Peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia tahun 2020 ini berlangsung dalam suasana pandemi Corona secara global. Awalnya ditemukan di Wuhan, Cina, Desember 2019 lalu, setelah itu menyebar ke seluruh dunia.
Indonesia baru mengakui adanya wabah ini awal Maret 2020 lalu dan berusaha mencegah penyebarannya. Wabah ini mulai berdampak pada media dan jurnalis, dan sepertinya dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Dalam momentum peringatan Hari Kebebasan Pers ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat ada sejumlah peristiwa dalam periode Mei 2019-April 2020 yang berdampak pada iklim kebebasan pers Indonesia tahun ini.
Peristiwa itu meliputi penyusunan regulasi baru yang dinilai kurang mendukung kebebasan pers, kekerasan terhadap jurnalis yang masih tinggi, dan masalah yang ditimbulkan oleh pandemi Corona bagi pekerja media.
Regulasi yang Tidak Bersahabat
Ada dua perencanaan regulasi yang mendapat kritik besar dari publik dalam kurun waktu setahun ini, termasuk dari komunitas pers, yaitu Kitab Undang Undang Hukum Pidana dan Ombnibus Law Rancangan Undang Undang Cipta Kerja.
AJI memberi perhatian pada KUHP karena pemerintah dan DPR mempertahankan pasal-pasal yang selama ini potensial mempidanakan pers. Omnibus Law juga dikritik karena ada pasal yang dinilai tak sejalan dengan Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Pemerintah dan DPR membahas revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) itu sejak periode pemerintahan lalu. Dalam draft September lalu, AJI Indonesia mencatat 9 pasal yang bisa mempidanakan jurnalis. Masing-masing:
- Pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden;
- Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah;
- Pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa;
- Pasal 262 tentang penyiaran berita bohong;
- Pasal 263 tentang berita tidak pasti;
- Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan;
- Pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama;
- Pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara;
- Pasal 440 tentang pencemaran nama baik;
- Pasal 444 tentang pencemaran orang mati.
Meski mendapat kritik keras dari publik, Pemerintah dan DPR ngotot membahas RKUHP itu. Pembahasannya baru berhenti setelah ada demonstrasi besar secara nasional pada September 2019 lalu, yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat sipil.
Demonstrasi besar yang mengusung tagline #ReformasiDikorupsi itu menyebabkan setidaknya 5 mahasiswa meninggal dan ironisnya tak ada proses hukum terhadap para pelakunya.
Setelah Presiden Jokowi memasuki pemerintahan periode keduanya Oktober lalu, dan DPR juga berganti dengan yang baru, pembahasan RKUHP itu kembali dilanjutkan. Bahkan saat negara ini sedang dilanda wabah Corona sejak Maret 2020 lalu, keduanya juga berencana melanjutkan pembahasannya.
Padahal, masukan dari publik sulit bisa dilakukan karena banyak sekali pembatasan oleh pemerintah yang diniatkan untuk mencegah penyebaran wabah ini.
Selain KUHP, AJI juga mengkritik upaya pemerintah untuk campur tangan lagi dalam kehidupan pers melalui Omnibus Law. Soal ini terlihat dalam Ombnibus Law RUU Cipta Kerja yang akan membuat peraturan pemerintah soal pengenaan sanksi administratif terhadap perusahaan media yang dinilai melanggar pasal 9 dan pasal 12 Undang Undang Pers.
Pasal 9 memuat ketentuan soal perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Pasal 12 mengatur soal perusahaan pers yang wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawabnya secara terbuka.
Dalam usulannya, pemerintah mengajukan revisi soal sanksi denda bagi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13, menjadi paling banyak Rp 2 miliar –naik dari sebelumnya Rp 500 juta.
Pasal 5 ayat 1 mengatur tentang “Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
Pasal 5 ayat 2 berisi ketentuan soal “Pers wajib melayani Hak Jawab. Pasal 13 mengatur soal larangan pemuatan iklan yang antara lain merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.
Kalau pun ada regulasi atau kebijakan baru yang dibuat pada kurun waktu setahun ini adalah Surat Edaran Mahkamah Agung yang memuat ketentuan soal “Pengambilan Foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan”. Ketentuan itu memicu protes dari organisasi wartawan dan masyarakat sipil. Tak berselang lama, ketentuan tersebut dicabut oleh Mahkamah Agung.
Selain itu juga ada surat telegram Kapolri tentang tindak pidana pada ranah siber yang di dalamnya tercantum juga soal penghinaan kepada presiden atau pejabat pemerintah selama pandemi Covid-19. Kebijakan ini berpotensi mengancam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi masyarakat yang ingin mengkritik pemerintah.
Kekerasan dan Dominasi Polisi
AJI juga mencatat kasus kekerasan terhadap jurnalis yang masih tinggi, mulai dari perampasan alat hingga pemidanaan. Dalam periode satu tahun ini, setidaknya ada 53 kasus kekerasan. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan kasus kekerasan pada periode yang sama tahun lalu sebanyak 42 kasus.
Jenis kekerasan terbanyak kekerasan fisik (18 kasus), perusakan alat atau data hasil liputan (14), ancaman kekerasan atau teror (8).
Dari sisi pelaku kekerasan, ironisnya justru polisi –aparat penegak hukum– yang menjadi pelaku terbanyak, 32 kasus. Kasus-kasus kekerasan itu banyak terjadi saat jurnalis meliput peristiwa demonstrasi aksi Mei 2019 yang menolak hasil rekapitulasi KPU yang mengunggulkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, dan demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil September 2019 lalu.
Detail kasus, bisa dilihat di https://advokasi.aji.or.id/
“Dari sejumlah kasus kekerasan itu, ada beberapa kasus yang kami beri perhatian khusus. Antara lain soal ancaman terhadap jurnalis perempuan, pemidanaan jurnalis, penahanan jurnalis asing, dan pelambatan serta pemblokiran internet,” kata Ketua Umum AJI, Abdul Manan dalam keterangan resmi yang diterima Lontar.id.
Ancaman terhadap jurnalis perempuan dialami jurnalis perempuan RMOL Lampung Tuti Nurkhomariyah oleh Gubernur Lampung Arinal Djunaidi, 2 Maret 2020 lalu.
Di hadapan kepala dinas dan belasan jurnalis, Arinal mengatakan kepada Tuti, “Kalau kamu itu, mulai hari ini kamu akan saya pelajari…sudahlah kamu beritakan yang baik-baik saja.” Arinal juga menyatakan ancaman yang jelas dengan mengatakan, “… Jangan sampai nanti innalillahi wainna ilaihi rojiun.”
Tuti juga dibawa ke ruang kerja gubernur dan diminta untuk minta maaf.
Kasus pemidanaan dialami oleh pemimpin redaksi Banjarhits.id, Diananta Putra Sumedi. Dia diadukan karena pemuatan berita yang diduga mengandung SARA (Suku, agama, rasa dan antargolongan).
Dewan Pers memberikan rekomendasi agar Banjarhits.id memuat hak jawab dari pengadu. Meski ada putusan Dewan Pers, kasus ini terus diproses oleh polisi. Diananta sudah mendapat surat panggilan kedua dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Kalimantan Selatan.
Kasus lain yang juga menjadi perhatian AJI adalah soal penahanan terhadap jurnalis Mongabay, Philip Jacobson. Dia ditahan di Rumah Tahanan Palangkaraya atas dugaan pelanggaran visa oleh Imigrasi Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Selasa, 21 Januari 2020.
Dia diduga melanggar Pasal 122 huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Imigrasi dengan ancaman maksimal lima tahun penjara. Philip sebelumnya telah menjadi tahanan kota selama 1 bulan. Penahanan terjadi pada 17 Desember 2019 selepas mendatangi acara dengar pendapat antara DPRD Kalimantan Tengah dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Kebijakan lain yang juga menjadi sorotan AJI adalah pemblokiran internet yang dilakukan pemerintah di Papua dan Papua Barat pada Agustus berlanjut September tahun 2019. Pembatasan hingga pemutusan akses diklaim pemerintah untuk menangkal ribuan informasi bohong atau hoaks, serta untuk kepentingan ketertiban umum.
AJI menilai pemblokiran itu berdampak pada terganggunya pekerjaan jurnalis dan media. AJI bersama SAFEnet menggugat pemblokiran itu dan sidangnya masih berlangsung.
Ancaman di Masa Pandemi
Ancaman lain dari catatan AJI yang kini menghadang jurnalis dan media datang dari wabah Corona. Saat pertama pemerintah mengakui ada orang yang positif terinfeksi virus ini sejak awal Maret 2020 lalu, kini jumlah kasusnya lebih dari 1.000 orang dan menyebabkan lebih dari 800 orang meninggal.
Pemerintah juga melakukan kebijakan pengendalian wabah ini, antara lain dengan melakukan pembatasan bergerak melalui Pembatasan Berskala Besar (PSBB). Awalnya hanya diberlakukan di Jakarta, kini juga mulai diterapkan di berbagai daerah lainnya.
Dalam masa pandemi ini, AJI mencatat adanya kasus intimidasi terhadap jurnalis yang menjalankan tugasnya. Intimidasi ini dialami Jurnalis Kabar-banten.com Mohammad Hashemi Rafsanjani bersama beberapa jurnalis lain yang meliput meninggalnya warga di Kota Serang, Senin, 20 April 2020 yang diduga kesulitan ekonomi di masa pandemi. Intimidasi dilakukan oleh warga dengan menghalangi Shemi dan memaksanya menghapus paksa video hasil liputannya.
Masalah lain, yang lebih besar, menghadang di masa wabah ini adalah soal keamanan pekerjaan. Wabah ini membuat ekonomi lesu, yang itu berdampak pada media dan para pekerjanya, termasuk jurnalis. Ekonomi yang melambat membuat pendapatan media berkurang drastis.
Sejumlah media masih bisa bertahan, namun yang lain mulai melakukan penghematan dengan memotong gaji, menunda pembayaran gaji dan semacamnya. Namun ada juga yang melakukan PHK terhadap pekerjanya.
Menurut pengaduan yang masuk ke posko LBH Pers dan AJI Jakarta, sejak 3 April hingga 1 Mei 2020, setidaknya ada 61 pengaduan yang masuk. Kasusnya beragam, mulai dari PHK sepihak (26 laporan), dirumahkan (21), pemotongan atau penundaan upah (11), lainnya (3). AJI Indonesia juga mulai menerima laporan dari AJI di tingkat kota soal adanya penutupan media, PHK dan berkurangnya pendapatan jurnalis.
Indeks Internasional Kebebasan Pers Kita
Lembaga pemantau Reporters Without Borders (RSF) mencatat Indeks Kebebasan Pers Indonesia pada tahun 2020 ini naik ke posisi 119 dari posisi 124 pada tahun sebelumnya.
Jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya, peringkat ini memang masih lebih baik dari Filipina (136), Myanmar (139), Thailand (140), Kamboja (144), Bangladesh (151), Brunei (152), Singapura (158), Laos (172). Namun posisi Indonesia masih di belakang Malaysia yang berada di peringkat 101, dan Timor Leste di peringkat 78.
Secara statistik, peringkat baru ini bisa ditafsirkan sebagai adanya perbaikan iklim kebebasan pers Indonesia pada 2020 ini. Namun, AJI menilai, bahwa perubahan itu kemungkinan bukan karena adanya perbaikan di dalam negeri.
Dari kajian AJI berdasarkan iklim hukum, politik dan ekonomi, sebenarnya tidak ada perkembangan signifikan dari tiga hal itu untuk bisa mengatakan ada perbaikan kebebasan pers di dalam negeri. Kalau pun ada kenaikan secara peringkat, kemungkinan karena situasi negara lain yang lebih buruk.
Salah satu yang kerap jadi ukuran peringkat kita adalah negeri jiran Malaysia. Pada tahun lalu, peringkat Malaysia berada persis di depan kita, yaitu 123. Perbaikan peringkat ini dipicu oleh perubahan di dalam negeri setelah koalisi pemerintahan yang sudah bekuasa lebih dari 60 tahun, UMNO, kalah dari oposisi Pakatan Harapan.
Pada tahun 2019, peringkat Indonesia di 124. Bandingkan dengan tahun ini. Saat kita di peringkat 119, Malaysia berada di peringkat 101.
Dengan sejumlah perkembangan di atas, ada beberapa hal penting yang AJI catat dan berharap ada perbaikan ke depan agar sistuasi kebebasan pers lebih baik pada tahun-tahun mendatang.
Pertama. Pemerintah dan DPR hendaknya mendengarkan aspirasi komunitas pers dalam merevisi RKUHP dan Omnibus Law Rancangan Undang Undang Cipta Kerja.
Merevisi KUHP dengan mempertahankan pasal-pasal pencemaran nama baik dan semacamnya, yang itu merupakan warisan kolonial, menunjukkan tidak adanya semangat reformasi dalam rencana revisi tersebut.
Semangat yang sama juga harus ditunjukkan dalam merevisi Ombnibus Law Rancangan Undang Undang Cipta Kerja. Memasukkan pasal yang memungkinkan pemerintah campur tangan lagi dalam urusan pers adalah bertentangan dengan Undang Undang Pers.
“Kami juga menyesalkan upaya DPR dan pemerintah yang juga ingin tetap ngotot menyelesaikan pembahasan dua revisi itu di tengah bangsa ini berjuang menghadapi Corona, adalah bentuk sikap yang tidak bertanggungjawab dan sebaiknya dihentikan,” kata Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Sasmito.
AJI menyarankan agar pembahasannya dihentikan dan fokus pada penanganan wabah ini.
Kedua. Dalam setahun ini jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis masih tinggi. Lebih ironis lagi pelakunya sebagian besar adalah polisi, orang yang diberi amanat undang-undang untuk menjaga ketertiban dan menegakkan hukum, bukan malah pelaku pelanggaran hukum.
AJI menilai kasus kekerasan ini terus terjadi salah satunya karena para pelaku tidak diproses hukum sehingga tidak menimbulkan efek jera. AJI dan organisasi jurnalis lainnya mendampingi sejumlah korban kekerasan polisi dalam peristiwa demonstrasi besar September 2019 lalu ke polisi.
Ada polisi pelaku kekerasan di Makassar yang mulai diselidiki dan perlu melihat kelanjutannya. Setidaknya ada tiga kasus kekerasan yang juga dilaporkan ke Polda Metro Jaya, dan ini juga harus terus dimonitor perkembangannya.
Ketiga. AJI juga mencatat ada kasus pengerahan massa terhadap kantor media serta pemidanaan terhadap jurnalis karena berita yang dibuatnya. AJI menilai tindakan ini merupakan bentuk intimidasi terhadap jurnalis.
Seperti dimandatkan oleh Undang Undang Pers, jika ada orang yang tidak puas atas pemberitaan media, hendaknya menyelesaikannya dengan mekanisme hak jawab atau mediasi ke Dewan Pers.
Menyelesaikan ketidakpuasan melalui mekanisme pemidanaan bisa memberikan efek yang tak diinginkan, yaitu membungkam fungsi penting dari media, yang melakukan fungsi kontrol sosial.
Namun AJI juga mendesak jurnalis dan media untuk selalu teguh menjalankan Kode Etik Jurnalistik.
Keempat. Wabah Covid-19 ini membawa dampak besar bukan hanya pada cara kerja jurnalis dalam jangka panjang, tapi terutama bagi keamanan pekerjaan jurnalis saat ini. Kesulitan ekonomi membuat pemasukan ke kantong perusahaan menurun drastis dan itu membuat kemampuannya untuk bertahan, sangat terancam.
AJI menilai perlu ada upaya ekstra bagi media untuk bisa bertahan di tengah krisis, dan mempertahankan jurnalis dengan tetap memberikan kesejahteraannya dan tidak melakukan PHK.
Dalam hal ini negara juga punya kewajiban membantu perusahaan media, melalui pemberian insenstif ekonomi, agar bisa tetap beroperasi, mempertahankan pekerjanya, dan menjalankan fungsi pentingnya di masa pandemi: menjadi pengingat publik dan kontrol sosial terhadap pemegang kekuasaan.
Simak juga dialog Iman D Nugroho (jurnalis CNN) dengan Ratna Ariyanti dari International Federation of Journalists (IFJ) Asia Pasifik berikut ini.
Editor : Rahardi