Lontar.id – Bambang Widjojanto ditunjuk sebagai kuasa hukum paslon Prabowo-Sandi, menangani kasus sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Di balik penunjukkan mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011-2015 ini, lantaran ia punya rekam jejak yang cukup baik menangani kasus di MK dan pengalamannya menangani kasus di lembaga anti rasuah itu.
Bambang Widjojanto, kini punya tanggungjawab besar memenangkan paslon yang dibelanya di hadapan 9 hakim konstitusi. Sejumlah bukti terkait kecurangan pemilu sudah disodorkan, diantaranya meminta paslon Jokowi-Ma’ruf didiskualifikasi dari pencalonan presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2019. Juga ada beberapa bukti yang dimasukkan diantaranya berupa link berita. Bukti tersebut nantinya akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan hakim pada saat sidang.
Kuasa hukum paslon Prabowo-Sandi, diketahui juga telah mengajukan perbaikan gugatan hasil Pilpres 2019. Dalam perbaikan gugatan itu terdapat beberapa poin yang di masukkan, diantaranya mempersoalkan posisi Ma’ruf Amin mengenai jabatannya di Bank BNI Syariah dan Bank Mandiri Syariah yang merupakan perusahaan milik negara.
Seorang yang masih menjabat sebagai karyawan atau pejabat di suatu bank milik negara, diwajibkan untuk mengundurkan diri sebelum mengajukan pendaftaran sebagai calon di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun Ma’ruf Amin hingga kini masih berstatus sebagai Dewan Pengawas Syariah.
Poin tersebut dianggap telah melanggar Pasal 227 huruf p (Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017), karena adanya pelanggaran yang cukup krusial, tim hukum BPN Prabowo-Sandi meminta agar MK mendiskualifikasi Jokowi-Ma’ruf.
Persoalan lain yang digugat dalam muatan petitum adalah, adanya klaim kemenangan Prabowo-Sandi di angka 52 persen atau perolehan suara 68.650.239 juta. Sedangkan paslon Jokowi-Ma’ruf hanya meraup 48 persen atau 63. 573.169 juta suara.
Perolehan hasil suara dari tim Prabowo-Sandi berbeda jauh dengan hasil rekapitulasi pleno KPU yang menangkan Jokowi-Ma’ruf 55,41 persen atau 85.036.828 suara, lalu Prabowo-Sandi berada jauh di angka 44,49 persen atau 68.442.493 suara.
Klaim kemenangan Prabowo memang sudah seringkali dilakukan pada deklarasi, hasilnya pun kerap berubah-ubah. Usai perhitungan suara dilaksanakan Prabowo klaim menang 62 persen di Kertanegara, lalu pada deklarasi selanjutnya berubah menjadi 54,24 persen dan yang terakhir saat mengajukan perbaikan permohanan di MK berubah lagi menjadi 52 persen.
Tentu tidak ada larangan, paslon mendeklarasikan kemenangan berdasarkan hasil hitungan internal, apalagi tim sudah bekerja keras mengumpulkan semua bukti formulir C1 dan setelah dihitung merekalah yang menang. Kendari klaim menang versi internal, tidak lantas harus diakui oleh publik kecuali dari pendukungnya. Perhitungan suara Pilpres 2019 yang sah harus dikeluarkan dari lembaga resmi yaitu KPU.
Jika terjadi perbedaan yang cukup signifikan antara hitungan internal paslon dengan KPU, maka disediakan saluran hukum untuk menggugat, di situlah paslon dan KPU beraru data. Mana yang benar dan tidak akan di putuskan oleh hakim.
Terlepas dari itu semua, saya bahkan publik masih menanti-nanti apa gebrakan besar Bambang Widjojanto di depan majelis hakim dengan sejumlah bukti yang ada. Sebab, jika dokumen yang diajukan belum kuat untuk membuktikan kecurangan pemilu yang diklaim terstruktur, sistematis dan masif seperti yang disangkakan, maka bukti tersebut akan mentah dengan sendirinya.
Kita coba beranda-andai saja, bahwa bukti kuat yang ditemukan Bambang Widjojanto adalah terkait jabatan Ma’ruf Amin di bank milik negara. Lalu bukti itu akan jadi satu-satunya yang bisa dipegang agar paslon Jokowi-Ma’ruf didiskualifikasi dari kontestasi pemilu 2019.
Mengapa bukan link berita dan klaim menang 52 persen sebagai bukti andalan, jawabannya sederhana. Link berita tidak sepenuhnya dapat dijadikan sebagai alat bukti, ia perlu ferivikasi satu persatu dari media yang menaikan berita tersebut.
Apakah berita itu benar, memenuhi kaidah jurnalistik, mengandung cofer both side dan ketidakberpihakan pada salah satu paslon. Rentetannya akan panjang bila diulas satu persatu, jadi link berita hanya dijadikan data tambahan, bukan sebagai bukti utama. Demikian juga dengan klaim kemenangan Prabowo yang seringkali berubah-ubah dan tidak konsisten dengan perolehan awal. Jadi, menurut saya keduanya bukanlah bukti utama.
Dari sekian bukti yang diajukan, hanya temuan jabatan Ma’ruf Amin di bank milik negara yang paling kemungkinan sebagai bukti andalan. Muncul pertanyaan dalam diri kita, apakah benar butki itu dapat mendiskualifikasi paslon Jokowi-Ma’ruf?
Bank BNI Syariah dan Bank Mandiri Syariah diketahui bukan bank yang di naubgi oleh BUMN, lantaran pemegang saham di Bank BNI adalah PT. Bank BNI dan PT. Asuransi Jiwasraya lalu Bank Mandiri Syariah sahamnya dipegang oleh PT. Bank Mandiri dan PT. Mandiri Sekuritas. Jadi tidak ada kaitannya dengan pemilik saham BUMN.
Kalau memang benar kedua bank tersebut bukan BUMN pemilik sahamnya, apakah permohonan paslon Prabowo-Sandi untuk menggagalkan paslon Jokowi sebagai peserta Pemilu 2019 dapat dikabulkan. Akan sulit rasanya permintaan ini dikabulkan oleh MK, karena kedua bank tersebut dikelolah oleh perusahaan swasta.
Lalu, apa gebrakan lain Bambang Widjojanto yang dapat memenangkan Prabowo-Sandi? Akankah Prabowo mengalami nasib yang sama seperti pemilu 2014 lalu, kalah di MK?