Jakarta, Lontar.id – Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah resmi menetapkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin (Jokowi-Ma’ruf) sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih 2019-2024, Minggu (30/6/2019). Usai penetapan, Jokowi bersama gabungan parpol koalisinya memberi isyarat ke partai Gerindra untuk ikut bergabung di periode kedua masa pemerintahannya.
Sebuah ajakan yang pastilah bakal dipertimbangkan partai manapun. Sebab, telah 5 tahun Gerindra bersama PKS berdiri tegak sebagai partai oposisi. Risikonya jelas, oposisi berada di luar pemerintahan sehingga harus puasa soal ‘jatah’ di kabinet pemerintahan terpilih.
Kekalahan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (Prabowo-Sandi) atas Jokowi-Ma’ruf kembali membuka jalan oposisi bagi parpol pengusung mereka (Gerindra, PKS, Demokrat, PAN, dan Berkarya). Namun, keretakan sudah terlihat sejak awal. Baik Demokrat dan PAN terus dirayu bergabung ke Pemerintahan.
PAN sebelumnya punya pengalaman bergabung ke Pemerintah dengan bargaining kadernya di posisi Menteri. Namun, PAN menarik diri dan bergabung ke Gerindra diiringi pencabutan kursi Menteri mereka di masa Pemerintahan (Jokowi-JK).
Yang menarik adalah Gerindra. Sebagai induk koalisi mereka terus diberi isyarat bergabung. Bisa dibayangkan jika negara dengan sistem demokrasi tanpa keberadaan partai oposisi atau pihak yang berada di luar pemerintahan. Pastilah takkan lagi ada kontrol dan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap keliru.
Karena memilih bergabung ke Pemerintahan jelas akan ‘mendiamkan’ parpol yang wakilnya telah mendapat ‘jatah’ jabatan. Sebuah pilihan yang berat bagi partai oposisi seperti Gerindra dan PKS. Setelah 5 tahun berpuasa di luar kuasa, godaan jabatan itu akhirnya tiba.
Konsisten dengan oposisi artinya tetap melanjutkan puasa tanpa ‘jatah’ di pemerintahan. Tapi, memilih bergabung jelas akan menghilangkan keseimbangan dalam pemerintahan. Pemerintah bebas menjalankan kebijakan tanpa kontrol yang pastinya tidak akan sempurna tanpa ‘vitamin’ kiritik dari pihak oposisi.
Namun, konsisten pada sikap awal pastilah akan menghasilkan buah yang manis. Meski tidak selamanya akan manis. Bisa saja hal itu yang terlintas di pikiran para elite parpol oposisi saat ini. Namun, manisnya buah dari konsistensi oposisi sudah dirasakan sendiri oleh PDIP.
Dua periode (2004-2009, 2009-2014) era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden, dua periode pula PDIP konsisten sebagai oposisi. Begitu banyak jejak digital yang membuktikan sepak terjang PDIP selama menjadi oposisi. Kritik mereka soal kenaikan BBM di era SBY menjadi salah satu gerakan getol mereka yang tak pernah absen dalam mengontrol pemerintah kala itu.
Hasilnya terlihat. Akhir kepemimpinan SBY menjadi panggung berikutnya bagi PDIP. Dua periode mereka berpuasa, dan dua periode selanjutnya pula mereka meraih kuasa. Kemenangan Jokowi-JK di periode 2014-2019 dikomandoi oleh PDIP sebagai parpol pengusung utama. Begitupun di jalur Legislatif, PDIP keluar sebagai pemenang Pileg. Pilpres dan Pileg untuk periode 2019-2024 menjadi kemenangan lanjutan bagi petahana Jokowi dan PDIP yang kini nyaman di Pemerintahan.
Konsistensi oposisi PDIP menghasilkan sebuah kemenangan beruntun di Pilpres dan Pileg. Sebagai oposisi, sepertinya Gerindra dan PKS sudah menyadari itu. Puasa ‘jabatan’ mereka pastilah tidak akan sia-sia. Sebab, buah dari sebuah kebijakan yang salah oleh Pemerintah pastilah menuntut pertanggungjawaban. Memilih bergabung dalam pemerintah akan membuat puasa mereka tak lagi bermakna.
Sebuah pilihan yang berat pastinya. Namun, kuasa tetaplah kuasa yang kadang membuat siapa saja terlena. Dan puasa akan selalu bermakna. Meski belum meraih apa-apa. Karena mengawasi pemerintah adalah tugas utama bagi yang kalah. Sehingga demokrasi tak sekadar mempertontonkan ambisi kuasa, tetapi juga memberikan edukasi bagi warga Indonesia.