Lontar.id – Bisnis prostitusi bukanlah barang usang. Kehadirannya telah ada sejak beratus abad lamanya dan tetap eksis hingga hari ini. Kita pasti akan bertanya, mengapa bisnis ini tak lekang oleh waktu?
Saya teringat kata-kata Ahok yang cukup keras tentang prostitusi. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini pernah mengungkapkan jika praktik prostitusi tidak akan bisa hilang. Ia mengibaratkannya dengan sampah. Katanya, sepanjang manusia hidup, pasti akan memproduksi sampah, sama halnya dengan prostitusi, pasti selalu ada.
Apa yang diungkapkan Ahok ini cukup berdasar, apalagi saat menelusuri sejarah prostitusi yang telah ada sejak dulu, bisnis tertua di dunia.
Prostitusi telah ada sejak zaman Mesir Kuno. Cerita-cerita rakyat mengisahkan pelacur terhormat mewarnai masyarakat Mesir Kuno. Tetapi, di antara bangsa-bangsa Kuno, hanya pada masa Yunanilah pengakuan tertinggi disematkan bagi pelacur. Pada masa itu, mereka sebenarnya adalah selir dan dalam beberapa cerita banyak yang diangkat menjadi permaisuri.
Pelacur juga muncul pada masyarakat Muslim zaman dahulu. Mereka biasanya berperan sebagai penghibur dan kebanyakan berasal dari luar daerah Muslim. Laki-laki yang ingin berhubungan dengan mereka harus melalui penghubung dan disewa untuk memberikan pelayanan seksual.
Puisi-puisi cinta yang beredar di Timur-Tengah waktu itu banyak yang dikumandangkan untuk menghormati para pelacur ini. Demikian juga bangsa-bangsa seperti India, Cina, dan Jepang juga mengenal penyanjungan terhadap profesi pelacur terhormat. Beberapa daerah seperti Jepang populer dengan istilah geisha.
Dalam konteks Indoensia, pelacur telah ada sejak zaman Jawa Kuno. Meskipun keberadaannya cenderung terpinggirkan. Pelacur ini memiliki pengaruh yang kuat sehingga mendapatkan pengaturan yang ketat oleh penguasa. Pada masa Jawa Kuno, wanita tunasusila diatur sedemikian rupa.
Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, menerangkan kata jalir berarti pelacur atau wanita tunasusila. Begitu pula kajaliran artinya tunasusila. Dua kata itu sering muncul dalam kitab susastra dan prasasti. Dilansir dari Historia.id.
Sementara itu, asal usul prostitusi (pelacuran) modern di Indonesia dapat ditelusuri pada masa kerajaan-kerajaan Jawa. Menurut Hull dalam bukunya Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan perkembangannya mengungkapkan perdagangan perempuan pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal.
Bentuk industri seks yang lebih terorganisir berkembang pesat pada
periode penjajahan Belanda. Kondisi tersebut terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan pemuasan seks masyarakat Eropa.
Tahun 1852, wanita tuna susila (WTS) yang pada waktu itu disebut
sebagai “wanita publik” diawasi secara langsung dan secara ketat.
Mereka diwajibkan memiliki kartu kesehatan dan secara rutin (setiap minggu) menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi adanya penyakit sifilis atau penyakit kelamin lainnya.
Komersialisasi seks di Indonesia terus berkembang selama pendudukan
jepang antara tahun 1941 hingga 1945. Perempuan yang telah bekerja sebagai penghibur dikumpulkan dan ditempatkan di rumah-rumah border untuk melayani para prajurit Jepang, sementara yang lainnya beroperasi di tempat biasanya.
Pada masa pendudukan Jepang, banyak perempuan dewasa dan anak-anak sekolah tertipu atau dipaksa memasuki dunia pelacuran. Kondisi para perempuan pekerja di industri seks selama masa penjajahan
Belanda sangat berbeda apabila dibandingkan dengan kondisi kelompok yang sama pada jaman Jepang.
Sebuah dokumen yang dikumpulkan majalah mingguan Tempo (1992) menyebut bahwa perempuan yang menjadi pelacur pada kedua masa penjajahan itu, umumnya lebih menyukai kehidupan yang lebih tenteram pada masa penjajahan Belanda, karena dimasa ibu banyak ‘sinyo’ yang memberi mereka hadiah berupa pakaian, uang dan perhiasan dan bahkan ada yang menyediakan tempat tinggal.
Pada akhir tahun 1940-an, penduduk Indonesia yang baru merdeka
terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sebagian besar tinggal di daerah pedesaan. Pada tahun 1950-an situasi perekonomian Indonesia ditandai dengan banyaknya pengangguran dan kemiskinan. Faktor lain yang mendorong para wanita muda masuk ke dunia prostitusi pada masa itu adalah karena tingginya angka tingkat perceraian terutama di kalangan keluarga di Jawa.
Sampai hari ini, prostitusi masih ada dan perlahan bertaransformasi dalam bentuk yang lain. Jika pada masa kolonialisasi, para pelacur ditempatkan dalam rumah border. Lalu, pada dekade 1940-an, keberadaan pelacur mulai tersebar. Dalam banyak buku dijelaskan jika pelacur biasanya ada di kedai-kedai kopi, tempat pijit, di pinggir rel kereta api, dan tempat-tempat lainnya.
Tempat pelacuran berkembang pesat menjadi lokalisasi, di Surabaya di kenal dengan Doli. Meski beberapa lokalisasi telah ditutup, tapi prostitusi tetaplah jaya apalagi di zaman digital saat ini. Prostitusi justru ada di mana-mana, keberadaannya melampaui ruang nyata, bahkan cenderung tidak bisa dikendalikan. Prostitusi online merebak, sulit menghentikannya karena mereka bekerja di ruang-ruang virtual.