Lontar.id – Pilpres tinggal menghitung hari lagi, apakah Jokowi lagi atau The New Probowo jadi presiden, itu masih samar-samar. Belum jelas siapa yang akan meneng sebelum KPU memutuskan pada pleno terakhir. Dalam rentang waktu yang tidak lama lagi, semua orang boleh saja mengemukan pendapat masing-masing.
Apalagi dialam demokrasi ini yang memberikan kebebasan pada tiap orang menyampaikan pendapatnya di publik. Misalnya pendukung Jokowi akan mengklaim pihaknya yang akan menang, setidaknya berdasarkan hasil survei yang menunjukkan jika petahana kerap berada di urutan paling atas. Demikian juga dengan pendukung Prabowo, meyakini 2019 akan ganti presiden, dan Prabowo-lah orang yang tepat.
Sekali lagi, itu adalah pendapat setiap orang dan sangat subyektif, tergantung afiliasi politik kepentingannya kemana. Bila ia pendukung Jokowi, maka wajar ungkapan seperti itu ia kampanyekan di ruang-ruang publik, meyakinkan orang-orang disekitar, teman, keluarga hingga kerabat satu kantornya, demikian sebaliknya.
Meski kita belum bisa memastikan siapa yang akan terpilih kelak sebagai presiden, namun paling tidak, sepanjang masa kampanye berlangsung, tingginya animo masyarkat terhadap salah satu paslon dan menguatnya dukungan dari berbagai kalangan, kita dapat memprediksi atau menduga-duga si A pemenangnya dan si B yang akan kalah.
Tulisan ini bukan bermaksud mendahului keputusan penyelenggara pemilu, tetapi sebuah pendapat pribadi berdasarkan pengamatan sepanjang kontestasi pemilu dilaksanakan. Kembali lagi bahwa ini hanya sebuah pendapat, bukan justifikasi yang dapat dijadikan sebagai patokan. Jadi nikmati saja, soal Anda suka atau tidak suka dengan pendapat ini, boleh saja menulis pendapat Anda di kolom komentar.
Pada pemilu 2014 lalu, pasangan Jokowi-Jusuf Kalla mendapatkan dukungan mayoritas publik, melawan Prabowo-Hatta. Gegap-gempita relawan dan simpatisan Jokowi seperti tak terbendung, massa pendukung terus bermunculan setiap kampanye di sejumlah daerah sangat membludak. Hampir saat itu, Jokowi seperti tak ada tandingannya dan ia berhasil mengalahkan Prabowo. Hal yang sama juga dialami di masa periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ia tangguh dan tak terkalahkan.
Namun berbeda halnya dengan pemilu 2019, Jokowi nampak terlihat melempem dan menujukkan masa-masa kesuraman. Coba kita lihat pada kampanye terakhir Jokowi-Ma’ruf di Gelora Utama Stadion Gelora Bung Karno (GBK). Jika membandingkan dengan massa pendukung Prabowo yang lebih duluan menggunakan GBK sebagai temapt kampanye. Maka kita dapat menyaksikan tingginya animo masyarakat mendatangi kampanye Prabowo ketimbang Jokowi.
Massa Prabowo yang sebagian besar dari kalangan ummat Islam, memadati GBK dengan seragam mengenakan baju warna putih. Tidak saja di dalam GBK namun diluar stadion itu, massa berserakah. Mereka datang dari berbagai daerah, mulai dini hari. Kampanye terakhir itu sebenarnya salah satu ajang untuk unjuk kekuatan, kandidat mana yang paling banyak mendapatkan dukungan dari pemilih. Anda sudah pasti bisa membandingkan keduanya dan menyuimpulkan sendiri.
Saya melihat di pemilu 2019, dukungan masyarakat terhadap Prabowo-Sandi cukup besar, merambah ke semua kalangan. Tidak saja dari kalangan ulama yang sejak awal getol mendukung Prabowo dengan mengeluarkan putusan melalui ijtimak ulama pertama dan kedua, melainkan masyarakat yang tidak masuk dalam kalangan ini juga ikut memilih Prabowo.
Lantas apakah dengan demikian Prabowo akan terpilih di Pilpres 2019 sebagai presiden baru, seperti platform yang populer selama pilpres ini yaitu 2019 Ganti Presiden. Sekali lagi belum tentu, tapi bisa jadi iya.
Saya cenderung berpikir, melihat dukungan masyarakat dan ulama ke Prabowo yang semakin menguat, mengindikasikan kemenangan Prabowo sudah tiba waktunya. Terkait alasan memilih Prabowo, karena petahana sejauh ini dianggap gagal menjalankan tugasnya sebagai seorang pemimpin. Kegagalan Jokowi yang kontras sekali terlihat, ketika para ulama serentak mendukung Prabowo dan kerap mengkriti Jokowi dalam berbagai ceramah di depan ummatnya.
Memang para ulama di pemilu-pemilu sebelumnya tidak secara terang-terangan mendukung salah satu capres, meskipun ada tapi tidak terlalu banyak seperti sekarang. Ulama sepertinya tidak ingin lagi terjadi kejadian yang sama, selama lima tahun terakhir. Acara ceramah dan dakwah di pelosok negeri, dianggapnya kerap tidak mendapatkan izin dan penolakan, itu didasari karena rezim anti terhadap ulama. Meski hal itu saya kurang sependapat, tetapi mereka sudah berani menyatakan pendapatnya di depan umum tanpa adanya rasa takut.
Lalu bagaimana dengan pemilu 2019, apakah The New Prabowo akan jadi presiden? Tanda-tanda itu sudah terlihat, sisa proses formalitas di KPU saja.