Lontar.id – Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar diminta untuk lebih profesional dalam membuat regulasi peraturan wali kota. Terutama dalam memahami dan mengimplementasikan hukum sesuai hirarkinya, serta materi muatan jenis peraturan perundang-undangannya.
Pengamat hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Syamsuddin Rajab, mengkritik Peraturan Wali Kota (Perwali) Makassar Nomor 31 tahun 2020 tentang Protokol Kesehatan di Makassar. Ia mengatakan regulasi yang ditandatangani penjabat Wali Kota, Prof Yusran Yusuf itu ngawur.
“Ngawur itu jika Perwali mengatur soal sanksi pidana atau sanksi perdata. Perwali itu lebih bersifat juknis atau pengaturan teknis terkait Covid-19,” jelasnya melalui rilis tertulis, Sabtu, 20 Juni 2020.
Dalam penetapan PSBB, kata dia, yang diutamakan adalah pembinaan dan pengawasan. Bukan sanksi. Sanksi pidana dan perdata, menurutnya diatur dalam perda atau undang-undang sesuai UU No. 12 Tahun 2011 dengan perubahan UU No. 15 Tahun 2019.
Direktur Eksekutif Jenggala Centre ini mengingatkan pemerintah kota Makassar agar lebih profesional dalam membuat regulasi peraturan wali kota. Terutama dalam memahami dan mengimplementasikan hukum sesuai hierarkinya dan soal materi muatan jenis peraturan perundang-undangannya.
Seperti diketahui Perwali Nomor 31 tahun 2020 ini efektif diberlakukan di Makassar mulai Sabtu, 20 Juni hari ini. Perwali itu memuat beberapa sanksi mulai sanksi ringan, sedang, dan berat.
Sanksi berat antara lain pencabutan Kartu Tanda Penduduk dan izin usaha badan bagi yang melanggar perwali ini. Perwali itu juga dalam Pasal 19 tidak menjelaskan apa kewenangan gugus tugas itu tapi diberi wewenang.
PSBB harus merujuk ke Kepres No. 12 tahun 2020 tentang penetapan Covid-19 sebagai Bencana Nasional yang merupakan penerjemahan dari UU No. 24 tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
Demikian halnya keinginan penerapan sanksi 1 tahun penjara dan denda 100 juta yang merujuk kepada UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantianaan Kesehatan tidak tepat karena pemerintah tidak menjadikan UU kekarantiaan kesehatan sebagai alasan utama dalam penetapan PSBB melainkan UU Penaggulangan Kebencanaan.
“Jadi jangan bernafsu menghukum masyarakat sementara penanganan Covid-19 tidak maksimal dan bahkan antar instansi pemerintah saling bertentangan dan berpikir sektoral” tegasnya.
Dia menilai, koordinasi dan penanganan Covid-19 di Sulsel saat ini amburadul, karena kebijakan Pemprov Sulsek tidak sinergi dengan Pemkot dan bahkan saling menyalahkan.
“Ini kacau sekarang, terlalu tergesa-gesa dalam pelonggaran PSBB, ikut-ikutan dan ugal-ugalan, sementara penanganannya belum maksimal,” tambahnya.