Lontar.id, Tangerang – Di Tangerang Selatan, di wilayah Ciater, Serpong, ada sekolah yang suasananya baik untuk tumbuh kembang anak. Bukan cuma suasana sekolahnya, tapi kualitas pendidikannya juga.
Bersama teman-teman dari Lontar, saya diajak masuk ke sekolah Insan Cendekia Madani (ICM). Sewaktu memasuki gerbang, tanda pengenal saya harus dititip. ICM ternyata bermodel cluster kompleks yakni punya satu gerbang saja, gerbang utama.
“Mau bertemu siapa, Pak?”
Petugas bertanya dengan penekanan kalimat yang tegas. Ucapannya santun. Saya bilang, kami teman-teman dari Lontar dan diajak berkunjung oleh Tali Foundation. Fatir, nama staf ICM yang mengundang kami, kataku.
Ia tersenyum dan menyilakan. Sebelum masuk, saya diberi nomor tamu beserta gantungan lehernya. Gunanya sebagai penanda, kalau saya bukan anak sekolah dan pegawai di sana. Biar gampang terindetifikasi.
Omong-omong, Tali Foundation adalah yayasan milik Tamsil Linrung, seorang politisi asal Pangkep, Sulawesi Selatan, yang masyhur namanya di Partai Keadilan Sejahtera. Ia juga sudah punya nama di DPR RI.
Saat masuk, kami ditunggu di aula masjid ICM. Sekiranya, ada lima belas orang di dalam. Mereka berbatik dengan motif sama. Semuanya menyambut kami dengan ramah.
Tiga meja dan kursi-kursi sudah tertata rapi. Beberapa penganan kecil terhidang. Ada kue bolu tape keju, lemper, air mineral dan lain-lain. Saya mencoba bolunya, benar-benar lembut di mulut dan enak dikunyah.
“Ini sekolah kami Pak. Silakan duduk. Nanti Bapak bisa tanya-tanya ke kami jika ada hal yang ingin diketahui tentang ICM,” ujar seorang staf sekolah tersebut.
Di aula, berdiri seorang lelaki di muka para tamu. Ia menjelaskan selama kurang lebih 13 menit soal sekolahnya dengan cara yang sederhana. Saya menyimak penjelasan itu. Katanya, banyak alumni dari ICM yang akhirnya bisa menembus persaingan pendidikan ketat di Eropa. Sebut saja Jerman. Di Afrika juga ada, tempatnya di Sudan.
“Para siswa-siswa kita itu masih sering berkontak dengan kami ini, para gurunya. Mereka bahagia, sebab di ICM, ia digembleng untuk menghadapi dunia internasional secara pelan-pelan,” terang Direktur Akademik ICM, Bambang Eko Nugroho, Mba.
Di ICM, anak-anak yang bersekolah didekati dengan pendekatan psikologi yang khusus. Guru juga kerap mejadi tempat curhat para anak murid. Pokoknya, murid dibuat nyaman di sana. Orangtua para murid juga ikut dilibatkan. Akhirnya, karena begitu, terjadi keharmonisan antara guru, orangtua dan anak murid itu sendiri.
Kata Bambang Eko, mereka tidak memaksa anak-anak harus menguasai pelajaran seluruhnya. Jika ia cenderung punya keahlian di satu pelajaran, maka pelan-pelan mereka akan dituntun untuk paham pelajaran yang mereka sukai.
“Dan ya, di sini kami pakai kurikulum dari Cambridge.” Saya tak sempat mengingat seluruh ucapannya. Yang pasti, saya tertarik dengan poin-poin yang disampaikan terkait ICM.
Bambang Eko mempresentasikan ihwal sekolah yang dipimpinnya itu. Ia menyarankan agar komunikasi selanjutnya sebaiknya ditanyakan langsung oleh kepala sekolah SD ICM, kepala sekolah SMP ICM dan SMA. Dalam hati saya, ini adalah taktik komunikasi yang baik agar tercipta perkenalan yang hangat antara kita semua.
Saat itu, saya semeja dengan Kepala Sekolah SMP ICM, namanya Habib Mustofa. Orangnya masih muda. Wajahnya berseri-seri. Penjelasannya runut. “Jadi, SMP dan SMA di sini, semuanya boarding alias asrama.”
Sebab asrama, maka pendekatan dengan murid bisa lebih dekat dari sekolah biasa. Pelajaran-pelajaran yang ada juga lebih gampang ditransfer. Anak-anak mudah digembleng dan dipahamkan soal aturan sekolah.
Kata Habib, sebulan pertama, para anak murid tak boleh dihubungi. Sebelumnya, orangtua mereka diwajibkan untuk mengerti. Tujuannya sederhana, ingin membuat murid itu mandiri.
“Jadi tak boleh ada ponsel. Jika ingin meneleepon orangtua, ada waktunya. Kita pakai telepon yang disediakan sekolah.” Dari penjelasan Habib, sekilas, ICM masih pakai pola lama seperti yang dipraktikkan sekolah-sekolah pesantren.
Namun ada yang beda. Ini tentang tes akademik untuk masuk. Menurutnya, ICM memakai psikotes dan tes Bahasa Inggris juga tes membaca Alquran. Habib meyakinkan, jika membaca belum fasih, para guru-guru bisa mengajari murid.
“Bisa saja fasih, tapi apakah bacaannya sudah benar? Itu tujuan kita untuk mengetesnya dengan membaca Alquran. Kita memang sekolah Islam kok. Dan itu yang kami pegang dan jaga baik-baik.”
Dari psikotes itu pula, nantinya tujuan bersekolah para siswa bisa diketahui. Apakah mereka terpaksa masuk atau seperti apa. “Selebihnya, kita tinggal memetakan di mana bakatnya. Jadi guru-guru tahu psikologis anak seperti apa.”
Asal tahu saja, karena tak boleh ada ponsel di kantong murid, maka pihak sekolah menyediakan tablet bermerk agar para murid bisa menjangkau dunia secara lebih luas, namun terkendali di tangan sekolah.
“Mereka bisa bermain dan belajar dengan Ipad itu. Semuanya disediakan, tapi dibatasi. Biar anak-anak kita melek dengan intelektualitas dan teknologi di luar sana,” tutup Habib.
Saya berpindah ke meja lain yang sudah diatur oleh moderator. Dalam ruangan itu, disisakan beberapa waktu untuk bertanya kepada pihak SD, SMP, SMA. Sekira 10 menit per meja. Sebab itu, saya bertanya hal-hal yang menurutku penting saja.
Di meja sebelah, ada M. Ramdani, Kepala Sekolah SMA ICM yang menunggu. Ia mengajak kami diskusi kecil di meja itu. Suaranya nyaring. Sesekali ia memegang dagunya. Ia menjelaskan, kalau sekolah ICM mengusung keislaman madani. Islam, cerdas dan mandiri tujuannya.
Selain itu, ia menerima anak yang dari 0. Ia tidak memilih kualitas intelejensi anak, kurang atau lebih. “Kami yang membuatnya berisi. Itu tugas kami. Di sini, kualitas siswa hampir merata kok.
Dani, sapaan pria ini, berkali-kali menyebut dan membanggakan soal ICM yang memegang kurikulum Cambridge dalam bahan ajarnya. Apa sih sebenarnya kurikulum Cambridge itu?
Adalah sistem didik yang telah teruji dalam membekali para siswa untuk menghadapi ujian masuk universitas, pencarian pekerjaan dan kehidupan setelah sekolah. “Jangan lupa, kita juga mengedepankan pendidikan Islam yang baik di sini,” pungkasnya.
Azan Zuhur sudah berbunyi. Diskusi selesai. Para kepala sekolah dan staf mengambil tempat dalam masjid dan beribadah. Setelah itu, mereka dengan manis mengajak Lontar untuk mengelilingi kompleks ICM.
Jujur saja, saya betah di dalam sana. Banyak pohon yang tumbuh. Suasananya adem. Saat dibawa berkeliling menggunakan mobil caddy, saya lihat ada kolam ikan. Di dalamnya, ada ikan puluhan ikan koi yang berenang ke sana ke mari.
Sejauh mata memandang, kita disuguhi kolam renang yang warnanya hijau, lapangan olahraga, lapangan skateboard dan pohon-pohon yang menjulang. Ada juga perpustakaan besar di sana dan kantin sehat tanpa msg. “MasyaAllah,” ucap saya dalam hati. Sekolah ini sungguh menenangkan. Suasanya bisa menjadi penyembuh stress dan kepenatan jika lelah.
Caddy berhenti di playgroup. Beberapa anak-anak saya lihat sedang bermain ayunan. Mukanya lucu-lucu. Asal tahu saja, mereka tak boleh sembarang difoto. Privasi anak benar-benar dijaga di sana. Para guru yang melihat, menyambut dan menyapa kami dengan ucapan “Assalamualaikum.” Anak-anak juga begitu.
Saat kusambangi kelas-kelas playgroup itu, banyak gambar-gambar dari crayon yang dipamerkan. Guru-gurunya juga lincah mengajari para anak-anak didiknya.
Contoh, di jendela kelas, ada gambar rumah gadang, serta pelbagai rumah adat yang ada di Indonesia. Gradasi warnanya sungguh indah. Saya sungguh semangat berkeliling karenanya.
Tak lama kami pindah lagi ke gedung SD. Ada puluhan kelas di sana. Areal berkumpulnya luas. Kata perempuan yang memandu kami, areal kosong yang bersih itu tempat salat dan murojaah alias tempat menghapal Alquran bagi para murid yang dimbimbing oleh guru.
Naik ke lantai 1, ada banyak gambar-gambar lucu di depan kelas. Seperti bagan-bagan tengkorak yang digambar oleh anak-anak SD ICM. “Kok ketawa-ketawa sih? Ingat masa kecil ya, Pak?” Pemandu menggoda saya. Saya terkekeh. Menyenangkan sekali ICM ini.
Langkah demi langkah mengelilingi SD itu, kulihat pula seorang anak duduk bersila di hadapan teman-temannya. “Mereka itu habis salat, Pak.” Saya yang melihatnya, tersenyum. Anak-anak itu melihatku dan terheran-heran.
Sementara, Tamsil Linrung memandang ICM dalam konteks yang lebih luas. Berdasarkan pengalaman menekuni dunia pendidikan 10 tahun terakhir dengan mendirikan jaringan sekolah Insan Cendekia Madani (ICM), konsep sekolah berasrama (boarding school) dapat diandalkan untuk membangun kompetensi intelektual dan moral atau karakter siswa.
Pendidikan Islam modern berbasis boarding school merupakan solusi implementatif konsep link and match. “Kami di ICM sudah mengarahkan anak didik menguasai kompetensi pilihan sesuai kebutuhan zamannya.”
“Untuk aspek pembinaan karakter, lebih terarah karena dibimbing setiap saat. 24 jam sehari, siswa dapat mengakses tenaga pendidik maupun memanfaatkan fasilitas di sekolah dan asrama,” tambah Tamsil.
Menurutnya, siswa di jaringan sekolah Insan Cendekia Madani yang ia kelola, memanfaatkan teknologi mutakhir dan terbaik dalam proses pembelajaran. Program-program pendidikan dirancang dinamis dan futuristik serta mengadopsi kurikulum internasional Cambridge. Termasuk program ke luar negeri.
Formulasi itu terbukti mendorong penguatan kompetensi intelektual dan moral siswa. “Alumni kita sudah tersebar di berbagai perguruan tinggi terbaik di dalam negeri. Seperti ITB, UI, IPB. Bahkan ada yang diterima sekaligus di 7 universitas terbaik di Jerman,” kata Tamsil.
Dalam perkembangannya, sambutan terhadap ICM sangat luas. Lalu mulai dikembangkan. “Kini ada ICM Gunung Geulis di Puncak Bogor, ICM Mandalle di Pangkep, tanah kelahiran saya, dan Insan Cita di Serang, Banten,” tandasnya.
Tak lama, Caddy mengajak kita ke kandang rusa. Kita dibiarkan untuk mencoba pengalaman memberi makan mereka. Unik. Setelahnya, caddy mengantar kita semua keluar gerbang. Kami bersiap pulang. Lambaian perpisahan, senyuman dan jabat tangan sudah dilakukan.
Akhirnya, pengalaman ini tak cukup untuk ditulis. Jika Anda adalah orangtua yang tertarik menyekolahkan anak di ICM, maka datanglah ke sana. Carilah informasi lebih detail lagi dan rasakan sendiri kenyamanannya. ICM lebih dari sekolah, dia seperti taman bermain dan tempat menenangkan diri.