Jakarta, Lontar.id – Prabowo sudah menang Pilpres 2019, tapi Jokowi nanti dilantik sebagai presiden! Kemenangan Prabowo sangat jelas terlihat, mayoritas masyarakat Indonesia mendukung Pak Prabowo sebagai presiden.
Hanya dengan kecurangan ia akan kalah, dikalahkan oleh orang berwatak culas dan haus kekuasaan. Demikianlah penggalan kata, isi diskusi saya dengan teman di warung kopi dibilangan Kalibata City, Jakarta Selatan tadi malam.
Diskusi di warung kopi memang ala kadarnya, kadang melompat dari topik yang satu ke topik yang lain, lalu kembali lagi ke topik awal. Sebagai diskusi warung kopi memang masih jauh dari kata ilmiah atau pendapat dari para ahli politik. Pendapat mereka banyak dikutip di media televisi maupun media daring, lalu jadi bahan diskusi yang membuka cakrawala berpikir seseorang tentang obyek yang sedang hangat dibahas.
Ya, namanya juga diskusi warung kopi, sebatas pada kelompok itu saja dan tidak dapat mempengaruhi orang lain. Tapi meski demikian, pendapat teman saya cukup membuat saya bertahan hingga last minute, mendengarkan dan menyimak setiap uraiannya.
Saya cukup tercengang dengan uraian-uraiannya, terutama dia menyebutkan. Jika Pilpres 2019 di menangkan Prabowo-Sandi tapi yang dilantik Komisi Pemilihan Umum (KPU), nantinya yaitu Jokowi-Ma’ruf sebagai presiden!
Mengapa bisa terjadi demikian? Sekali lagi saya ingin katakan, bahwa ini hanya diskusi warung kopi, bukan dimaksudkan untuk melegitimasi kubu Prabowo-Sandi atau menciderai kerja-kerja penyelenggara pemilu. Sebagai sebuah diskusi, boleh percaya dan boleh tidak atau sama sekali tak pernah ada.
Seperti kata teman saya, diskusi kami di warung kopi itu, hanya sebuah buih partisipasi publik terhadap kancah perpolitika saat ini. Ia bagian terkecil dari narasi diskusi panjang tentang siapa yang menang dan kalah, narasi yang tak berkesudahan hingga membuat sebagian orang terpecah belah karena faksi dan keberpihakan politik.
Betapa mudahnya seorang memutuskan hubungan antar sesama karena perbedaan pilihan politik, twit-twar di sosial media memenuhi percakapan dunia maya. Informasi tersebut kadangkala diserap begitu saja tanpa menggunakan pisau analisa, menyaring mana data yang benar dan hoaks, lalu disebarkan di group percakapan.
Sebuah teori propaganda yang dipopulerkan Paul Joseph Goebbels, yang diangkat Adolf Hitler sebagai Menteri Propaganda Nazi menyebutkan “Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya dan kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang diubah sedikit saja”.
Kembali ke topik awal. Sebelum memasuki hari pencoblosan, dukungan kalangan muslim yang diback up kalangan ulama kepada Prabowo-Sandi, cukup besar. Ulama mengeluarkan ijtimak pertama dan kedua, tetap memberikan dukungan ke Prabowo sebagai capres. Publik sudah menduga, Pilpres 2019 akan dimenangkan penantang Jokowi.
Tapi saat hari pencoblosan berlangsung, keadaan berbalik. Sejumlah lembaga survei berdasarkan hasil hitungan cepat (quick qount), mayoritas memenangkan Jokowi-Ma’ruf. Suaranya terpaut jauh, Jokowi-Ma’ruf 54 persen sedangkan Prabowo-Sandi 45 persen. Hasil tersebut jauh dari ekspektasi publik yang membayangkan jika pemilu akan dimenangkan Prabowo.
Pelaksanaan pemilu pun dikecam Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi dan pendukungnya. Mereka klaim ada kecurangan masif di Tempat Pemungutan Suara (TPS), mulai dari temuan kertas suara yang sudah tercoblos untuk nomor 01, KPPS mencoblos sendiri kertas suara hingga merubah hasil hitungan yang tertera di formulir data C1 dengan yang diinput di real count website KPU.
Setidaknya, BPN menemukan 1.261 kecurangan masif, rencananya akan dilaporkan ke KPU dan Bawaslu.
Teman saya katakan, kecurangan tersebut terjadi karena penguasa menggunakan infrastruktur negara, menekan dan mengendalikan pemilih untuk mencoblos 01. Alat negara yang seharusnya bersikap netral dalam pemilu, justru jadi tim pemenangan.
Mereka diancam akan di mutasi dan tidak dipromosikan jabatannya. Kata-kata itu meluncur membuat saya terdiam dan terus menyimak. Ia tidak menyebut siapa alat negara itu, mungkin ia khawatir, jika menyebut instansi kemungkinan diskriminasi cukup besar.
Kita cukup tahu, kendati di negara demokrasi yang bebas menyampaikan pendapat di muka publik, masih saja muncul bayang-bayang ketakutan. Karena kritik bisa disalah tafsirkan sebagai penghinaan, lalu dikenakan pasal karet. Korbannya pun ada banyak mendekam di jeruji besi lantaran kritik dan dianggap sebuah fitnah.
Lalu dari mana dasar argumentasi yang melegitimasi, jika Prabowo menang dan Jokowi akan dilantik?
Ia mendasari argumentasinya dari, banyaknya ditemukan kecurangan terjadi di tempat pemungutan suara dan tiba-tiba hasil di website KPU berbeda dengan hasil C1.
Suara Prabowo-Sandi yang unggul lalu dirubah kebalikannya. Hal itu terjadi sangat masif katanya, meskipun saat ini, BPN menemukan sejumlah bukti pelanggaran untuk diadukan ke penyelenggara hingga ke Mahkamah Konstitu (MK), tapi hasilnya tetap sama. Prabowo akan kalah dan Jokowi menang.
Realitas politik itu demikian sambungnya, sebab politik tidak bicara tentang baik dan buruk, melainkan menang dan kalah. Dalam teori kekuasaan, seorang yang ingin mendapatkan dan mempertahankan kekausaan akan menggunakan cara kotor.
Sejurus dengan anjuran politikus Italia, Niccolo Machiavelli dalam magnum opusnya berjudul asli De Principatibus “sang pangeran” (Il Principe). Machiavelli menekankan agar menggunakan segala macam cara untuk meraih kekuasaan.
Begitulah watak kekuasaan, ia akan menggunakan cara-cara kotor melanggengkan kekuasaannya, tanpa peduli yang disakiti. Bila perlu rakyat dikorbankan dengan iming-iming janji palsu, semua akan dilakukan.