Lontar.id – Apa jadinya ketika anak-anak usia dini dilibatkan dalam aksi kerusuhan 22 Mei, merangsek masuk bersama kawanan orang-orang dewasa yang menggunakan batu, kayu, bom molotov dan petasan mempersenjatai diri menyerang aparat kepolisian di Gedung Bawaslu RI.
Bagi anak-anak yang masih seumuran bau kencur, akan menjadikan aksi kerusuhan sebagai ajang menunjukkan kebringasannya. Ajang memperlihatkan eksistensi diri agar diakui dilingkungannya.
Mendapatkan pengakuan diri dari lingkungan sangat penting bagi mereka, agar terlihat keren karena sudah menunjukkan suatu perbuatan besar yang bisa ia lakukan.
Ia tak akan peduli seberapa besar risiko yang akan diambil, betapa mengerinya kerusuhan itu hingga menelan korban jiwa. Bukan saja korban luka-luka yang berjatuhan tapi korban meninggal dunia.
Siapa yang lantas disalahkan jika diantara mereka menjadi korban, apakah orang tua yang gagal mendidik anaknya, sekolah yang tidak berhasil menanamkan pendidikan pencegahan atau aparat yang menindakki dengan tegas?
Tak perlu mencari tahu siapa yang harus disalahkan, karena ini akan menciptakan ‘lingkaran setan’ yang tidak ada ujugnya, sebab pendidikan dari lingkungan keluarga juga sangat berpengaruh dari lingkungan masyarakatnya.
Tapi satu hal yang perlu kita sayangkan, mengapa harus ada anak-anak remaja lugu yang tidak tahu menahu tentang politik, atau paling tidak mengatahui secara detail tentang kecurangan pemilu.
Bukan berarti saya memojokkan anak kecil tidak dapat mengetahui informasi tentang kecurangan pemilu, apatah lagi di zaman serba instan sekarang. Cukup memiliki gawai canggih dan kuota internet, semuanya bisa diakses.
Tapi, apakah dengan data di internet yang berseliweran itu dapat dijadikan sebagai acuan, apalagi anak-anak ini belum punya pemahaman tentang politik yang memadai. Menurut saya, sangat kecil kemungkinan mereka mengetahui itu, orang dewasa saja masih sulit menganalisis kecurangan pemilu, Apalagi bicara soal kecurangan pemilu di Indonesia ini, seperti kentut. Tidak terlihat tapi bisa dirasakan baunya.
Jadi, apa yang melatarbelakangi mereka turut serta dalam aksi kerusuhan 21 dan 22 Mei itu. Jika menelisik dari jauh dan segala aspek, para anak-anak ini ada yang komandoi untuk melakukannya.
Seperti laporan yang dikeluarkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sebanyak 52 anak-anak yang terlibat serta dalam aksi unjuk rasa yang berakhir ricuh tersebut. Kini mereka di tempatkan di Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Diperlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Handayani, Jakarta. Mereka akan direhabilitasi sebelum dipulangkan kepada orang tuanya.
Kejadian ini sangat penting bagi kita semua untuk mengevaluasi kembali, terkait penting dan tidaknya mengerahkan anak-anak kecil di bawah umur turut terlibat dalam aksi kerusuhan. Tidak saja pada aksi 21 dan 22 Mei di Gedung Bawaslu itu saja, melainkan pada aksi-aksi selanjutnya.
Kita tidak ingin ada tangisan orang tua yang kehilangan anak semata wayangnya yang menjadi korban, karena kitasadar betul, seumuran mereka adalah generasi emas bangsa Indonesia yang akan melanjutkan tongkat estafet bangsa. Bagaimana jika mereka sudah tercemari dengan pemahaman radikal sejak usia masih kecil, bukankah negara akan semakin terancam kedepannya.
Urusan Pilpres maupun kecurangan pemilu, biarkan para orang dewasa yagn terlibat, entah melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran yang menutup bahu jalan atau menggunakan cara konstitusional lewat sengketa pemilu. Pada intinya jangan biarkan anak kecil terlibat, di umur mereka saat ini sedang asyik-asyiknya bermain, berkumpul sesama sebayanya menikmati dunianya sendiri.