Lontar.id – Tidak ada koalisi permanen dalam politik, yang ada hanyalah sementara waktu, usai tahapan pemilu selesai dan KPU sudah menentukan putusan paslon mana yang menang, maka koalisi yang kalah bebas menentukan pilihan akan merapat ke kubu yang mana.
Apakah tetap konsisten sebagai partai oposisi, berada di luar pemerintahan sebagai mitra kritis pemerintah atau bergabung mendapatkan jatah kekuasaan.
Sikap partai politik yang tergabung dalam koalisi, akan lunak dengan sendirinya seiring perubahan konstelasi politik. Partai tentu akan berpikir matang, menghitung untung dan ruginya bila berada di luar atau di dalam pemerintahan.
Sikap lunak tersebut, sebagian akan berpendapat bahwa partai politik terlalu pragmatis, cenderung hanya mengejar kekuasaan daripada konsisten dengan pilihan politik awalnya.
Jika menelaah lebih jauh, bahwa partai politik merupakan sarana elit politisi untuk mencapai kekuasaan, sehingga wajar saja terjadi perubahan sikap dan ada yang memutuskan keluar dari koalisi.
Setiap parpol akan memaknai bahwa hal tersebut biasa-biasa saja, bila calonnya kalah tentu langkah selanjutnya bergabung, meski akan muncul pelbagai cibiran dan bully sebagai partai yang tidak konsisten.
Cibiran dan bully itu hanya datang sementara waktu, lama kelamaan publik dan terutama pendukungnya akan lupa seiring waktu.
Hal itu sejalan dengan ingatan publik kita yang tidak panjang dan cepat lupa. Pemilih partisipan tentu banyak dibeberapa parpol yang hanya memilih karena figur, bukan karena partai politik.
Sehingga partai yang dianggap tidak konsisten saat ini memegang prinsip, namun di pemilu selanjutnya, ketika mendorong figur yang populer di masyarakat, maka pemilih tadi akan tetap memilihnya.
Jadi, bukan saja partai politiknya saja yang tidak konsisten, melainkan pemilih yang cenderung tidak punya prinsip, meskipun partainya dicibir tapi ketika orang populer yang diusung di pemilu, toh juga dia akan memilih partai tersebut.
Koalisi Prabowo Bubar
Koalisi yang berada dibarisan pendukung Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno (Prabowo-Sandi), tampaknya sedang gusar dan sedang mencari beragam alasan agar bisa keluar dan bergabung dengan TKN Joko Widodo dan Ma’ruf Amin (Jokowi-Ma’ruf).
Dua partai kubu Prabowo-Sandi yang sudah terlihat sinyal akan merapat ke Jokowi-Ma’ruf yaitu Demokrat dan PAN. Manuver Demokrat yang paling menonjol, itu terlihat saat Ketua Kogasma Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) bertemu dengan Jokowi beberapa kali di Istana Negara dan Istana Bogor. AHY juga pernah ketemu dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri.
Pertemuan itu bisa dilihat dalam konteks saling menawarkan diri satu sama lain, Demokrat menawarkan diri agar masuk koalisi dan membantu pemerintah dari dalam dengan imbalan jabatan menteri. Lalu PDIP ingin mengamankan diri di Parlemen agar mendapatkan dukungan mayoritas partai politik.
Sebab kebijakan pemerintah Jokowi-Ma’ruf kedepannya nanti (setelah MK putuskan menang) harus mendapatkan persetujuan mayoritas parlemen, sehingga tidak ada lagi kendala yang menghambat misi pembangunan infrastruktur yang digenjotkan Jokowi.
Sedangkan PAN sudah terbukti pada pemilu 2014, dimana sebelumnya mendukung Prabowo-Hatta, namun belekangan bergabung dengan Jokowi-JK. Hal yang sama pada pemilu 2019, setelah Ketua PAN Zulkifli Hasan (Zulhas) diketahui meminta jatah sebagai ketua MPR atau DPR.
Dua partai pendukung Prabowo-Sandi ini, tak diragukan lagi akan berada di pemerintahan meninggalkan Gerindra dan PKS. PKS cenderung punya sikap dan ideologi yang tidak bisa dipaksakan, ia akan memilih berada di luar pemerintahan bersama Gerindra.
Faktor utamanya bukan saja pada kesamaan dukungan pada Pilgub DKI Jakarta, melainkan adanya sejumlah ulama berada dibelakangnya. Selain itu, PKS mendapatkan percikan elektoral karena mendukung Prabowo.
Jadi, bagaimana dengan pendukung Prabowo-Sandi yang harus menghadapi kenyataan bila PAN dan Demokrat menyebrang ke kubu sebelah. Sekali lagi inilah politik, kepentingan selalu diutamakan ketimbang tidak mendapatkan kue kekuasaan.