Lontar.id – Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) memiliki potensi ancaman bencana. Kepala Kepala Subdirektorat Peringatan Dini Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Abdul Muhari, menjelaskan solusi yang harus diambil untuk meminimalkan dampak terburuk jika hal itu terjadi.
Melalui rilis tertulis, Doni menjelaskan gambaran umum faktor geologi dan kegempaan. Wilayah Sulsel, kata dia dilalui oleh satu patahan besar bernama Sesar Walanea, yang melintang dari barat laut menuju tenggara dan mengancam 1.177.380 jiwa.
“Sesar yang bergerak sekitar 21-29 milimeter pertahun ini selintas terlihat kecil jika dibandingkan Sesar Palu-Koro, akan tetapi kekuatan dari Sesar Walanae ini bisa berkisar hingga 8-10 MMI atau setara 6,6 magnitudo atau lebih,” jelasnya saat membawakan materi dalam kegiatan Penataran Manajemen Penanggulangan Bencana bertema “Penanggulangan Bencana Urusan Bersama”, di Makassar, Senin (10/2/2020), seperti dikutip dari keterangan tertulis BNPB, Selasa (11/2/2020).
BNPB mengingatkan bahwa yang berbahaya bukan gempanya melainkan bangunan yang tidak tahan gempa berpotensi menjadi ancaman.
Oleh sebab itu, perlu diperhatikan kembali struktur bangunan agar lebih mengutamakan konstruksi yang tahan terhadap gempabumi.
Hal tersebut juga sekaligus dapat menjadi acuan untuk pembangunan infrastruktur di wilayah Sulsel, karena gempa bumi adalah fenomena alam yang berulang.
“Bukan gempa yang membunuh tapi bangunan yang tidak tahan gempa yang berbahaya,” ujar Kepala Subdirektorat Peringatan Dini BNPB Abdul Muhari.
Selain gempa, tsunami juga berpotensi menjadi ancaman bencana di wilayah Sulsel. Menurut catatan, pada tanggal 29 Desember1820, gempa berkekuatan M 7,5 selama 4-5 menit di selatan Sulsel yang menurut penelitian menimbulkan longsoran bawah laut dan menyebabkan tsunami setinggi 20-25 meter hingga 500-an jiwa menjadi korban.
Peristiwa tersebut bisa kembali terulang mengingat di sepanjang selat Makassar terdapat lereng curam yang tidak stabil.
Jika terjadi gempa maka bisa berpotensi terjadi longsoran bawah laut dan menyebabkan tsunami. Pemerintah daerah dalam hal ini diharapkan menjadi lebih agresif dalam memberikan informasi yang baik kepada masyarakat dan menyiapkan langkah pencegahan sebagai solusi terbaik.
Selanjutnya bencana hidrometeorologi juga menjadi ancaman yang terus berulang sepanjang tahun. Walaupun korban jiwa karena gempa dan tsunami besar, namun intentistas kejadian lebih banyak terjadi akibat peristiwa hidrometeorologi dengan persentase hingga 98 persen dan hanya 2 persen yang diakibatkan faktor geologi. Dalam hal ini, tren bencana akibat hidrometeorologi terus meningkat.
Menurut data BNPB sejak 2010 hingga 2019, bencana seperti banjir, tanah longsor, angin puting beliung hingga kekeringan mendominasi terjadi di wilayah Sulsel.
Tahun 2019 lalu, BNPB mencatat 3.814 kejadian, termasuk di Sulsel. Tak kurang dari 70 orang meninggal dunia, dan belasan orang hilang. Kerugian ekonomi akibat bencana tahun lalu bahkan mencapai Rp 80,46 triliun.
Angka tersebut menjadi yang terbesar karena kebakaran hutan dan lahan yang mencapai sekitar Rp 75 triliun. Sementara itu, memasuki dua bulan usia tahun 2020, sudah terjadi 455 kejadian.
Sementara, Kepala BNPB, Doni Monardo, mengajak seluruh komponen baik dari pemerintah hingga masyarakat agar menerapkan apa yang telah diajarkan dalam agama tentang bagaimana seharusnya manusia yang baik dalam hidup berdampingan dengan alam.
“Saya mengajak agar kita semua kembali memahami apa yang telah dianjurkan oleh agama Islam terkait Hablum Minal Alam. Yaitu tentang hubungan manusia dengan alam,” ungkap Doni.
Doni mengatakan, apa yang menjadi faktor terjadinya bencana alam tak lain adalah karena kerusakan alam yang terus terjadi karena manusia lupa dengan apa yang diajarkan agama tersebut sehingga kerusakan alam juga menjadi faktor terjadinya perubahan iklim yang berdampak luas secara global.
“Kerusakan alam ini menyebabkan adanya perubahan iklim yang pada saat ini kita rasakan. Global warming bukan omong kosong!,” tegas Doni.
Melihat fenomena tersebut, Doni lantas mengajak seluruh komponen agar memikirkan langkah konkret dan strategi jangka panjang dalam mencari solusi yang permanen dengan cara pengecegahan, mitigasi dan juga pengurangan risiko bencana dengan meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan.
“Kita harus memikirkan strategi jangka panjang. Ini masalah permanen maka dari itu solusi juga harus permanen. Kita harus berpikir bagaimana menyiapkan bangsa ini agar dapat menghadapi ancaman bencana bukan untuk satu tahun, dua tahun tapi ratusan tahun yang akan datang,” imbuh Doni.
“Hendaknya ini menjadi perhatian kita semua, bahwa bencana ini sifatnya rutin. Jadi kita tidak bisa lagi menghindar. Kita harus memikirkan strategi jangka panjang. Ingat, negara bertanggung jawab melindungi rakyatnya,” tutup Doni.