Lontar.id – Pesta demokrasi adalah ajang bagi setiap warga negara berkompetisi, memperebutkan kekuasaan lewat mekanisme aturan yang dibenarkan oleh negara.
Tentunya melalui pemilu yang diselenggarakan secara serentak di 2019 saat ini. Pemilu serentak yaitu memilih calon Presiden, DPR dan DPD yang akan mewakili suara masyarakat pinggiran, masyarakat kota, pedagang, pelajar, emak-emak dan berbagai profesi lainnya.
Hari pencoblosan sudah usai dilaksanakan pada 17 April lalu, putra-putri terbaik bangsa yang berkompetisi menawarkan pelbagai program melalui platform. Tentunya program tersebut untuk menarik perhatian pemilih (voters), ada bermacam-macam program yang ditawarkan, sehingga voters bisa memilih sesuai dengan kebutuhan atau yang paling dekat dengan keinginannya.
Agar tulisan ini tidak melebar kemana-mana, saya hanya ingin membahas Pemilihan Legislatif (Pileg) saja. Meskipun jauh dari hiruk pikuk, perbincangan publik sebab ditutupi oleh Pemilihan Presiden (Pilpres). Hampir di semua lini media massa, pembahasan tentang Pilpres lebih banyak diminati publik ketimbang Pileg. Padahal kalau ditarik secara sektoral wilayah, pileg lah yang mestinya jadi perhatian utama.
Alasannya sangat sederhana, karena mereka para calon anggota DPR baik di tingkat daerah, provinsi hingga pusat yang akan mewakili suara masyarakat di bawah. Kebutuhan daerah untuk meningkatkan pembangunan harus sejalan antara kepala daerah, masyarakat dan anggota DPR yang menjadi perwakilan masyarakat.
Aspirasi masyarakat misalnya untuk membangun jembatan, memperbaiki jalan raya, bantuan pembangunan bendungan air untuk irigasi pertanian dan bantuan alsinta, bersentuhan dengan DPR. Karena di gedung parlemen aspirasi itu dibahas lalu diputuskan, hingga dieksekusi di tingkat bawah melalui pelbagai bantuan.
Paling tidak, itulah tugas anggota DPR terpilih kelak, menjembatani kebutuhan masyarakat dengan eksekutif.
Tapi bagaimana dengan para caleg yang gagal duduk di Senayan, sudah menghamburkan banyak ongkos politik pada masa kampanye, namun tetap saja tidak terpilih. Menyoal para caleg gagal dan stres karena banyak uang telah habis hingga berujung pada rumah sakit jiwa.
Jika membaca media massa akhir-akhir ini, paling tidak pascapemilu dilaksanakan. Beberapa Rumah Sakit sudah mulai membuka ruangan khusus bagi para caleg gagal, mereka yang secara kesehatan mental terganggu, depresi karena tidak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya tidak lolos dalam kompetisi.
Memang tidak semua caleg yang gagal berujung pada depresi berlebihan, mereka hanya beberapa saja diantaranya. Tanda-tanda depresi caleg gagal, biasanya dimulai dari, mereka yang tidak bisa menerima kenyataan, karena sudah merasa yakin sekali, bahwa ia akan memperoleh suara yang banyak.
Caleg ini akan melakukan apa saja, termasuk menyebarkan uang melalui pelbagai bantuan kepada masyarakat. Ada yang mengeluarkan uang untuk membeli karpet masjid, memperbaiki jalan, membantu modal usaha, mengadakan pompa dan pipa air warga dan bantuan lainnya.
Namun pada saat hari pencoblosan, warga yang menerima bantuan dari caleg tersebut justru tidak memilih caleg itu. Sebab sangat umum sekali, caleg yang menggunakan politik uang, biasanya mereka yang tidak punya pengalaman politik, tidak punya rekam jejak politik yang bagus sehingga memanfaatkan uang untuk memuluskan langkahnya.
Namun apa yang terjadi, masyarakat tidak memilihnya. Saya berpikir, masyarakat sudah cerdas memilih dan memilah mana calon yang tepat untuk dipilih, tidak sekadar mereka dimobilisasi ke salah satu caleg karena dikasih uang. “Ambil uangnya jangan pilih orangnya”.
Kejadian ini sama seperti yang terjadi di Malaku Utara, seorang caleg dari Partai NasDem Ahmad Hatari nekat meminta kembali jenis bantuannya kepada salah satu masjid karena memperoleh suara yang jauh dari harapannya. Bantuan karpet dan jam duduk besar tersebut, rupanya bukan karena memang ikhlas membantu pengadaan sarana Masjid, tetapi sebagai imbalannya, warga disekitar terutama pengurus mesjid diharuskan untuk memilih dirinya di Pileg.
Ada juga yang nekat membawa kabur dan membakar kotak suara, karena ia sudah mengetahui hasil akhir perolehan suara. Kejadian ini memang tampak sangat miris sekali, di saat kita sedang mengirimkan para wakil rakyat yang punya kredibilitas tinggi ke kursi DPR, tetapi orang yang tidak punya kapabilitas seolah memaksakan diri menjadi wakil rakyat.
Apa jadinya jika para caleg yang sudah terlanjur stres ini menjadi wakil rakyat, mewakili semua aspirasi rakyat. Tekanan dan kepetingan politik di lembaga rakyat ini cukup besar, bagaimana ia nantinya bisa berjuang jika menghadapi kegagalan saja tidak mampu dilewati.
Ada istilah yang umum sekali kita dengar, memotivasi orang-orang yang gagal. Baik itu dalam bidang bisnis, gagal masuk di universitas terkenal bahkan gagal duduk di kursi legislatif.
“Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda”.
Memang kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, tapi awal dari kesuksesan. Itulah pesan yang tersirat dalam motivasi tersebut. Seorang boleh saja gagal mencapai tujuannya meskipun sudah berusaha semaksimal mungkin, namun pada akhirnya tetap saja menemui jalan buntu. Tapi setelah berusaha lagi dan lagi, maka akan tiba waktunya di mana porsi kegagalan dalam diri kita sudah habis, tinggal menunggu waktu kesuksesan saja bukan.