Golkar baru akan diselenggarakan pada 2020 mendatang, namun diusulkan agar dilaksanakan pada 2019. Airlangga Hartarto juga berniat maju kembali sebagai calon ketua umum, mempertahankan posisinya.
Selain itu, Ketua DPR Bambang Soesatyo juga berkeinginan maju di bursa ketua umum. Pertarungan Airlangga dan Bambang Soesatyo di Munas Golkar, cukup menarik untuk diikuti, karena keduanya merupakan representasi kader terbaik Golkar, sekaligus apakah Golkar di Pemilu 2024 berhasil mendorong kader sendiri maju di bursa capres.