Lontar.id – Kerusuhan 22 Mei di Kantor Bawaslu RI masih menyisahkan banyak luka, terutama pada keluarga korban yang meninggal dunia dan luka-luka akibat pukulan dan tembakan.
Mereka meninggal akibat beringasnya perilaku pengamanan, memperlakukan warga negaranya sediri secara membabi buta. Padahal polisi punya tugas melindungi dan mengayomi warganya dari segala macam ancaman, namun kenyataannya berbeda jauh, justru terbalik.
Nyawa melayang sia-sia tanpa diperhitungkan, tangisan keluarga korban pecah, tak merelakan anaknya merenggang nyawa dengan cara yang tak perna terpikirkan sama sekali olehnya. Ia dijemput maut saat elit politik sedang berebutan kekuasaan, tak peduli dengan seberapa banyak warga meninggal, asalkan kekuasaan dapat diraih.
Jatuhnya korban pada kerusuhan 22 Mei, hanya karena mempertahankan ego kepentingan elit politik. Jika kedua paslon bersikap negarawan, tidak akan terjadi peristiwa mengerikan ini. Prabowo dan Jokowi adalah tokoh kunci, mereka bisa saja bertemu untuk mendinginkan suasana yang terlanjur panas. Namun keinginan itu tidak pernah terwujud, meski sebagian warga menyerukan poin pancasila nomor tiga, persatuan Indonesia
Klaim kecurangan pemilu dari kubu Prabowo-Sandi, bisa diselesaikan melalui jalur hukum, tidak seperti memobilisasi massa untuk melakukan tindakan anarkis. Memang tidak mudah menerima kekalahan dari hasil pemilu yang curang, tapi sangat tidak bisa diterima lagi kalau mengorbankan warga demi mempertahankan ego kekuasaan. Warga dikorbankan, elit politik menuai hasilnya.
Pernahkah kita sadari, di saat warga dimobilisasi untuk demonstrasi dan rusuh dengan aparat kepolisian, di saat yang sama para elit sedang duduk santai melobi jabatan. Warga dihajar menggunakan pentungan, sepatu bot, laras panjang dan tembakan gas air mata, mereka sedang asyik duduk dengan rival politiknya. Silaturahmi.
Komunikasi politik berkedok silaturahmi memang sudah tak asing lagi di negeri ini. Contoh yang paling dekat sekali, ketika Agus Harimurti Yudhoyono bertemu Jokowi, begitupun dengan Zulkifli Hasan. Silaturahmi berkedok politik punya banyak makna, bisa saja ngomongin bagi-bagi jatah menteri, deal-deal proyek atau lainnya.
Siapa yang tahu apa yang sedang mereka lakukan, wajar saja muncul asumsi seperti itu, karena praktek politik kita sudah tak asing lagi dengan hal demikian. Pihak yang menang merangkul yang kalah, begitupun sebaliknya yang kalah merapat ke pihak yang menang.
Mengapa harus ada lobi, supaya pemerintah mendapatkan dukungan besar dari partai politik, karena dukungan parpol sangat penting menggolkan kebijakan di parlemen. Demikian sebaliknya, parpol yang kalah merapat kekuasaan agar mendapatkan jatah kursi.
Siapa yang untung dan siapa yang buntung pasca aksi demonstrasi 22 Mei di Bawaslu?
Aksi demonstrasi massa pendukung paslon Prabowo-Sandi awalnya berlangsung damai, tak lama setelah usai salat Magrib, massa beringas dan menumpahkan amarahnya ke polisi lalu dibalas dengan tembakan gas air mata.
Seketika terjadilah kericuhan, amarah tampak sekali di wajah-wajah mereka. Ban bekas di bakar, pos polisi ludes dilalap api, mobil petugas polisi hangus terbakar dan korban berjatuhan. Massa yang terluka dibawa lari menggunakan mobil ambulans, begitupun dengan polisi. Ya, keduanya pihak korban berjatuhan, tapi massa pendukung Prabowo-Sandi jelas banyak korbannya ketimbang polisi yang menggunakan peralatan lengkap.
Demonstrasi menggunakan topeng people power itu, bukan saja memicu kerusuhan, namun semakin mempertajam perbedaan antara pendukung Jokowi dan Prabowo. Keadaan ini semakin diperparah ketika berjatuhan korban, sebenarnya aksi 21 dan 22 Mei itu tidak perlu dilakukan, sebab hanya merugikan warga sendiri karena harus melawan polisi.
Coba perhatikan orang yang sedang kalian diperjuangkan, pernahkah ada di tengah kalian menenteng batu, mencoret wajah dengan odol. Tidak kan. Mereka berdiri jauh di sisi yang lain, menonton pertunjukan ini layaknya aksi hiburan menunggu waktu sahur tiba.
Jelas warga yang tidak diuntungkan di peristiwa ini, warga sudah berjuang di saat kampanye, memilih di bilik suara, mengawal proses perhitungan hingga harus merenggang nyawa saat aksi demonstrasi. Ini bukan suatu sikap heroisme membela paslon, tapi sebuah tindakan yang sama sekali tidak perlu dilakukan.
Bukankah kita semua tahu hasil Pilpres 2019 tidak bisa diubah hanya melalui aksi protes, melainkan harus melalui jalur hukum. Yaitu mengajukan sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi.
Jadi, mengapa harus mengorbankan diri melalui aksi bila keputusan KPU tidak berubah kalau bukan melalui jalur hukum. Inilah yang saya maksud sebagai aksi demonstrasi yang tidak perlu dilakukan, karena merugikan diri sendiri. Sementara elit politik yang diuntungkan dan pihak keamanan. Setidaknya anggaran keamanan cair lagi.