Lontar.id – Kalah sekali pada pertarungan politik masih bisa di maklumi, toh masih ada waktu lima tahun kedepan bisa maju kembali dengan persiapan modal dan kekuatan jaringan yang mumpuni.
Tapi bagaimana jikalau kalah berkali-kali, persiapan sudah matang, kemenangan sudah ada di depan mata, toh akhirnya kandas juga. Mungkin ini namanya sial. Pucuk di cinta ulam pu tak kunjung tiba.
Pihak yang kalah biasanya tak menerima hasil kemenangan lawan, ia akan mencari-cari alasan pembenaran bahwa ia dicurangi. Penyelenggara yang tidak independen lah, politik uang, pengerahan infrastruktur negara dan alasan lainnya yang membenarkan klaimnya itu.
Anehnya lagi, ia akan klaim dirinya menang versi hitungan kelompoknya sendiri, tentu berdasarkan laporan dari tim sukses, relawan atau lembaga yang ngaku independen. Entah data itu di comot dari pinggir jalan, tak dipedulikan asalkan dirinya menang. Begitulah kalau orang yang kalah dalam politik, tidak mau mengakui kemenangan lawan.
Sama seperti pertandingan sepakbola (dalam kasus tertentu), kesebelasan yang kalah akan merasa dicurangi oleh wasit atau organisasi yang menaungi sepakbola, bahwa ada mafia yang mengatur skor dibalik kekalahannya. Protes pun dilakukan hingga memancing emosi suporter, maka tak jarang ada aksi vandalisme hingga merenggut nyawa.
Tapi perhatikan kesebelasan yang menang, ia akan diam tanpa melakukan protes pada wasit, bahwa kemenangan itu murni dari kemampuan kerjasama timnya yang solid, hingga mampu mencapai juara.
Sama juga dengan politik, pihak yang menang pasti akan adem-adem saja, tidak banyak komentar dan akan mengapresiasi penyelenggara pemilu, berlangsung secara demokratis.
Nasib Prabowo hampir sama dengan kejadian di atas, sudah berkali-kali ikuti pemilu tapi ujung-ujungnya berakhir dengan kekalahan. Tak tanggung-tanggung Prabowo menanggung kekalahan sebanyak tiga kali, tapi Prabowo tetap istiqomah.
Pelajaran yang paling penting dari Prabowo adalah dia sudah menunjukkan sikap berbesar hati, tak pantang menyerah berjuang. Benar-benar istiqomah mencapai tujuan.
Pada Pemilu 2009, Prabowo maju mendampingi Megawati yang jadi rival politiknya saat ini. Alih-alih mendapatkan nasib baik bersama dengan mantan presiden, justru ia kalah melawan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Lanjut di Pemilu 2014 Prabowo maju kembali bersama Hatta Rajasa dan keok melawan Jokowi-JK.
Perolehan suara terpaut jauh, Jokowi-JK memperoleh suara 53,15 persen dan Prabowo-Hatta hanya 43,7 persen dan selisih suara terpaut jauh di angka 12 persen.
Prabowo adalah politisi yang tak kenal lelah, kendati pernah kalah namun tetap saja berusaha maju kembali selama masih ada kesempatan untuk maju. Sekali lagi, Prabowo benar-benar pejuang sejati, ia istiqomah di jalan dakwah politiknya.
Bisa saja ia kalah di pemilu 2014, tapi di pemilu 2019 belum tentu, dewi fortuna ada di pihak Prabowo. Gelaran pemilu 2019 sudah dilaksanakan, Prabowo maju kembali bersama Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Salahuddin Uno (Sandi). Sandi yang belum seumur jagung duduk di kursi gubernur, akhirnya lunak dibujuk Prabowo agar mau mendampinginya.
Kendati hasil ijtimak ulama merekomendasikan Prabowo maju bersama ulama, seperti ustad Abdul Somad Batubara dan Salim Segaf Al-Jufri (PKS). Namun Prabowo berkata lain, karena kemenangan sudah tampak di depan mata, ia tak rela kursi 02 di ambil orang lain di luar Gerindra.
Deretan ulama penyokong Prabowo-Sandi cukup banyak, terutama dari Ormas Front Pembela Islam (FPI), Jokowi hampir terjungkal dari kursi kekuasaannya.
Namun hasil pemilu berkata lain, ternyata Jokowi-Ma’ruf menang berdasarkan hitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kemenangan Jokowi-Ma’ruf pun sempat dipublis sejumlah lembaga survei melalui hitungan cepat (quick qount). Prabowo seakan tak mau mengalah, ia pun melakukan deklarasi kemenangan berkali-kali, kadang angka kemenangannya kerap berubah-ubah.
Di awal, Prabowo deklarasi kemenangan dengan angka 62 persen, lalu pada deklarasi selanjutnya berubah menjadi 54,23 persen. Angka kemenangan Prabowo terus berubah seiring waktu dan menolak hasil perhitungan KPU.
Terakhir Prabowo mengaku menang atas Jokowi-Ma’ruf dengan angka 52 persen sedangkan Jokowi hanya mendapatkan 48 persen suara.
Angka ini diketahui melalui petitum yang diajukan kuasa hukum Prabowo pada gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan itu juga meminta pada MK, agar Jokowi-Ma’ruf dibatalkan sebagai paslon pada Pilpres 2019, karena ditemukan sejumlah bukti kecurangan dan pelanggaran pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif.