Jakarta, Lontar.id – Koalisi Adil Makmur sedang goyah. Sekutu Gerindra, yakni PAN dan Demokrat disebut-sebut akan angkat kaki dan merapat ke kubu Jokowi.
Tidak ada pertemanan yang abadi, yang ada hanya kepentingan. Gerindra tak perlu risau dengan keadaan yang mereka terima. Apalagi, mereka mendaku dirinya sudah menang dalam kompetisi bukan?
Jika toh nantinya menang, partai-partai yang disinyalkan akan putar haluan harus dipikirkan ulang untuk diberi jatah jabatan. Pengkhianatan adalah hal yang serius.
Isu itu muncul setelah Komandan Kogasma Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono, mendatangi Jokowi. Jika dipikir secara rasional, tidak masalah bukan? Dia kan cuma berbincang dengan lawan politiknya. Apa yang salah?
Politik zaman kiwari ini, gampang membuat masyarakat memasukkan setiap langkah orang-orang partai ke dalam hatinya. Berkomentar begini, bawa berasaan. Berkomentar begitu, bawa perasaan.
Omong-omong soal AHY, pengurus partai Demokrat bilang mereka setia dan tetap berada di barisan Prabowo-Sandi sampai 22 Mei, setelah pengumuman resmi KPU.
Tetapi sambungan kalimatnya realistis. Jika Prabowo menang, Demokrat di koalisi dan membantu membangun dari dalam. Sebaliknya, jika Jokowi menang, mereka akan mandiri.
Wacana keluar dari koalisi makin diperkeruh setelah AHY diindikasikan berambisi besar untuk menyongsong 2024. Masuk dalam istana bisa mendongkrak elektabilitasnya.
Begitu juga dengan PAN. Mau menetap atau meninggalkan Prabowo seorang diri, bisa saja dilakukan. Lumrah. Meski masih ada nama Amien Rais di lingkaran Prabowo, bukanlah jaminan.
Toh, pada periode pertama Jokowi, PAN dapat jatah menteri. Lalu mengapa harus khawatir dikhianati? Kembali lagi ke adagium awal: tak ada pertemanan abadi, yang ada cuma kepentingan.
Walau kabar tersebut terus digaungkan, tetapi petinggi PAN juga menepis kabar itu. Ia mendaku kalau PAN akan bersama Prabowo. Sama seperti sikap Demokrat sekarang: belum menunjukkan sikap terang-terangan.
Gerakan dua partai ini sebenarnya tidak seksi dilirik. Pola lama masih dimainkan. Ujungnya ya bisa saja bergabung ke Jokowi atau tetap bersama Prabowo. Tak ada gesekan yang berarti di masyarakat bawah jika dipikir.
Yang menarik perhatian adalah PKS. Partai yang bernapaskan Islam ini, kemarin diwacanakan akan membentuk fusi bersama Jokowi. Tidak mungkin PKS masuk Istana Presiden. Itu pikiran saya.
Apa alasannya? Secara sederhana, mereka membawa suara umat yang sudah terpolarisasi di pundaknya. Ada ikatan batin antara PKS dan kalangan akar rumput yang agamais.
Insiden yang sentimentil dalam ranah agama adalah hal yang serius bagi rakyat kecil. Bisa juga menjadi utama. Ini menjadi tarikan yang kuat agar PKS tidak meninggalkan Prabowo sendiri.
Belitan makin dikencangkan usai Ustaz Abdul Somad pernah menyebut nama PKS berkali-kali sebagai partai yang harus dipandang untuk menjaga suara umat.
Walau nantinya digoda dengan jatah menteri di kabinet, pada PKS lah orang-orang masih berharap mereka menjadi oposisi yang kuat. Yang masih mau mendengar suara rakyat biasa.
Jika pada akhirnya PKS masuk dalam koalisi Jokowi, bukan tidak mungkin, para simpatisan dan pendukung PKS selama ini, akan kecewa. Gejolak pasti muncul.
Saat itu, bisa jadi Garbi–yang sekarang masih jadi ormas–memanfaatkan momen dengan melengket ke Prabowo dan menampung suara kekecewaan akar rumput pada PKS.
Ini bukan isapan jempol. Sebab, kader PKS saja sudah banyak yang menyeberang ke Garbi, sebab mungkin ihwal ideologis. Apalagi kalau PKS buat blunder. Ya kan?
Bukan cuma Garbi yang diuntungkan. Sandiaga Uno dan Gerindra bisa saja dapat tempat di hati masyarakat yang telanjur apatis pada politik, setelah oposan mudah limbung dihantam tawaran menteri atau komisaris.
Dalam ingatan publik, Gerindra dan Sandiaga kemungkinan besar dianggap sebagai seorang pesakitan yang tabah ditinggal teman koalisinya. Empati pun kemungkinan besar bisa mengalir dan memperkuat suara Gerindra di mana-mana.
Secara khusus, peluang Sandi untuk menaikkan nilai tawarnya pada 2024 mendatang juga terbuka lebar. Sandi memainkan perannya dengan tidak terlalu banyak manuver seperti politisi umumnya.
Langkahnya tepat dengan Prabowo yang merasa tertambah dizalimi, jika koalisinya bubar. Jika begitu ujungnya, empati pemilih-pemilih lama akan membanjiri kantong-kantong Sandiaga.
Suara juga akan ditambah oleh pemilih baru kalangan generasi milenial masa mendatang. Pandangan akan tertuju padanya. Popularitas naik, elektabilitas apalagi.
Jadi bertahan atau meninggalkan koalisi Indonesia Adil Makmur, PKS? Secara jujur ingin saya katakan, saya masih berharap ada perlawanan serius dari oposisi, jika memang Jokowi terpilih menjadi presiden lagi.