Lontar.id – Ada kekagetan setelah menulis tentang Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis yang ditulis oleh Muhlis Hadrawi. Beberapa teman yang merespon tulisan itu mengaku tidak tahu sebelumnya jika ada kitab persetubuhan Bugis (Assikalaibineng). Pasalnya, kitab-kitab persetubuhan seperti itu memang selalu ada hampir di semua suku di nusantara. Sayangnya memang, tak semua orang bisa membuka tabirnya.
Tak heran, hampir semua yang belum pernah mengetahui sebelumnya, berbondong-bondong menanyakan bagaimana cara mendapatkan kitab tersebut.
Baca Juga: Membaca Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis
Salah satu teman saya dari Jawa memberi komentar jika dalam suku Jawa ada yang dimaksud dengan Centhini. Memang, kitab Centhini lebih sering kita dengar dibandingkan kitab Assikalaibineng. Akan tetapi, pandangan yang tidak mapan tentang cerita-cerita dalam kitab Centhini masih sering ditemukan.
Guru saya berkata, “Kitab Tjenthini mengisahkan kehidupan sehari-hari dalam masyarakat dalam falsafah persetubuhan. Tubuh manusia adalah bagian penting dari keberalaman. Sebagai wadah yang fana tidak selayaknya bersenggama hanya bermakna erotisme bukan perjalanan mendasar keberhidupan.”
Kata-kata teman saya yang berusaha menyoal kembali pemaknaan mainstream tentang kitab Centihini agaknya berkaitan dengan apa yang ditemukan oleh Elizabeth D Inandiak saat pertama kali menerjemahkan Centhini dari Bahasa Prancis ke Indonesia. Inandiak berkata jika kita ingin memaknai erotika maka perlu menelusuri perjalanan bahasa yang panjang sebab bahasa erotika sendiri berasal dari Barat.
Serat Centhini atau lebih lengkapnya Centhini Tambangraras-Amongraga, ditulis pada tahun 1814 sampai 1823 oleh Adipati Anom Amangkunagara III. Ia adalah putera mahkota kerajaan Surakarta, yang kemudian menjadi raja dengan gelar Sunan Paku Buwana V (1820-1823). Adapun anggota tim penulis diantaranya, Kiai Ngabei Ranggasutrasna, Kiai Ngabei Yasadipura II, dan Kiai Ngabehi Sastradipura.
Centhini banyak diklaim sebagai salah satu karya sastra terbesar di dunia. Kehadirannya mengupas kehidupan manusia yang erotik sekaligus mistik dan dengan penggambaran yang sangat metaforis dan alegoris. Karenanya banyak peneliti dan petinggi suku Jawa yang mengatakan jika serat Centhini terlalu suci untuk dibaca, alih-alih untuk diterjemahkan. Meski demikian, bagi sebagian pihak, Centhini justru terlalu kotor.
“Demikianlah, selama satu abad lebih kerohanian yang terlalu tinggi dan syahwat yang terlalu bejat telah menghalangi penerjemahan suluk erotik dan mistik itu,” tulis Inandiak dalam makalahnya yang dipaparkan pada tahun 2012 di Salihara.
Lebih dari itu, menurutnya ajaran utama serat Centhini adalah erotika dan mistik tidak dapat dipisahkan. Puncaknya erotika terjadi pada puncaknya mistik.