Jakarta, Lontar.id – Entah dari kapan, jika melihat seorang lelaki memakai baju oranye di televisi dan tangannya diborgol, kemudian ia tersenyum, aku bertanya-tanya pada diri sendiri. Mengapa ia tersenyum?
Banyak lelaki yang tersangkut kasus korupsi, raut mukanya tampak tidak sedih usai ditetapkan sebagai pesakitan dalam sebuah kasus besar. Mereka menunjukkan mimik kalau ia sedang menikmati keputusan itu dan merasa tak ada yang salah.
Ingatanku terlempar jauh pada pembesar Ikhwanul Muslimin di Mesir, Sayyid Qutb. Menghadapi tiang gantungan, ia tersenyum. Ia dengan santai menolak berunding dengan pemerintah yang menyuruhnya untuk tunduk dan mengakui kalau ia bersalah.
Sebab itulah, sejauh ini, media sosial mengajariku untuk tidak gegabah pada korban keputusan-keputusan. Mereka berhak untuk tersenyum, sebab kita semua belum tahu, sedang apa dia saat itu sebelum hujat maki tertimpa padanya?
Kita semua dituntut untuk selalu bertanya dan menyisakan kemungkinan-kemungkinan dari sebuah keputusan. Semisal, sebab ini bulan Maret jelang Mei, apakah benar Wiji Thukul itu sudah meninggal atau tidak?
Negara hadir tidak menyelesaikan pertanyaan itu. Selama puluhan tahun, negara membiarkan para keluarga Wiji terus menciptakan kemungkinan-kemungkinan di kepalanya. Negara tidak pernah menunjukkan titik terang, apa ia masih hidup atau mati?
Hobiku adalah membayangkan menjadi orang lain. Kali ini, pada Maret 2019, yang masih diselimuti hujan sekali-kali, aku mencoba untuk menjadi Sipon, istri Wiji Tukul. Aku berpikir tentang apa saja.
Jika di meja makan sedang ada telor goreng, tempe goreng yang diiris tipis, serta sayur asam yang masih hangat, aku membayangkan ada Sipon di atas meja. Ia menunggu Wiji, selama bertahun-tahun ia belum pulang, dan ia sudah melewatkan momentum apa saja.
Semalam, Jakarta hujan deras. Aku berpikir, apakah Sipon memikirkan Wiji, sedang tidur di mana pada malam begini? Apakah ia pakai selimut, berapa carik baju yang ada di lemarinya, apakah semuanya masih lusuh sebelum ia meninggalkan rumah dan tak kembali?
Aku bukanlah korban dari kemungkinan dan keputusan itu. Namun, aku mencoba merabanya. Sebab, sedari kecil, aku diajari untuk merasa penderitaan orang banyak, meskipun tidak seluruh manusia.
Pikiranku tidak mau berdiam di kepalaku saja. Ia tidak letih-letihnya mencari kepala atau sanubari orang lain. Bagaimana ia berpikir setelah aku begini atau begitu. Tebak-tebakan menjadi mengasyikkan sebelum mengambil keputusan.
Ada beberapa orang yang renta, berdiri di depan istana setiap Kamis. Mereka tidak letih untuk datang bertanya, di mana keluarga saya, pada pemerintah yang tiap lima tahun berganti.
Mereka pakai payung berwarna hitam tanda perasaaannya masih kelabu. Satu dari sekian keluarganya, tewas tertembak saat pemerintah dan mahasiswa ribut-ribut di Jakarta. Ada juga yang hilang.
Tiap Minggu, mereka bertanya, negara sudah bikin apa untuk menyenangkan hatinya yang makin hari makin tua. Ia meminta keputusan, apakah hukum ini masih bisa mengeluarkan keputusan atau hanya menyisakan kemungkinan-kemungkinan.
Hukum itu, ya, implementasinya, kuanggap seperti seseorang yang ingin mengurus persuratan pada struktur pemerintahan terkecil di tempatku tinggal. Aku cuman ingin meminta tanda tangan agar pengurusan kependudukanku selesai.
Namun, yang aku hadapi adalah kemungkinan. Tanda tangan tak mau diberi, sebelum aku memenuhi persyaratan yang masih kurang. Aku sanggupi, dan kupikir aku yang salah karena kewajibanku sebagai warga negara belum terpenuhi.
Lalu aku mengisi yang kurang itu. Aku datang lagi pada seseorang yang punya kuasa meski kecil dalam lingkungan rumahku. Aku kaget, ia menolak berkasku lagi. Aku bertanya-bertanya mengapa berkasku ditolak dan dikembalikan, padahal komplementarinya sudah terpenuhi.
Tiap hari menunggu, jawabannya tetap sama. Ia selalu saja memberi alasan, yang sungguh, sebagai warga negara biasa, aku tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk memakluminya. Aku berpikir ingin memberinya uang sebagai pelicin, namun aku tahu, ia tidak mungkin mau dihargai senilai uang, karena jabatannya lebih tinggi dariku.
Sampai pada suatu ketika, aku mulai lelah bolak-balik rumahku dan rumah pejabat teras dalam lingkup warga tempatku tinggal. Aku mendiamkan itu, dan tak jadi membuat surat kewajiban kependudukanku.
Lama kelamaan, aku yang disalahkan. Katanya, aku yang malas. Aku yang tidak paham mau dari sosok struktur terkecil negara itu. Aku selalu dirundung, bahwa aku adalah orang yang banyak mau. Berulang kali aku jelaskan, namun struktur negara itu lebih kuat menyebar informasi versinya sendiri.
Sayangnya, orang malas bertanya dan skeptis pada apa saja. Ia menerima mentah-mentah informasi itu, dan terus-menerus menyalahkanku. Begitulah analoginya, peserta aksi Kamisan tak tahu harus berbuat apalagi pada pemerintah untuk meminta kejelasan tuntutannya.
Penguasa lebih kuat untuk memberi kemungkinan-kemungkinan dan kepastian-kepastian yang menguntungkan dirinya jelang periode politik yang baunya seperti kue pukis. Begitu saja, selama puluhan tahun, setelah Orde Baru runtuh dan penggedornya masuk sebagai bagian dari rezim.
Di negara ini, kepercayaan itu berbahaya, baik menerima atau memberi. Aku belum yakin jika sebagian putusan-putusan yang dikeluarkan perangkat negara adalah sesuatu yang benar-benar kredibel.
Seperti kasus tudingan ke politisi Demokrat, Andi Arief, soal narkotik. Aku berikan contoh lagi. Fotonya sudah beredar luas, ada swafoto dirinya sendiri, yang juga jadi komplementari bahan keterangan kepolisian. Aku bertanya, siapa yang menyebarkan foto privat macam begitu, kecuali dari ponsel Arief?
Kedua, informasi yang menyebut ada satu perempuan yang menemani Arief dalam kamar sebuah hotel, tempat ia disangka memakai narkotik, serta beredarnya foto kondom di sana, diamini oleh Kabareskrim Polri, Komjen Pol Idham Azis.
Lalu kemudian sesama pihak kepolisian, saling bantah informasi. Kadiv Humas Mabes Polri Irjen M Iqbal mengaku tak ada perempuan saat penangkapan Andi Arief. Komentar ini sungguh membuat saya pengar, “siapa yang harus kupercaya, sekarang, kalau pihak kepolisian saling tumpang tindih informasinya?”
Aku sungguh tidak peduli soal siapa Arief itu. Cuman, kasusnya membuat macan-macan media sosial jadi mengaum lebih kuat, karena satu peluru yang kerap menyerang 02 dan 01 sedang rontok dan tumpul disebabkan isu narkotik juga teman perempuan di kamarnya.
Yang aku percaya sekarang, ternyata ini adalah bulan Maret. Bulan segala kesedihan datang pada Mei, kemungkinan-kemungkinan, serta keputusan-keputusan, meruap jadi satu di udara yang tercemar. Hanya itu yang bisa kupercaya, setidaknya sekarang.