Media sosial riuh dengan hujat dan makian saat beda pandangan soal pilihan politik. Parahkah sikap kita atau haruskah kita menganggapnya biasa saja?
Jakarta, Lontar.id – Sekali waktu saya pernah kecele, atau malu, atau lawan bicara saya yang malu, dalam mengobrol dan menanggapi isu politik yang berembus saat bersemuka dengan dua kawan saya.
Beberapa bulan lalu itu pilkada Sulsel, dan menyisakan beberapa borok dan bau anyir masa lalu yang saya ketahui. Sebagai generasi baru, mungkina saja saya terlalu sok tahu dan berapi-api dalam bicara ini dan itu.
Ingin sekali saya mengikuti para buzzer di media sosial yang kritis dan seenak jidatnya bicara. Sekali unggah, banyak yang bagikan dan memviralkan.
Pada beberapa kesempatan, dengan pengetahuan saya yang masih minim, saya asal kritik. Begitulah darah muda, kata Rhoma, darah saya masih berapi-api dan maunya menang sendiri.
Satu pasangan saya kritik habis-habisan. Ia korup. Semua orang tahu itu. Lucunya, ia masih saja dielu-elukan dan disanjung-sanjung. Barangkali saya seseorang yang melihat ia dari sisi buruknya saja.
Waktu itu kami bertiga duduk di sebuah kedai kopi kecil di Makassar. Kedai itu sepi. Pengunjungnya cuma kami bertiga. Kami membahas banyak hal.
Hal pertama adalah soal bacaan. Hal ini membuat saya mengecilkan diri. Sebagai lelaki yang sangat sedikit bacaannya, saya malu. Apalagi di hadapan perempuan.
Dua kawan yang sedang duduk anteng di hadapan saya adalah seorang perempuan. Bacaannya tinggi-tinggi dan banyak macam. Novel dan filsafat menjadi dua genre buku yang dibahasnya.
Keduanya menyoal teori blablabla. Jujur saja saya menjadi lelaki yang nalarnya di titik nadir jika membahas ha;-hal yang rumit. Mereka berdua membahas teks akademik dan terlihat intelek.
Baca juga: Sastra, Filsafat, dan Seperti Politik, Akal Sehat Harus Dibayar Tuntas
Karena saya jadi orang pendiam, ia mengganti pembahasan. Inilah yang saya sukai: bercanda. Dalam hidup saya, cuma pekerjaan ini yang membuat saya nyaman dan bersemangat untuk hidup.
Berkali-kali saya sempat pusing dan stress. Begitu banyak masalah yang menggayut di leher saya. Kadang-kadang saya merasa seperti tercekik, dan dada saya panas.
Pernah, cuman sekali selama puluhan tahun setelah saya membantu dunia ini untuk penuh, di jalanan, air mata saya keluar. Entah mengapa saya merasa ada yang janggal dalam batin saya.
Lalu saya putuskan untuk berhenti. Saya duduk menenangkan diri. Memperbaiki napas yang tersengal. Menyapu air mata dan kesedihan yang tiba-tiba menghantam dada saya.
Sejenak saya mencari alasan mengapa saya dirundung kejadian yang tak biasa saya rasakan. Cukup lama, perasaan itu tak bisa reda. Saya memang lelaki yang aneh.
Lalu saya mencoba menghubungi kawan saya lewat ponsel. Sambil menceritakan sedu, saya memohon padanya untuk segera datang kevtempat saya menepi di pinggir jalan.
Waktu itu belum ada google maps seperti sekarang. Jadi tempat saya jelaskan dengan deskripsi yang baik. Misal, di depan ini, kau akan melihat itu. Tak jauh dari itu, kau akan melihatku duduk.
Tentu saja hal itu membuat saya belajar menjelaskan. Praktis tak melulu bisa membantu serta dipuja-puja juga, bukan? Berlanjutlah cerita, dan teman saya berdiri di depan saya saat itu. Tak lama.
Kami pergi bersama. Kami berpikir akan pergi ke tempat yang bisa bikin saya melupakan perasaan yang tidak jelas warnanya itu. Di jalanan, sayangnya, kami tak ada tujuan. Kami cuman tertawa.
Lalu ajaibnya, perasaan itu hilang pelan-pelan. Kata kawan saya, perasaan yang muncul cuman sugesti pikiran yang terlalu banyak bekerja seharian. Saya tidak membantah, dan menjawab sekata, “barangkali.”
Ia menjauh. Saya pulang ke rumah. Kami saling melambai. Terasa dada saya lowong dan lapang. Perasaan kabur itu seperti keluar pelan-pelan. Mulai saat itu saya berpikir harus menyenangkan dan mencari kesenangan dengan humor.
Kembali pada kedua teman saya itu, mulutnya menganga besar saat tertawa. Ia tak menutupnya seperti perempuan yang lain, perempuan yang banyak beredar, perempuan pemalu yang menjaga sikap. Entah mengapa saya merasa sukses menjadi penghibur bagi keduanya.
Kautahu apa yang kami bahas? Ya, saya membahas diri saya sendiri. Kebodohan saya. Dan iya, berkali-kali mereka mengasosiasi jika saya adalah orang yang menyenangkan sekaligus tolol secara bersamaan.
Kami bertiga lelah. Kami sudahi saling mencandai. Kami minum dulu kopi yang ada di hadapan kita bersama. Saya menyulut rokok, dan mengisapnya dalam-dalam. Saya sampai keringatan dan benar-benar letih.
Baca juga: Mengenal Tolotang dan Musik Mappadendang
Selang beberapa waktu, kami berbicara panjang lebar lagi. Kali ini perbincangannya cukup serius: politik. Apa yang kami bahas? Borok satu pasangan calon (Paslon) yang sudah terang kalau ia adalah seorang koruptor.
Saya pelan-pelan berkata kalau mengapa paslon itu diloloskan ikut dalam tanding untuk merebut tahta kepemimpinan tertinggi di Sulawesi Selatan? Mereka diam. Ya, dua kawan saya itu.
Lalu saya jelaskan lagi, kalau ia tidak layak untuk dipilih sembari mengeluarkan kalimat yang tak elok didengar. Bagaimana tidak, ia sudah banyak menyengsarakan orang lain.
Saya kisahi juga mereka, kalau seorang sahabat saya, pernah jadi korban kebijakannya yang kemaruk. “Masa, Kak? Begitu?” kata kawan saya.
Pokoknya saat itu, seluruh boroknya saya singkap. Seumpama luka, akan kelihatan nanah bercampur darah. Padahal, luka itu akan sudah akan kering dan tertutup sempurna.
Tanpa bertanya, seorang kawan saya itu nyeletuk. “Itu paman saya, Kak.” Mendengarnya saya langsung diam. Saya salah tingkah dan merasa sangat bersalah.
Tidak tahu harus berbicara apalagi saat itu. Yang terlontar dari mulut saya cuma permintaan maaf. Akhirnya, ia bilang tak mengapa dan tersenyum seakan tak punya masalah apa-apa. Ia sadar, itu sudah risiko keluarganya sebagai seorang politisi.
Dari kesimpulan di atas, saya menarik dua kemungkinan. Kemungkinan pertama: Benar juga kata dua kawan saya sebelumnya, kalau saya cocoknya jadi penghibur saja. Bukan tukang kritik yang serampangan.
Kemungkinan kedua: Itulah risiko seorang politisi. Saya tak mau disalahkan begitu saja. Mungkin saya tak perlu menyesal dengan apa yang sudah saya perbuat.
Dua kemungkinan di atas, harus saya timbang sedini mungkin dan memilih, yang mana yang paling bermanfaat. Omong-omong, kalian pernah merasa dalam kondisi saya, atau belum sama sekali?