Lontar.id – Kepala daerah yang daerahnya akan menggelar Pilkada pada tahun 2020, sudah tidak bisa melakukan mutasi. Jika mereka masih melakukan mutasi, maka sanksi administrasi dan pidana menantinya.
Larangan melakukan mutasi itu mulai berlaku sejak Rabu (8/1/2020), sesuai dengan yang tertuang dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 71 Ayat 2, yang berbunyi Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri.
“Bahwa mengingat tanggal pelaksaan penetapan paslon (pasangan calon) peserta pemilihan tahun 2020 yaitu tanggal 8 Juli 2020, maka larangan mutasi jabatan enam bulan sebelum penetapan paslon yaitu pada 8 Januari 2020,” jelas Ketua Bawaslu Abhan, seperti dikutip dari rilis tertulis Humas Bawaslu.
Abhan menambahkan, ada sanksi untuk kepala daerah petahana melanggar ketentuan mutasi pejabat, berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota atau biasa disebut UU Pilkada.
Sesuai Pasal 71 Ayat 5, bila melanggar bisa mendapatkan pembatalan atau diskualifikasi sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. Selain itu, ada pula ancaman pidana penjara paling lama enam bulan dan denda paling banyak Rp6 juta berdasarkan Pasal 190.
Merespon UU Pilkada tersebut, Bawaslu telah menerbitkan Surat Edaran Nomor SS-2012/K.Bawaslu/PM.00.00/12/2019 tentang Instruksi Pengawasan Tahapan Pencalonan Pemilihan Tahun 2020 Kepada Bawaslu Daerah yang Melaksanakan Pilkada.
Menurutnya, hal tersebut agar Bawaslu daerah melakukan upaya-upaya sosialisasi dan pencegahan politisasi ASN jelang Pilkada Serentak 2020. Abhan melihat, ASN menjadi instrumen yang sangat rentan dipolitisasi untuk kepentingan petahana yang menjadi peserta pilkada.
Salah satu aspek yang disorotinya adalah tentang mutasi jabatan ASN yang sering dilakukan oleh kepala daerah. “UU tersebut mengatakan bahwa ASN itu harus netral. Selain itu juga agar petahana ini tidak melakukan politisasi birokrasi sebagai calon petahana karena bisa ada potensi kalau nanti mutasi hanya berdasarkan suka atau tidak suka ASN itu sendiri akan jadi korbannya,” ujar Abhan.
Senada diungkapkan Anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin. Dia menyatakan, ASN dalam struktur pemerintahan merupakan instrumen pelayanan yang memberikan pelayanan kepada masyarakat dan dikontrol langsung oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. “Karena dikontrol langsung oleh pemerintah daerah, maka ASN sangat rentan untuk dipolitisasi oleh petahana peserta pilkada,” tuturnya.
“Maka dalam rangka menciptakan kesetaraan dan keadilan dalam kontestasi pemilu dan pilkada perlu adanya larangan mutasi bagi ASN untuk menjaga suasana kerja dalam pemerintahan,” tambah Afif.