Lontar.id – Direktur Lokataru, Haris Azhar, meminta Jaksa Agung RI, ST Syafruddin, untuk membuka hasil penyelidikan Komnas HAM terkait peristiwa Semanggi dan Trisakti.
Hal itu disampaikan Haris menanggapi pernyataan Burhanuddin, yang menilai bahwa peristiwa Semanggi I, II dan Trisakti bukanlah kasus pelanggaran HAM berat, hal itu merujuk pada hasil Rapat Paripurna DPR RI periode 1999-2004.
Menurut Haris, peristiwa Semanggi dan Trisakti merupakan kasus pelanggaran HAM berat.
“Astagfirullah!! Jaksa Agung harus ambil teleskop untuk baca hasil penyelidikan Komnas HAM dan UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sudah jelas bahwa peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2 adalah kasus pelanggaran HAM berat,” terang Haris Azhar melalui pesan Whatsapp.
Haris Azhar mengatakan, masih terdapat 11 kasus lain yang menggantung belum ada kejelasan hingga saat ini. Kata dia, kasus pelanggaran HAM berat itu sulit untuk dibongkar karena adanya dugaan para oknum pelaku berada di pusaran kekuasaan.
Ia juga mengirim daftar kasus yang belum diselesaikan seperti peristiwa 1965-1966, peristiwa Petrus 1982-1985, peristiwa Talangsari 1989, peristiwa kerusuhan Mei 1998, peristiwa Dukun Santet 1998, peristiwa Rumoh Geudong 1989-1998.
Peristiwa Simpang KKA 1999, peristiwa Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, peristiwa Wasior 2001. Peristiwa Wamena 2003 dan peristiwa Jambu Keupok 2003.
“Kalau ada hambatan tersebut sebaiknya Jaksa Agung mengakui saja, dan lapor presiden. Janganlah memutar balikkan fakta tanpa pernah bekerja. Kasihan malah terlihat tidak cerdas,” tutupnya.
Senada dengan Haris, Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, juga meminta Jaksa Agung RI, ST Burhanuddin, untuk membuka berkas penyelidikan Komnas HAM terkait peristiwa Semanggi dan Trisakti.
“Pernyataan Jaksa Agung tersebut didasarkan pada keputusan DPR. Kalau memang Jaksa Agung mau mendasarkan pada keputusan tersebut, kami meminta Jaksa Agung untuk segera mengeluarkan status terhadap berkas penyelidikan komnas HAM yang saat ini ada di Jaksa Agung,” kata Beka Ulung Hapsara melalui pesan Whatsapp, Kamis (16/1/2020).
Terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid, berpendapat bahwa pernyataan Jaksa Agung tidak kredibel. Alasannya, untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran HAM, harus dilakukan proses penyelidikan dan bukti yang valid.
“Pernyataan itu tidak kredibel, jika tanpa diikuti proses penyidikan yudisial melalui pengumpulan bukti yang cukup, berdasarkan bukti awal dari penyelidikan Komnas HAM,” ujarnya.
Dikonfirmasi terpisah, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengaku akan mengecek terlebih dahulu hasil rapat paripurna DPR sebelum mengeluarkan pendapat. Ia beralasan dirinya belum menjabat anggota DPR kala itu.
“Tapi sepertinya, hasil paripurnanya memang begitu,” terang Sufmi Dasco Ahmad.
Editor: Kurniawan