Lontar.id – Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi aktivitas sosial demi mencegah penyebaran Covid-19, dimulai dengan meliburkan sekolah dan membuat aturan learn from home, lalu work from home, dan kini membuat aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Menurut hasil penelitian UNICEF, pemberlakuan PSBB berdampak besar pada penghasilan pekerja sektor informal. Padahal pekerja ini juga memiliki keluarga. Turunnya penghasilan kepala keluarga memberi pengaruh langsung pada kesejahteraan anak.
UNICEF Indonesia melakukan penelitian tentang dampak non kesehatan dari COVID-19 bagi anak-anak di Indonesia.
Angga Dwi Matra, Spesialis Kebijakan Sosial UNICEF, mengatakan dampak Covid-19 terhadap anak-anak memang tak besar secara kesehatan, namun anak juga menanggung dampak lain, yaitu dampak sosial dan ekonomi.
“Ada tiga krisis yang terjadi terkait kondisi tersebut. Pertama adalah krisis kemiskinan anak, kedua adalah krisis gizi, dan ketiga adalah krisis pembelajaran,” ujar Angga yang ia sampaikan dalam Diskusi Online seri #1 yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan UNICEF, Senin, 11 Mei 2020.
Dalam diskusi mengambil tema besar “Dampak Sosial Ekonomi COVID-19 pada Anak-Anak di Indonesia”, Angga menuturkan, saat ini hanya 52 juta penduduk di Indonesia yang bisa dianggap memiliki pendapatan yang aman.
Sementara sebagian besar dari 115 juta penduduk Indonesia diklasifikasikan sebagai “calon kelas menengah” (istilah yang baru-baru ini diperkenalkan oleh Bank Dunia) termasuk sangat rentan.
PSBB yang sedang diperlakukan membuat “calon kelas menengah” kehilangan penghasilan. Kehilangan pendapatan rumah tangga yang terjadi secara tiba-tiba menimbulkan ketidakstabilan situasi ekonomi keluarga dan dapat berujung pada kemiskinan.
Mengutip proyeksi Bappenas, Angga menuturkan bahwa kemungkinan
penduduk Indonesia jatuh miskin naik menjadi 55 persen. Sementara, sekitar 27 persen calon kelas menengah diperkirakan mengalami ketidakamanan pendapatan yang menghawatirkan.
Keluarga dan anak-anak yang jatuh miskin dalam waktu singkat, menurutnya, akan mengalami dampak berat dalam hal keamanan pangan rumah tangga dan keterbatasan terkait akses, ketersediaan, dan keterjangkauan bahan makanan sehat.
“Survei daring menunjukkan bahwa kebutuhan pangan semakin tidak aman: 36 persen dari responden menyatakan bahwa mereka “sering kali” mengurangi porsi makan karena masalah keuangan,” tambah Angga.
Krisis lain yang dihadapi adalah krisis pembelajaran. Saat ini, lebih dari 120 negara telah memberlakukan pembatasan interaksi sosial dengan menutup sekolah, yang berdampak pada jutaan siswa di seluruh dunia.
Pemerintah Indonesia juga telah menerapkan belajar dari rumah sejak Maret lalu. Dampaknya dapat memperburuk kesenjangan akses pendidikan. Siswa miskin dan rentan merupakan pihak paling terdampak oleh penutupan sekolah. Pendidikan mungkin tidak menjadi prioritas utama, karena sering kali harus bersusah payah memenuhi kebutuhan dasar.
“Lamanya waktu belajar yang hilang dapat membuat banyak siswa sulit menguasai pengetahuan dan kemampuan sesuai tingkatan kelas yang diharapkan. Situasi ini dapat menimbulkan risiko terhadap pembangunan sosial dan ekonomi Indonesia. Jumlah anak yang putus sekolah juga dapat meningkat akibat kesulitan yang dihadapi anak dan remaja untuk kembali dan tetap bersekolah setelah penutupan sekolah dan kontraksi ekonomi yang berlangsung dalam waktu lama,” ujarnya menjelaskan.
Kondisi ini juga memberi dampak pada anak-anak penyandang disabilitas. Anak-anak penyandang disabilitas secara khusus sulit belajar dari jarak jauh dengan efektif karena sering kali memerlukan kontak fisik dan emosional dengan guru serta mengandalkan alat-alat dan terapi khusus agar dapat belajar dengan baik.
Editor: Kurniawan