Lontar.id – Pabrik yang memroduksi obat antiretroviral (ARV) sebagai obat untuk penderita HIV/AIDS, di Tambak Aji, Semarang, menjamin ketersediaan obat di pasaran, juga menekan harga jualnya.
Selama ini, Jawa Tengah masih sangat tergantung pada pasokan ARV dari luar negeri, sehingga harganya pun relatif mahal.
Gubernur Jawa Tengah (Jateng), Ganjar Pranowo, menyambut baik kehadiran pabrik farmasi ARV yang pertama di Indonesia ini.
Melalui rilis tertulis, dia berharap perusahaan yang bekerja sama dengan India ini juga bisa meriset lebih dalam semua penyakit yang diakibatkan oleh virus, termasuk Covid-2019 yang sedang mewabah di dunia.
“Kami berterima kasih atas kerjasamanya. Tentu ini pioneering yang sangat bagus. Obatnya insyaallah bermanfaat untuk mereka (ODHA), termasuk meriset lebih dalam untuk mengatasi virus-virus seperti Corona,” katanya seusai meresmikan Pabrik Farmasi Antiretroviral PT Sampharindo Retroviral Indonesia di Tambak Aji, Semarang, Kamis (27/2/2020).
Jawa Tengah masuk lima besar provinsi dengan kasus HIV tertinggi di Indonesia setelah DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat dan Papua. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI tahun 2012, data estimasi ODHA) di Jateng sebanyak 47.514 kasus. Pada 2016, jumlah ini meningkat menjadi 70.354 kasus.
Epidemi HIV/AIDS di Jawa Tengah sejak 1993 sampai September 2019, dilaporkan Dinkes Jateng sebanyak 30.465 dengan rincian 17.559 kasus HIV, 12.906 kasus AIDS dan sebanyak 1.915 orang di antaranya sudah meninggal dunia.
Ganjar menambahkan, kehadiran pabrik farmasi ini dapat menjadi benchmark investasi untuk perusahaan sejenis. Dengan proses perizinan yang mudah, ini membuktikan bahwa praktik investasi bisa berjalan dengan baik di Jawa Tengah.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito menambahkan pabrik farmasi antiretroviral milik PT Sampharindo Retroviral Indonesia ini merupakan pabrik obat antivirus pertama di Indonesia. BPOM turut mendukung dengan mempercepat proses perizinan untuk obat yang akan diedarkan, termasuk memfasilitasi dengan mendatangkan investor sehingga ke depannya pabrik ini bisa mandiri dan membuat obat ARV di dalam negeri.
“Dengan membuat produk di rumah sendiri, di dalam negeri, maka bisa menghasilkan produk yang lebih murah. Ini bisa membantu saudara kita yang biasanya harus membeli obat dengan harga mahal. Apalagi obat ARV ini sangat dibutuhkan,” kata Penny.
Penny mengapresiasi kerja lintas sektoral dalam pengembangan industri farmasi, di antaranya pemerintah daerah. Ia menjelaskan dalam lima tahun terakhir sudah banyak perubahan dalam industri farmasi di Indonesia, yaitu dengan adanya 40 investasi di mana 17 di antaranya merupakan investor asing.
“Pabrik ini salah satu contohnya,” ungkap Penny.