Lontar.id – Agus Muhammad Maksum dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK). Agus Mahmud akan memberikan kesaksian fakta dalam persidangan tersebut, tidak saja Agus Mahmud yang dihadirkan oleh tim 02 Prabowo-Sandi.
Saksi fakta yang dihadirkan sejumlah 15 orang, termasuk diantaranya Haris Azhar yang merupakan Direktur Kantor Hukum dan HAM Lokatoru. Kemudian Dewan Pakar Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Said Didu yang juga mantan staf khusus menteri ESDM. Lalu saksi ahli terdiri dari dua orang yaitu Jaswar Koto dan Sorgianto Sulistiono.
Diawal pemberian saksi, Agus Maksum sempat mengungkapkan bahwa dirinya pernah mendapatkan ancaman dari pihak luar pada saat mendalami data invalid Daftar Pemilihan Tetap (DPT).
Ancaman tersebut menyangkut keselamatan dirinya dan keluarganya. Namun Agus Maksum tidak memberikan rincian siapa orang yang mengancam dirinya. Menurut keterangan Agus Maksum, ia hanya memberitahu kepada satu orang di tim Prabowo-Sandi yaitu, Hasyim Djojohadikusumo. Dan nama saudara Prabowo Subianto yang hanya diberitahukan oleh Agus Maksum pada majelis hakim.
Alasan lain Agus Maksum tidak memberikan sejumlah nama yang Ia ceritakan di majelis hakim, karena kekhawatirannya adanya risiko yang ditimbulkan ketika nama tersebut disebutkan. Selain itu, ia tidak melaporkan adanya ancaman tersebut hanya cukup diberitahukan pada sebagian dari tim BPN Prabowo-Sandi.
“Sebelumnya kami ada ancaman itu, saya mohon maaf tidak menjelaskan di sini. Ancaman ini sempat sampai ke saya dan keluarga saya dan juga sudah tersebar beritanya tentang ancaman pembunuhan,” terang Agus Maksum saat memberikan kesaksian di MK, Rabu (19/6/2019).
Dalam kesaksiannya, Agus Maksum menjabat kan tentang adanya sejumlah data invalid dan pernah melaporkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Desember lalu. Namun karena tidak ada kesepakatan, akhirnya ia melaporkan secara resmi pada bulan selanjutnya di Januari.
Laporan itu memuat tentang adanya Daftar Pemilih Tetap (DPT) namun tidak memiliki Kartu Keluarga (KK), anehnya DPT tersebut memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) setelah dilakukan pengecekan di Disdukcapil setempat.
DPT tidak wajar berkode khusus sebanyak 17,5 juta itu didapatkan dari adanya NIK palsu, tanggal lahir yang sama dalam jumlah yang tidak wajar. Lalu juga ada KK manipulatif sebanyak 117.333 dan data invalid di 5 provinsi sebanyak 18,8 juta sudah dilaporkan ke KPU.
Hanya saja, laporan tersebut tidak digubris, karena KPU bertahan dengan DPT yang sudah masuk telah memiliki KK dan NIK, sehingga dapat memilih pada pemilu 2019.
“File data tidak wajar berkode khusus sebanyak 17,5 juta yang kami laporkan, yaitu adanya DPT tanggal lahir 01 Juli sebanyak 9,8 juta, kemudian adanya DPT bertanggal lahir sama, yaitu 31 Desember sebanyak 5,3 juta. Dan bertanggal lahir sama 1 Januari sebanyak 2,3 juta, totalnya ada 17,5 juta. Hal itu tidam wajar karna yang 1 Juli 20 kali lipat dari data normal,” kata Agus Maksum.