Lontar.id – Penyalahgunaan narkoba di Indonesia sudah mencapai taraf yang mengkhawatirkan, merambah ke semua kalangan. Penggunanya bukan saja dari kalangan orang dewasa, tapi masuk ke kalangan anak-anak muda.
Pemerintah sudah gencar melakukan upaya pemberantasan narkoba bahkan menyatakan perang. Namun hasilnya masih saja belum maksimal, karena terdapat sejumlah daerah ditemukan transaksi jual beli barang tersebut.
Kasus penyalahgunaan narkoba turut menjadi perhatian serius dari Sekjen Partai Demokrat Hinca Pandjaitan. Menurut dia, narkoba merupakan ancaman kita semua, bahkan lebih besar dari ancaman proxi war.
Rehabilitasi pun digalakkan untuk mengobati para pencandu, tapi jumlahnya masih sedikit. Mengacu pada data rehabilitasi dunia internasional, kata Hinca Pandjaitan, Indonesia masih belum maksimal.
“Kalau negara maju kapasitas rehabilitasi pada kisaran 18-22 persen, itulah yang kita anggap baik. Kita hanya 10,5 persen itupun 7,3 dari pemerintah dan 2,7 milik swasta,” kata Anggota Komisi III Hinca Pandjaitan saat RDP dengan BNN di Kompleks Parlemen, Kamis (21/11/2019).
Bicara soal penanganan pecandu narkoba melalui rehabilitasi, Hinca Pandjaitan mengutip pasal 54 undang-undang tentang narkotika. Bahwa penanganannya tidak saja melalui metode medis melainkan juga digunakan metode sosial.
Rehabilitasi sosial ini, ia menawarkan metode pengobatan berbasis kearifan lokal. Yaitu menggunakan racikan obat tradisional verbal dari tumbuh-tumbuhan yang sudah dikenal luas oleh masyarakat setempat. Metode ini ia sebut sebagai ‘metode kearifan lokal’.
Ia mencontohkan beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Thailand hingga Thiongkok sudah lebih dahulu menggunakan metode ramuan verbal.
Menurut Hinca, cara tersebut cukup efektif mengobati para pencandu narkoba dan itu bisa diterapkan di Indonesia. Hanya saja ia tidak menjelaskan secara rinci terkait data dari negara tetangga, berapa jumlah dan seberapa efektifnya bila mengobati dengan obat tradisional.
“Salah satu metode yang dikembangkan untuk pengobatan alternatif dan bisa dijadikan sebagai model. Seperti di Malaysia menggunakan ramuan verbal, kemudian di Thiongkok dan di Thailand menggunakan metode memanfaatkan tanaman tradisional,” ungkapnya.
Terapi Menggunakan Air Tuak
Pohon Aren memiliki banyak manfaat. Air yang di suling dari pohon tersebut bisa digunakan untuk membuat gula aren. Tetapi bisa juga digunakan untuk membuat minuman alkohol melalui proses fregmentasi dan minuman khas seperti tuak.
Hinca Pandjaitan yang menawarkan metode pengobatan berbasis kearifan lokal mengaku air tuak bisa menjadi alternatif bagi para Pecandu narkoba.
Metode ini ia dapatkan melalui kesaksian 18 pemuda di Batak yang menguji khasiat air tuak. Para pemuda ini awalnya pecandu narkoba.
Setelah diuji khasiatnya, ia mendapati bahwa para pemuda tersebut tidak lagi memakai narkoba karena menggantinya dengan minuman tuak.
“Di Batak disebut dengan tuak, saya bertemu dengan anak muda di Siantar, 18 orang mantan pengguna narkoba. Mereka ingin sekali menguji dan saya mendengarkan kesaksian 18 orang ini memberikan kesaksian. Ada seorang suami, dibelilah oleh seorang istrinya tuak asli, dia tidur nyenyak sampai pagi dan jam 5 sudah bangun dan pergi kerja lagi,” jelasnya.
Berdasarkan kesaksian 18 orang pemuda Batak itu, Hinca meyakini minuman tradisional tuak bisa dijadikan sebagai obat atau terapi bagi para pecandu narkoba. Utamanya bisa menolong para pecandu disejumlah daerah yang jumlahnya cukup besar.
“Sehingga saya buat tagline, tuak baik untuk terapi narkoba berbasiskan kearifan lokal. Ini berangkat dari keraguan dan kegelisahan kita, siapa yang akan menolong 2,5 juta orang itu (pecandu narkoba),” imbuhnya.
Sementara itu untuk kasus penyalahgunaan narkoba di daerah lain, anggota DPR F-Golkar Supriansa mengatakan, BNN perlu bekerja ekstra keras guna memberantas penyalahgunaan narkoba. Khususnya di Sulawesi Selatan, ia sangat jarang menemukan adanya pemberitaan di media massa, terkait tertangkapnya penyelundup narkoba melalui udara dan laut.
Akan tetapi, pada kenyataannya, peredaran narkoba di Sulsel juga kian mengkhawatirkan. Jika tidak ditemukan adanya penyelundupan narkoba yang ditangkap polisi, misalnya di bandara dan pelabuhan. Supriansa mencurigai bahwa di Sulsel memproduksi sendiri narkoba melalui Home industri.
Ia memperkuat analisisnya dengan kenyataan, bahwa barang tersebut jarang ditemukan oleh BNN melalui udara dan laut. Namun di tengah-tengah masyarakat, narkoba kerap kali ditemukan melalui pengrebekan polisi.
Hal itulah yang mendasari Supriansa mencurigai adanya home industri yang memproduksi narkoba. Ia meminta agar polisi dan pihak terkait serius menanganinya, sehingga Sulsel keluar dari zona darurat narkoba.
“Berdasarkan analisis saya, masih perlu BNN untuk mencari di mana kira-kita asal narkoba itu. Kita mengatakan tidak ditemukan pabriknya tapi barangnya ada, kemudian tidak ditemukan barang lewat udara dan laut misalnya tapi beredar di mana-mana. Jangan sampai ada home industri, kan barang kimia seperti ini dijual di mana-mana,” urai Supriansa usai Rapat Dengar Pendapat (RDP).
Editor: Ais Al-Jum’ah