Oleh: Alfarisi Thalib
(Direktur Eksekutif Indonesia Political Studies)
Tinggal 16 Desember 2019 akan dilangsungkan pesta demokrasi desa, di ribuan desa yang akan melakukan pemilihan kepala desa di seluruh Indonesia, termasuk 82 desa di Kabupaten Bima, NTB.
“Demokrasi Desa”. Istilah ini tidaklah berlebihan, dengan melihat bagaimana geliat mereka dalam satu dekade belakang ini dalam membangun, mengembangkan dan memanfaatkan petensi desanya. Geliat ini menandakan bahwa desa telah berubah. Desa tidak lagi dapat dipandang sepele, sebagaimana sebelumnya dipandang sebagai simbol keterbelakangan dan kebodohan.
Desa memang telah berubah. Perubahan itu dapat dilihat di berbagai sektor, mulai dari politik, demokrasi, ekonomi, pembangunan, pertanian, sumberdaya manusia, wisata, dan lain sebagainya. Dari segi politik, masyarakat desa semakin melek, mereka mulai mafhum bahwa kekuasaan itu tidak bersifat teologis melainkan sosiologi, sehingga itu diperlukan partisipasi, pengawasan, kontrol, dan kiritik. Keadaan ini membentuk suatu bangunan demokrasi yang substantif, dan demokrasi ini selalu mengikuti nilai-nilai kearifan lokal setiap desa.
Bagaimana cara penyelesaian masalah antara desa A berbeda dengan desa B. Desa B bersifat religius, sementara desa A bersifat sangat moralis. Karakteristik ini menjadi warna khas demokrasi di Indonesia.
Dari segi ekonomi dan pembangunan. Desa-desa di Indonesia telah berubah menjadi satu kekuatan baru (new power) bagi bangsa Indonesia, yang dapat menunjang pembangunan nasional, indeks pertumbuhan ekonomi dan manusia di daerah. Secara otomatis Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan naik, sumber pendapatan daerah selain pajak bertambah, pendapatan perkapita meningkat. Pada akhirnya warga desa semakin sejahtera. Orang-orang kota akan kembali ke desa (ruralisasi). Desa akan menjadi destinasi baru bagi para traveler, dan kampung akan jadi ikon baru bagi para millenials.
Artinya desa saat ini telah memasuki era baru. Inilah yang saya disebut sebagai “Peradaban Desa”. Dimana desa saat ini telah menjadi otmosfir politik, ekonomi, pembangunan dan pertahanan suatu bangsa. Jika desa lemah, maka lemah pula pertahanan dan ekonomi negara. Ini bukan ngarang, tapi inilah yang sedang terjadi di berbagai negara: membangun desa.
Langkah ini pula yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia secara bertahap sejak reformasi berlangsung. Dan secara sangat radikal dikeluarkan UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah No.60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN. Hal ini mendorong desa-desa di Indonesia untuk mandiri dan berkompetisi dalam membangun.
Ini adalah suatu “revolusi baru” yang dibuat oleh pemerintah, walaupun pada praktiknya masih amburadul, tetapi pada paradigma sangatlah radikal, dimana pembangunan tidak lagi fokus di pusat atau di kota-kota melainkan dibuat dan direncanakan di desa-desa, bahkan oleh desa yang berada jauh dari akses, terosolir, yang bermukim di pegunungan dan hutan-hutan yang selama ini tidak tersentuh. Desa-desa telah bangkit.
Aturan di atas bukan hanya mengatur soal rencana program pembangunan, melainkan juga tentang tatakelola pemerintahan desa (Pemdes), keterbukaan informasi publik di desa (seperti kebijakan, program, keuangan, musyawarah, peraturan desa, dll), keuangan desa, pengelolaan aset-aset desa, ekonomi desa, dan demokrasi desa.
Maksud utama dari konsep ini adalah ingin membangun desa-desa yang mandiri: secara ekonomi, politik, pertanian, sumber daya, dan lain-lain. Hal ini membuat desa-desa menggeliat, dari yang sebelumnya dipandang sebelah mata menjadi penentu pembangunan. Diktum “Dari Desa untuk Negeri”. Ini sangat keren.
Desa memasuki era baru yakni era kebangkitan desa, pembangunan desa dan demokrasi desa. Era ini kadang dipahami dengan baik oleh pemerintah desa dan masyarakat desa. Kadang juga sama sekali tidak dimengerti oleh sebagian desa. Bagi yang mengerti, ini dapat dilihat hasilnya di beberapa desa di Indonesia, bagaimana kepala desanya mengelola keuangan desa dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dengan sangat tepat sasaran. Ratusan desa membuka lapangan kerja baru, menciptakan destinasi wisata baru, sumber daya desa yang tepat sasaran, pemuda pemudi yang terperdaya.
Muncul pemimpin-pemimpin desa yang “benar” dan kompeten. Cerdas dan inovatif dalam mengelola desa, yang tidak melulu soal kharisma tetapi dengan kecerdasan dan kreatifitas. Desa-desa akan lebih maju.
Namun bagi mereka yang tidak mengerti, tentang kondisi yang berubah ini. Menganggap dunia “masih sama”. Dapat dilihat dari fisik desa yang tertinggal jauh, kondisi desa yang seolah tanpa penghuni. Desa hanya dikuasai oleh segelintir elite desa dan bandit desa secara hirarkis. Sudah menjadi rahasia publik, dimana banyak desa-desa di Indonesia, khususnya di Bima, dikelola dan dipimpin secara ‘premanisme’.
Dana desa pertama kali dikucurkan tahun 2015 hingga 2019 sebesar Rp. 257 triliun, dan RPJMN tahun 2019-2025 telah dialokasikan Rp. 400 triliun. Sementara dana desa tahun 2019 ini telah dialokasi sebanyak Rp. 70 triliun, dimana setiap desa mendapat Rp. 1 miliar. Anggaran yang begitu besar ini hanya dibagi-bagi dan dinikmati oleh keluarga dan penguas desa. Untuk menutupinya mereka membuat “BUMDes fiktif”. Hasilnya omong kosong. Seharusnya, semakin besar Dana Desa semakin maju sebuah desa, bukan sebaliknya. Artinya ada yang tidak beres, pasti banyak bandit.
Salah urus desa akan sangat merugikan warga. Maka harus diakhiri. Dengan itu, desa-desa dalam era yang berubah ini haruslah dipimpin oleh orang yang mengerti cara memimpin dan mengelola sumber daya desa. Dengan pengetahuan, gagasan, kecerdasan, profesionalisme, inovasi, kreasi, dan out of the box.
Dengan cara ini, desa tidak lagi bisa dipandang sebagai desa (village), melainkan kota baru (the new city). Maka diperlukan kepala-kepala desa yang berpikiran baru dan berwawasan baru; berpikir lokal bertindak global. Seperti yang dilakukan panitia pemilihan desa di Desa Ngali, di Bima. mengganti kotak suara dengan ember. Anti pecah, anti air dan murah. Ini unik, dan bisa dicontoh oleh KPU yang mungkin dapat menggantikan kardus.