Jakarta, Lontar.id – Sebenarnya saya sudah cukup tenang melihat pilpres 2019 dan banyak berandai-andai usai tampilan quick count di media mana saja. Tulisan perandaian saya sebelumnya, bisa dibaca di sini.
Sekarang saya lebih tertarik melihat bagaimana pemilu itu dijaga oleh orang-orang yang sederhana. Semisal saksi dan segala macam instrumen negara. Saya hampir tidak pernah tersentuh dengan hal-hal seperti polisi dengan tentara yang tidur melantai bersama.
Selain itu pria tua berpakaian linmas juga menarik perhatian saya. Sambil duduk, ia tertidur demi menjaga jalannya pemilu. Saya atau mungkin kita sebaiknya mengirim hormat buat mereka. Kehangatan mencintai negara ini masih terus terjaga dengan baik.
Lalu sebuah pertanyaan datang pada saya untuk memastikan kemenangan calon. Saya pikir begini, bagaimana mau memastikan kalau salah satu pasangan calon itu belum pula mendeklarasikan dirinya sebagai pemenang.
Anda lebih hebat daripada calon itu? Lebih paham akan kepastian masa depan? Bukan kalian yang dicalonkan, tetapi kalian yang gegap gempita seperti kalian yang menang. Sebenarnya siapa sih yang bertanding? Jokowi atau Prabowo?
Hal itu bahkan mengumpan saya untuk tidak memaklumi apa yang dilakukan Prabowo. Dari tulisan awal saya soal ini, saya menolak ekspresi berlebihan sebagai pandangan untuk tidak membakar emosi lagi.
Isi hati siapa yang tahu? Saya kira Jokowi punya alasan untuk tidak mendeklarasikan dirinya sebagai pemenang. Meski opini yang dibangun dari timnya sudah menyarankan Prabowo untuk lempar handuk dan menerima kekalahan.
Adalah hal baik dan terhormat pula–jika tidak ingin mengatakan dirinya sedang berhati-hati–bagi Jokowi untuk memutuskan sikap dengan menunggu hasil hitungan asli atau real count dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Opini dan asumsi mengarah ke mana-mana. Ada yang bilang Jokowi tidak percaya juga dengan hitungan cepat yang dipaparkan lembaga survei. Ia menahan emosinya dan mengubah trennya sewaktu 2014, pada kala ia bersorak ketika menang Pilpres lewat hitung cepat.
Sikap presiden bisa menentukan bagaimana gairah masyarakat di bawah. Jika tidak bersikap diserang prasangka, bersikap juga dengan gempita kemenangan diserang pula dengan emosi. Sementara tidak ada yang tahu hasil akhir KPU akan seperti apa.
Memang susah sekali menjadi pejabat publik. Di pikiranmu gampang? Influencer terbaik adalah pejabat kelas wahid. Apa saja gerakannya, bisa memicu ekses yang besar setelah pemilihan sudah usai dan presiden telah terpilih.
Kita cuma buih yang berakhir masuk dalam perangkap polarisasi. Begitulah. Sadar atau tidak. Mau keluar dari dua kutub dan apolitis sulit pula jadinya. Informasi yang melimpah membuat kita kadung berkomentar apa saja.
Begitu juga Prabowo. Mengapa kita lalu sibuk menghajarnya karena euforianya? Toh dia punya data. Apa salah jika ia punya hasrat menang yang berlebih dan melawan lembaga survei dan hasil hitung cepatnya?
Tidak ada yang salah. Ia sedang berjuang. Ia sedang berusaha meyakinkan publik yang memilihnya, kalau ia punya angka dan yakin dengan apa yang diomonginya. Mengapa harus dihajar lagi jalan perjuangannya?
Kita semua sebenarnya sedang menunggu hasil, bukan untuk mencegat hasil itu datang menghampiri kita dan membuat teorema sendiri. Akal pikiran itulah yang sebenarnya harus dihentikan. Prasangka itu, jika diantarkan ke publik, akan besar dampaknya. Dibagi dua, menjadi negatif dan positif.
Saya kira dengan sikap dari kedua kutub, kita tak bisa lagi saling klaim dulu. Biarkan pemilu ini usai, tanpa ada pertentangan sengit yang berujung kesumat dan tingkat emosi yang tinggi.
Saya hanya bisa menyarankan untuk melihatnya dari kejauhan. Menunggu ujung sebuah hasil yang dihitung oleh lembaga negara. Sebab keduanya pasang calon presiden ini sedang bermain opini.
Tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya dulu, meski alur sejarahnya menuntut kita untuk percaya. Kali ini sudah beda. Tesis selalu punya antitesis. Argumen bisa dilawan dengan argumen. Biarlah waktu yang akan menjawab klaim-klaim kita semua.
Menunggu dan melihat dari jauh. Mari!