Lontar.id – Partai Golkar dan Gerindra merupakan dua partai politik yang paling getol rebutan kursi Ketua MPR RI periode 2019-2024. Bambang Soesatyo (Bamsoet) disusulkan oleh Golkar sedangkan Ahmad Muzani perwakilan dari Gerindra.
Keduanya mewakili partai koalisi pendukung pemerintah Jokowi-Ma’ruf dan partai oposisi. Selain dua poros utama yang muncul di publik sebagai kandidat kuat Ketua MPR, terselip nama Fadel Muhammad perwakilan dari unsur DPD.
Jika melihat dari latar belakang dan jejak rekam kandidat, semuanya representatif. Bamsoet pernah menjabat sebagai Ketua DPR, Ahmad Muzani pernah mencicipi kursi pimpinan MPR dan Fadel Muhammad di jalur birokrasi sebagai mantan Gubernur Gorontalo dan anggota DPR.
Akan tetapi, untuk menduduki kursi Ketua MPR harus melalui dua mekanisme pemilihan, pertama melalui pemilihan musyawarah mufakat, apabila cara tersebut menuai jalan buntu maka akan dilakukan opsi voting sesuai pasal 21. Hal tersebut tertuang dalam Tata Tertib MPR tentang Tata Cara Pemilihan Ketua MPR.
Jika melihat keterwakilan partai politik koalisi pemerintahan, mendominasi partai oposisi. Bamsoet yang diusulkan sebagai salah satu kandidat, paling tidak telah mengantongi 335 suara. Suara tersebut didapatkan dari dukungan Partai Golkar 85 kursi, PDIP 128 kursi, Nasdem 59 kursi, PPP 19 kursi dan tambahan kursi dari dukungan PAN 44 kursi.
Suara Bamsoet akan semakin bertambah seiring lobi politik dengan parpol lainnya terima, jika PKB yang notabene koalisi pemerintah bergabung dengan 58 kursi menjadi 393 suara. Jumlah tersebut telah melebihi setengah dari 711 anggota MPR. Dari sini kita dapat memprediksi kursi Ketua MPR hampir pasti digenggam Golkar.
Sementara Ahmad Muzani hanya mengandalkan Partai Gerindra 78 kursi dan PKS 50 kursi. Praktis perolehan suara tersebut belum mampu menandingi suara Bamsoet, meskipun tambahan dari Partai Demokrat sebanyak 54 kursi dengan suara DPD sebanyak 136. Belum lagi jika melihat anggota DPD sebagian lainnya merupakan perwakilan dari partai koalisi dan oposisi. Maka suara DPD kemungkinan akan bertambah secara merata di kedua calon.
Masihkah Ahmad Muzani mampu memperoleh suara tertinggi jika pemetaan politik telah didominasi partai koalisi? Kemungkinan peluangnya masih ada, karena sejauh ini Ahmad Muzani masih gencar membangun komunikasi dengan Bamsoet agar dirinya dipercayakan sebagai Ketua MPR. Pasalnya, di pemerintahan harus ada proses check and balance agar kekuasaan dapat diawasi oleh oposisi. Karena posisi presiden dan Ketua DPR dari partai pemenang pemilu.
Mengapa Ketua MPR saling diperebutkan sementara kewenangan MPR tidak seperti masa Orde Baru (Orba)? Sebagai lembaga tertinggi dengan kewenangan besar. MPR di masa Orba memiliki kewengan yang sangat besar, yaitu dapat memilih presiden dan wakil presiden (presiden adalah mandataris MPR), memintai laporan pertanggungjawaban presiden melalui sidang, memakzulkan presiden, GBHN, hingga kewenangan mengubah atau mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45).
Namun, saat Orba bergulir, kewenangan MPR semakin susut setelah amandemen UUD 45, ia bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara, namun berubah menjadi lembaga tinggi negara. Dimana anggota MPR terdiri dari DPR dan DPD dan setara dengan lembaga Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan lembaga negara lainnya. Serta tugas dan fungsinya hanya sebagai fasilitator sosialisasi empat pilar negara, melantik presiden dan wakil presiden dan merubah UUD 45 berdasarkan persetujuan 4/3 anggota dalam rapat Paripurna.
Pengamat politik Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin menjelaskan, terkait perebutan kursi Ketua MPR antar Bamsoet dan Ahmad Muzani hanya karena gengsi politik semata. Dimana MPR memiliki kedudukan sederajat dengan DPD, DPR dan lembaga negara lainnya.
Menurut Ujang, apabila melihat kewenangan MPR saat ini tidak sekuat dahulu ketika amandemen belum dilakukan sebanyak 4 kali, sejak 1999-2002. Menjadi Ketua MPR katanya, hanya untuk memenuhi hasrat kekuasaan saja dan terlebih mendapatkan fasilitas negara yang sama dengan DPR.
“Ketua MPR itu soal gengsi, gengsi menjadi ketua lembaga tinggi negara. Walaupun miskin kewenangan dan sedikit pekerjaan. Tapi Ketua MPR sejajar dengan ketua lembaga tinggi negara lainnya seperti DPR, DPD, Eksekutif, dll,” kata Ujang Komarudin kepada Lontar.id, Kamis (3/10/2019).
Emrus Sihombing, Direktur Eksekutif Lembaga Emrus Corner Jakarta mengatakan, proses pemilihan Ketua MPR harus dilakukan melalui musyawarah mufakat. Namun apabila para elit politik menggunakan cara voting dalam proses pemilihan, kata Emrus Sihombing, para politisi hanya mengejar kekuasaan dan sangat jauh dari sebutan sebagai seorang negarawan.
“Jika mereka politisi negarawan, penentuan paket pimpinan MPR-RI harus melalui musyawarah. Sebaliknya bila melalui voting, maka mereka lebih dekat sebagai politisi politikus, yaitu orientasi utamanya memperoleh kekuasaan yang seolah mengabaikan bagaimana proses memperoleh kekuasaan itu sendiri,” tutupnya.
Editor: Ais Al-Jum’ah