Lontar.id – Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar menghangat. Kubu Bambang Soesantyo (Bamsoet) meminta jadwal munas dipercepat sebelum pelantikan anggota DPR pada Oktober.
Sementara, kubu Ketua Umum Airlangga Hartarto ingin menyesuaikan dengan jadwal hasil munas lalu, yaitu Desember mendatang.
Perbedaan pendapat tentang pelaksanaan munas apakah dimajukan atau tetap konsisten dengan hasil munas lalu, akan sangat berpengaruh pada arah dukungan dan komposisi kader Golkar yang akan masuk di Kabinet Kerja Jokowi Jilid II.
Ketum Golkar punya otoritas tertinggi menentukan siapa saja kader-kader Golkar yang akan menempati pos-pos menteri dan jabatan struktural lainnya di pemerintahan.
Tentu orang terdekat Airlangga punya kans besar mengisi jabatan tersebut, sedangkan kader yang dianggap secara emosional jauh dengannya, sangat sulit diakomodir. Sudah sering terjadi di partai politik: orang terdekat akan diprioritaskan agar memudahkan ketum mengontrol kadernya.
Berbeda halnya jika pada Munas Golkar nanti, bukan Airlangga yang didapuk menjadi ketua. Maka kader yang sudah didistribusikan lebih awal sebelum Munas, berpotensi ditarik kembali, dan digantikan dengan yang lain.
Tentu saja ini akan sangat mengganggu efisiensi jalannya pemeritahan Jokowi-Ma’ruf yang sudah disusun dengan rapi, namun tiba-tiba, di tengah jalan, dirotasi.
Itu mengapa Bamsoet getol ‘berisik’ menginginkan Munas Golkar harus dilaksanakan sebelum pelantikan DPR, Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober mendatang.
Bamsoet Layu Sebelum Tumbuh
Pemecatan 10 Ketua DPD II Golkar di Maluku cukup menganggetkan. Alasannya, pencopotan tersebut menjelang dilaksanakannya munas. Konon mereka telah mendukung Bamsoet sebagai calon Ketua Umum Golkar.
Pemecatan DPD jelang munas memang tak bisa dimungkiri adalah langkah strategis kubu Airlangga untuk menyetop langkah Bamsoet melawan diriya.
Persaingan Airlangga dan Bamsoet memang akhir-akhir ini semakin sengit, sebab Bamsoet terang-terangan menantang dirinya.
Airlangga yang sudah kadung mempertahankan posisinya sebagai ketua umum, seakan tak rela posisinya digeser oleh bawahannya yang hanya menjabat sebagai Ketua Pratama DPP.
Makin sengit, karena Airlangga dekat dengan istana. Mau tidak mau, ia pasti merasa kansnya ‘berkuasa’ di pemerintahan akan semakin besar. Apalagi jika dibantu dan diberi jalan oleh pihak pemerintah.
Dalam pentas politik perebutan kekuasaan, sudah jamak terjadi jika muncul lawan seimbang, maka yang harus dilakukan adalah menjegal dan memutuskan mata rantai pengaruh di level bawah.
Ketua-ketua DPD punya otoritas tertinggi menentukan siapa yang akan menahkodai partai yang berdiri sejak Orde Baru (Orba) itu.
Meski tak diakui bahwa Airlangga punya peran besar menyetujui pemecatan ketua DPD, sinyal akan mengarah ke sana. Alasannya, pemecatan terjadi saat isu munas menghangat.
Jika ditanya bagaimana Airlangga dapat memonitori ketua DPD yang tak patuh, sebagai seorang politisi, tentunya ia punya kaki tangan di setiap daerah.
Mereka ditugaskan mendeteksi siapa saja DPD yang ‘berkhianat’. Seperti intelijen, mereka bergerak cepat dan mengelabui. Siapa saja mereka, tentu orang penting di Golkar yang punya kepentingan bermacam-macam.
Atas hasil ini, kans politik Bamsoet sementara mengecil dan tampak sulit untuk mengalahakan Airlangga. Tetapi yang mesti dicatat, bukan berarti Bamsoet sudah menyerah.
Dalam politik, jika ketemu jalan buntu, pasti temboknya seperti jelly yang kenyal. Lentur. Manuver dan tawar-menawar memungkinkan untuk dapat win-win solution.
Jika Bamsoet paham, bisa saja ia membalikkan keadaan dan DPD I dan II berbalik arah mendukungnya. Apalagi jika Bamsoet dapat memainkan emosi pengurus dengan menciptkan isu sentral untuk ‘menghajar’ Airlangga.
Contohnya: Airlangga bisa dituding tidak mampu membawa Partai Golkar sebagai partai yang mendapatkan suara dominan di Pemilu kemarin. Juga di masa Airlangga, Golkar tak mampu disatukan sebagai satu kekuatan besar.
Restu Istana
Airlangga dan Bamsoet sama-sama memiliki peluang besar. Keduanya mengklaim mendapatkan dukungan dari 400 DPD. Cukup untuk terpilih. Begitulah klaim: seperti pepesan kosong.
Secara umum, kandidat yang memiliki peluang besar untuk menang diukur oleh beberapa faktor, di antaranya memiliki kekuatan dan jaringan di internal maupun eksternal. Jaringan tersebut akan membantu kandidat mudah mendapatkan suara.
Modal sosial dan keuangan yang cukup. Tanpa ini, sangat tidak mungkin bagi kandidat mampu mengatur dan membiayai kebutuhan pendukungnya. Apalagi Munas merupakan arena tertinggi Golkar dan modal uang tak bisa jadi pengecualian.
Coba bayangkan, sejumlah DPD dari berbagai daerah harus ditanggung pesawat pulang pergi, tiket, uang saku hingga uang untuk hiburan selama berada di arena munas. Ini sudah menjadi rahasia umum. Tak ada makan siang gratis, bukan? Jika dikalkulasikan semuanya, maka seorang kandidat harus menyediakan duit miliaran.
Tetapi seberapa kuat sih dua faktor di atas kalau tidak direstui penguasa (presiden). Di sini, dukungan presiden sangat berperan penting bagi terpilih dan tidaknya seorang kandidat, karena intervensi tersebut akan mempengaruhi sistem di dalamnya.
Apatahlagi Golkar merupakan salah satu partai pengusung penguasa. Lalu siapa yang paling dekat dengan Jokowi? Tentu jawabannya adalah Airlangga.
Pada Munaslub Partai Golkar, Airlangga melenggang mulus secara aklamasi menjadi ketua umum menggantikan Setya Novanto. Dan beberapa waktu lalu, Airlangga memboyong sejumlah Ketua DPD menemui Jokowi di Istana Bogor.
Pertemuan itu, merupakan konsolidasi internal Golkar sekaligus menyampaikan pesan bahwa Golkar di bawah kepemimpinan Airlangga kukuh mendukung semua kebijakan Jokowi-Ma’ruf.
Bagaimana dengan Bamsoet? Saya pikir Airlangga boleh saja memboyong pengurus DPD bertemu dengan Jokowi dan menyakinkannya bahwa ia solid.
Tetapi Bamsoet bisa saja memaparkan pengaruh Airlangga selama memimpin Golkar. Jika punya data dan klaim, ia bisa bawa pengaruh buruk untuk Airlangga. Lagi-lagi semua tergantung DPD. Jika taktik Bamsoet berjalan mulus, kemungkinan dia bisa menggantikan Airlangga. Semua peluang masih terbuka.
Penulis: Ruslan