Lontar.id – Prabowo Subianto baru saja dilantik sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) Kabinet Indonesia Maju (KIM) Jokowi-Ma’ruf. Di tangan Prabowo, banyak yang memprediksikan bahwa TNI akan semakin sejahterah, kuat secara Alat Utama Sistem Pertahanan (Alutsista) hingga menambah porsi anggaran. Intinya Prabowo akan memperkuat TNI.
Memang ada benarnya, jika Prabowo menangani Kementrian Pertahanan menggantikan Ryamizard Ryacudu, TNI akan semakin kuat. Bila menelisik kembali visi besar Prabowo saat debat kandidat Pilpres 2019 lalu, Prabowo berpendapat sektor pertahanan dan keamanan Indonesia masih sangat lemah, ditambah dengan kecilnya anggaran yang dikucurkan.
Anggaran sebesar Rp107 triliun yang pernah disampaikan Jokowi saat debat capres, juga dikritik Prabowo. Ia beralasan, anggaran sebesar itu masih terbilang kecil untuk memperkuat militer Indonesia. Karena anggaran tersebut hanya 5 persen dari rasio Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan 0,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Benarkah demikian, bahwa sistem pertahanan keamanan kita lemah, sementara jika dibandingkan dengan Australia yang menggelontorkan dana mencapai 3 persen dari PDB. Tentu saja angka itu jauh di atas Indonesia yang hanya memberikkan 0,8 persen saja dari PDB.
Soal benar atau tidaknya kritik dari Prabowo itu, bukanlah jadi soal untuk dipertentangkan, karena bicara tentang pos anggaran bukan saja kerjanya presiden, melainkan ada campur tangan dari pihak DPR yang mengesahkan anggaran tersebut.
Meskipun presiden mengajukan porsi anggaran sekian persen dari APBN, tentunya harus mendapatkan rasionalitas dari DPR. Apakah anggaran tersebut sangat mendesak dikucurkan atau dapat dialihkan untuk penguatan ekonomi dan subsidi kepada masyarakat tidak mampu.
Melihat ancaman dunia internasional terhadap kepentingan dalam negeri, Indonesia belum mengarah kepada negara yang akan terlibat dalam perang lintas negara. Sehingga pemerintah mau tidak mau menambah berkali-kali lipat anggaran untuk membangun kekuatan pertahanan.
Di sisi lain, Indonesia merupakan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 1950, kemudian terbaru menjadi anggota tetap pada awal 2019 di Markas Besar PBB di New York, Amerika. Dengan begitu, hampir tidak mungkin Indonesia mengalami perang secara terbuka dengan negara luar, karena dilindungi Dewan Keamanan PBB.
Lalu menjadi pertanyaannya adalah, apakah perlu menambah porsi anggaran militer seperti yang dikatakan Prabowo? Menurut saya penguatan terhadap pertahanan memang harus dilakukan meskipun belum nampak ancaman dari pihak luar, atau perang secara terbuka. Tetapi untuk saat sekarang rasa-rasanya belumlah tepat. Sebab di berbagai sektor kita masih kewalahan, utamanya pementasan kemiskinan, fasilitas kesehatan, pemenuhan pendidikan hingga sektor pemerataan pembangunan ke daerah-daerah.
Masalah krusial kita ada pada disparitas yang saya sebutkan di atas. Pendidikan mengacu pada kemajuan sumber daya manusia, bila sebagian kecil saja yang mampu mengakses dunia pendidikan, di mana sebagian orang miskin tidak berkesempatan mengenyam dunia pendidikan lantaran mahal. Bukan tidak mungkin, bonus demografi yang disebut-sebut sebagai satu peluang menuju lompatan lebih besar, hanyalah sebuah angan-angan. Karena ketersediaan sumber daya manusia belum mengarah ke sana, lantaran banyak masyarakat yang belum bisa mengakses dunia pendidikan yang murah.
Tantangan Prabowo
Setelah Jokowi mengumumkan Kabinet Indonesia Maju agar para menterinya bekerja dengan serius menjalankan program kerja hingga selalu memantau di lapangan. Apabila para menterinya tak serius menangani amanat yang diberikan, Jokowi tak segan-segan mencopot menteri yang dianggap mendapatkan laporan merah. Tetapi yang paling menyita perhatian saya adalah adanya pernyataan Jokowi yang mengingatkan kepada para menterinya, bahwa tidak ada visi menteri yang ada adalah visi presiden.
Pernyataan tersebut merupakan peringatan keras bagi menteri yang berniat manuver di periode keduanya. Tugas menteri adalah merealisasikan program presiden, apa yang sudah dibangun dan dipikirkan presiden, itulah yang akan dikerjakan.
Melihat pernyataan Jokowi yang memberi penegasan pada kata tidak ada visi menteri yang ada adalah visi presiden. Dari situ dapat disimpulkan, upaya manuver dari para menteri yang berasal dari koalisi pengusung, akan tetapi, mantan rival politiknya tidak akan bisa berkutik.
Lalu bagaimana dengan Prabowo, masihkah ia akan perjuangkan semua yang dianggap bermasalah di pemerintahan Jokowi pada periode pertama. Sekali lagi rasanya sulit bagi Prabowo memperjuangkan isi kampanyenya saat itu, karena diawal pembentukan kabinet, Jokowi dengan tegas memberi pernyataan tersebut.
Prabowo tak lebih dari sekadar macan ompong, bergabung dalam koalisi yang pernah ia kritik. Ia tak akan bebas seperti sebelumnya, bebas menyampaikan pendapat dan kritik, namun sekarang ia ibarat macan yang terkurung. Belum lagi, Jokowi di periode kedua tak akan lagi mencalonkan diri sebagai presiden. Sedikit saja Prabowo bermanuver, bisa saja di reshuffle.
Editor: Ais Al-Jum’ah