Lontar.id – Bantuan sosial (Bansos) rentan dikorupsi. Hal itu pernah disampaikan Ketua KPK, Firli Bahuri. Menurutnya ada empat celah korupsi, yang paling rawan adalah program jaring sosial atau bantuan sosial dan pengadaan barang/jasa.
Bagiannya yakni pada pendataan penerima, klarifikasi dan validasi data, belanja barang, distribusi bantuan, serta di pengawasannya. “Penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial harus dijadikan rujukan pendataan di lapangan,” terang Firli.
Ucapannya Firli berbuntut kenyataan. Beberapa pejabat Dinas Sosial Kota Depok, Jawa Barat, mesti diperiksa polisi atas dugaan pungutan liar dana bansos yang dianggarkan Rp7,5 miliar untuk 30000 keluarga terdampak.
Para pejabat teperiksa itu mulai dari pimpinan atas sampai pejabat lapangan yang menyalurkan bantuan melalui rukun warga (RT). Itu informasi dari Sekretaris Daerah Kota Depok, Hardiono, yang dilansir dari Media Indonesia, Rabu 22 April.
Pemotongan bantuan itu bervariasi yakni Rp25 ribu sampai Rp100 ribu per kk. Coba saja kalkulasi, berapa yang didapatkan jika dalam satu RW ada berapa RT, dan di dalam satu RT berapa ada berapa KK.
Selain itu, ada juga koruptor kelas kecil yakni Ketua RT di Desa Telok, Kecamatan Kresek, Kabupaten Tangerang. Ia akhirnya kedapatan setelah banyak warga yang mengadu ke polisi.
Ia menjalankan modus meminta uang rokok kepada penerima bantuan sosial terdampak COVID-19. Dilansir BantenNews, Ketua RT meminta duit dengan besaran kisaran Rp50 hingga Rp100 ribu. Kepala Desa Telok, Bunyamin, membenarkannya. “RT saya ngakunya untuk sekadar beli rokok,” ungkap Bunyamin, Jumat 1 Mei.
Belakangan, setelah masalah ini mencuat, uang hasil potongan bansos itu, dikembalikan kepada yang berhak menerima. Itu diiyakan oleh Kapolsek Kresek, Akp Suryana, Sabtu 2 Mei, dikutip Detik.
“Jadi dia pakai motor muter-muter, mungkin di perjalanan nanti kalau ngambil, ada kiranya uang rokok, kiranya ngojek,” ujarnya. RT itu disebut beralasan dengan mendata warga dan mesti keliling.
Sementara, seorang Keluarga Penerima Manfaat (KPM), warga Desa Telok, inisial ER, mengaku bahwa keluarganya hanya menerima Rp500 ribu dari yang seharusnya Rp600 ribu.
“Semua dipotong Rp100 ribu orang Kampung Pulo, yang keliling RT 09 ke warga RT 10, ngomongnya disruh pegawai desa,” kata ER kepada wartawan, Kamis (30/4/2020) lalu, dikutip jaringan Suara.
ER terpaksa memberi karena Ketua RT itu bilang, ER tidak akan dapat menerima kembali bantuan tahap dua bila tidak memberinya uang.
“Sebetulnya, saya tidak keberatan bila uang itu dialihkan kepada warga yang tidak dapat bantuan, tapi pemotongan tidak jelas buat siapanya?” tuturnya.
Sementara dilansir Kompas, sekira 40000 warga di Makassar, komplain tak dapat sembako untuk PSBB. Di sisi lain, ada juga yang mulai mendapatkan bantuan itu.
“Ini pembagian sembako tidak merata, pemerintah pilih kasih,” kata Rukiah, warga di Kelurahan Ballaparang.
Angka itu diakui oleh Kepala Dinas Sosial Kota Makassar, Muchtar Tahir. “Saya sudah terima data baru 40000 warga belum mendapat sembako, sementara penerima yang terdata hanya 60000. Kiranya datanya akan terus bertambah.”
Jaminan sosial ada tiga sumbernya yakni dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan peemrintah kota. Mendata dan membaginya itu yang menyulitkan pihak Tahir.
“Hanya satu bantuan untuk satu keluarga. Ini kita sibuk mencocokkan data, jangan sampai dobel.”