Lontar.id – Pemerintah daerah harus menghitung ketersediaan kebutuhan dan layanan dasar bagi masyarakat agar kehidupan sosial dapat berjalan dengan lancar, jika ingin melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Hal itu disampaikan oleh Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan, Safrizal ZA, dalam konferensi pers secara daring di Graha BNPB, Jakarta, Kamis (9/4/2020).
Kata dia, pemerintah daerah harus memenuhi beberapa syarat untuk melakukan PSBB, kemudian diajukan kepada pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kesehatan berkoordinasi dengan Gugus Tugas Penanganan COVID-19 nasional.
Safrizal mengatakan pembatasan sosial berskala besar dapat menyebabkan masyarakat sulit mencari nafkah karena semuanya akan melaksanakan gerakan besar pembatasan gerakan dengan tetap tinggal di rumah dan keluar, jika sangat penting sekali.
“Oleh karenanya, pemerintah daerah harus menghitung ketersediaan kebutuhan dan layanan dasar bagi masyarakat agar kehidupan sosial dapat berjalan dengan lancar,” kata Safrizal seperti tertulis dalam rilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Selain kebutuhan masyarakat, ada beberapa hal lain yang menjadi kriteria,
di antaranya jumlah dan kasus kematian, serta adanya epidemologi di tempat lain yang berkoneksi dengan daerah yang akan mengajukan PSBB.
Di samping itu, Safrizal melanjutkan, pemerintah daerah perlu menyiapkan data-data pendukung, misalnya peningkatan data mengenai peningkatan kasus dan waktu kurva epidemologi ini membutuhkan kajian dari pemerintah daerah, termasuk penyebaran dan peta penyebaran menurut kurva waktu.
“Jadi, bisa dihitung kecepatan penyebarannya, serta kejadian transmisi lokal yang disebabkan oleh penyebaran, serta hasil tracing atau tracking penyebaran epidemologi yang menyebabkan ada penularan dari generasi kedua dan generasi ketiga,” lanjutnya.
Pemerintah daerah juga harus menghitung kebutuhan sarana dan prasarana kesehatan, mulai dari ruang isolasi, karantina, ketersediaan tempat tidur, termasuk juga alat-alat kesehatan lainnya, seperti alat pelindung diri, termasuk ketersediaan masker untuk masyarakat.
Hal lain adalan harus menghitung biaya untuk tiga kegiatan utama pemerintah daerah. Pertama, pemenuhan alat kesehatan, kedua menghidupkan industri yang mendukung kegiatan pembatasan atau penanganan COVID-19, serta kebutuhan layanan dasar melalui bantuan sosial bagi masyarakat.
“Anggaran ini sudah diinstruksikan oleh Menteri Dalam Negeri, juga berdasarkan dengan surat edaran yang sudah dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri. Anggaran ini harus dinyatakan dalam komitmen anggaran yang sudah diwujudkan dalam perubahan alokasi,” ujar Safrizal.
Selain hal-hal tersebut, pemerintah daerah juga harus menyiapkan operasionalisasi jaringan pengamanan sosial. Oleh karenanya, sebelum diajukan, pemerintah daerah dapat berkoordinasi dengan aparat penegak hukum.
“Menkes dalam hal ini yang akan menetapkan proses penetapan PSBB ini nanti akan berkoordinasi dan mendapat pertimbangan dari Ketua Gugus Tugas Pusat, serta mendapat pertimbangan dari tim pertimbangan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 8 Permenkes nomor 9,” bebernya.
Jika kondisi yang diajukan sudah memenuhi syarat, paling lama dua hari setelah prasyarat diajukan, akan diterbitkan penetapan. Namun, jika prasyarat dan kondisi yang disyaratkan masih mendapat kekurangan, maka Menteri Kesehatan dapat mengembalikan untuk diperbaiki data-data dukungnya.
Kemudian, setelah mendapat pertimbangan dari ketua pelaksana gugus tugas, dan pertimbangan dari dewan pertimbangan, maka kepala daerah dapat langsung memberlakukan PSBB.
“Kami juga menyampaikan bahwa pemberlakuan PSBB sangat berkaitan langsung dengan daerah sekitarnya.Oleh karenanya daerah yang akan memberlakukan PSBB ini harus menghitung, satu hal yang harus dijamin adalah pasokan logistik, pasukan alat-alat, pasokan bahan-bahan dalam rangka penanganan COVID-19 ini tidak terganggu,” kata Safrizal.