Lontar.id– Saya masih mengenali Ibu George, sekira tahun 2017 adalah awal kami bertemu. Pertama kali mengenalnya dalam suatu pertemuan dengan para pengikut ajaran Baha’i di kediamannya, daerah sekitar Pasar Minggu, Jakarta.
Tahun 2017 juga awal mula saya mengenal agama Baha’i’, diperkenalkan oleh mas Lukman, teman sejurusan di kampus, yang sejak SMA telah mengikuti ajaran Baha’i dan keturunan keluarga Ibu George merupakan salah satu aktor dari tersebarnya pertama kali ajaran Baha’i di Indonesia. Darinya, orang-orang dari segala pelosok Indonesia mengenal agama yang terkenal dengan ajaran persatuannya itu.
Dua minggu sebelumnya, Mas Lukman mengabarkan akan ada perayaan 200 tahun Sang Bab, pada tanggal 28/10/2019. “Is, datang ya di perayaan kelahiran 200 tahun sang Bab. Yang tahun 2017 itu perayaan 200 tahun Sang Baha’u’llah. Mereka adalah dua utusan pada zaman ini.”
Sekira pukul 19.00, saya meninggalkan kantor di daerah Tebet menuju tempat berlangsungnya perayaan 200 tahun Sang Bab. Acara telah beberapa menit dimulai saat saya tiba di kediaman Perry Mandeville di PT. Earthline, daerah Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Ibu George menyambut saya dengan senyuman ramahnya. Wajahnya khas India. Cantik dan anggun dengan balutan baju berwarna merah. Saya lalu mengambil tempat duduk dan ikut menonton film Light to The World, Film yang menceritakan kehidupan Sang Bab. Di sekeliling saya, para pengikut agama baha’i juga sedang khidmat menonton.
“Selamat malam! Kami menyampaikan selamat datang dan menyambut Anda dengan suka cita atas nama Komunitas Baha’i Jakarta Selatan dalam acara yang sangat spesial ini. Dua ratus tahun yang lalu, dua Perwujudan Tuhan, Sang Bab dan Baha’u’llah, datang untuk membawa jawaban terhadap tantangan sosial maupun spiritual yang dihadapi umat manusia pada zaman ini. Pesan Mereka membawa cahaya baru pada dunia, dan mengantarkan pada fajar hari baru, suatu hari yang diramalkan oleh semua agama-agama di masa lalu, dan yang akan datang, seiring waktu, beserta dengan upaya-upaya kolektif umat manusia seluruh dunia, menjadikan karakteristik dari didirikannya persatuan umat manusia di planet ini. Malam ini, kita bersama-sama merayakan perayaan Dua Ratus Tahun Kelahiran Sang Bab, yang dilahirkan pada 20 Oktober 1819.” Begitulah pesan-pesan penyambutan dari koordinator acara.
Bagi para pengikutnya, Sang Bab merupakan suatu gelar yang spesial, yang berarti Pintu Gerbang, dan yang membangkitkan misi penting-Nya sebagai pendahulu dari Baha’u’llah. Bersama, mereka merepresentasikan sebagai Perwujudan Kembar dan pembawa ajaran Baha’i.
Acara malam itu diselenggarakan dengan doa-doa, pembacaan tulisan-tulisan suci, mendengarkan sejarah dari Sang Bab, dan musik, serta acara terakhir menyantap makan bersama.
Selepas menonton dan mendengarkan doa-doa yang biasa dilafalkan para pengikut ajaran baha’i. Saya dipersilakan menyantap sajian. Ibu George menghampiri saya. Ia menanyakan kabar dan rupanya ia juga masih mengingat saya setelah pertemuan 2 tahun lalu, kami samasekali tidak pernah lagi bertemu dan berkomunikasi. “Kamu belum makan malam tadi, ada banyak makanan di dapur. Makan dulu ya, sebelum balik,” ucapnya.
Saya juga bertemu dengan Rana dan Ruhi. Rana, seorang perempuan asal Ethiopia yang telah bekerja selama lima tahun di Jakarta. Perempuan berhijab ini mengatakan telah mengikuti agama Baha’i setahun yang lalu.
“Ketika saya membaca Alquran, saya semakin percaya pada apa yang disampaikan sang Baha’u’llah. Kita ini satu, tidak ada agama yang berbeda karena Tuhan tunggal. Dulu, ada Isa, Muhammad, dan pada zaman ini diutus sang Bab. Setiap zaman memiliki utusannya.”
“Jadi, menurutmu tak ada perbedaan. Apa yang kamu rasakan selama setahun mempelajari Baha’i,” tanya saya.
“Saya bertemu dengan mereka (menunjuk para pengikut Baha’i yang sedang mencicipi makanansambil mengobrol hangat) dan lebih bersyukur sebab dalam perbedaan-perbedaan kita melebur. Tidak ada peperangan ,” ungkap Rana dengan bahasa Indonesia yang tak begitu fasih.
“Hehe, maaf Ais, saya lima tahun di Jakarta tapi belum fasih berbahasa Indonesia karena lingkungan kerja dan teman-teman saya kebanyakan berbahasa Inggris.”
Selain Rana, Ruhi juga bercerita tentang apa yang didapatkannya selama mempelajari Baha’i. Laki-laki yang datang dari Iran ini sama dengan Rana, awalnya juga menganut agama Islam. Di Iran Ruhi datang dari keluarga Syiah. Dia juga belajar tentang bagaimana agama seharusnya menyatukan umat manusia.
Siapa itu Sang Bab?
Dalam kepercayaan Baha’i, Sang Bab merupakan utusan Tuhan di zaman ini. Sang Bab dan Baha’u’llah adalah dua Perwujudan Tuhan yang membawa cahaya baru bagi dunia.
Baca Juga: Ajaran Baha’i dan Penyebarannya di Indonesia
“Zaman ini, Tuhan mengutus dua Utusan Tuhan. Makanya disebut Perwujudan Kembar (Sebagai analogi dari dua utusan). sang Bab sebagai pembuka jalan, oleh sebab itu, Sang Bab sebagai Pembuka Jalan, makanya bergelar Bab yang artinya Pintu Gerbang, bagi kedatangan Baha’u’llah,” jelas salah satu pengikut agama Baha’i, Lukman Hanafi.
Sang Bab lahir di Persia. Sejak kecil, ia dikenal sebagai anak yang luar biasa dan guru-gurunya takjub dengannya. Masa kecilnya dipenuhi dengan berdoa dan bermeditasi. Tumbuh dewasa, ia menjadi pedagang yang terkenal adil dan jujur di Persia.
Di Iran, ada seorang pemuda bernama Mulla Husein. Seorang jenius yang mengatakan bahwa sang Utusan telah lahir. Ia lalu mencarinya ke negeri Shiraz. Negeri yang terkenal dengan harum bunga mawarnya. Saat itulah dia bertemu dengan Sang Bab.
Setelah Sang Bab menyampaikan misinya ke Mulla Husayn, perlahan orang-orang mulai mengenalnya. Dan Sang Bab mulai menyebarkannya ke kota-kota. Beberapa menolaknya terutama bagi pemegang kekuasaan otoritas di Perisa. Sang Raja mengutus Vahid. Seorang yang disegani oleh raja dan Masyarakat di Shiraz.
Setelah melakukan penyelidikan, Vahid merasa tak berdaya atas semua kebijaksanaan Sang bab dan memutuskan menyerahkan hidupnya pada sang Bab. Keputusannya diikuti oleh banyak orang.
Pada tahun 1844, Sang Bab menginformasikan kepada dunia akan kedatangan Sang Utusan, Baha’u’llah. Kedatangan Baha’u’llah bagi para pengikut agama Baha’i dipercaya sebagai jawaban dari terpecahnya umat manusia. Perbedaan ras, agama, dan gender mencadi pemicu dari persatuan manusia. Ajaran Baha’i datang untuk menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki posisi yag sama tidak pandang apa agama dan rasnya.
Seiring dengan pengikutnya yang semakin tersebar luas, para pengikut Sang Bab lalu dibunuh oleh penguasa. Dan tahun 1850, melalui perintah Raja, Sang Bab dieksekusi.
Pengorbanan Sang bab membawa para pengikutnya untuk mengetahui kehadiran Baha’u’llah. Oleh sebab itu ia dikenal sebagai “Pintu Gerbang”, pembuka jalan.
Sifat kesatuan yang menjadi ciri khas ajaran yang Mereka (Sang Bab dan Baha’u’llah) sampaikan ini, melalui perintah langsung dari Bahá’u’lláh telah menjamin keberlangsungan Agama-Nya setelah Ia wafat. Garis penerus-Nya, yang dikenal sebagai Perjanjian Bahá’u’lláh terdiri dari Putra-Nya Abdu’l-Bahá, lalu diteruskan kepada cucu ‘Abdul-Bahá yaitu Shoghi Effendi dan terakhir adalah Balai Keadilan Sedunia sesuai dengan mandat dari Bahá’u’lláh. Seorang Bahá’í harus menerima dan mengakui otoritas ilahi dari Sang Báb, Bahá’u’lláh dan para penerus-Nya.
“Apakah setelah kedatangan dua utusan ini, akan hadir utusan lagi?” tanya saya kepada Lukman.
“Tidak ada utusan lagi, hanya dua utusan. Tapi setelah Baha’u’llah wafat, ada penerusny,a yaitu Abdul-Baha, lalu setelahnya dilanjutkan Shoghi Effendi. Setelah itu, tidak ada penerus perorangan, tapi kepemimpinan lembaga, yang berjumlah sembilan orang, yang disebut Universal House of Justice (Balai Keadilan Sedunia) ini yang pusat administrasinya di Tanah Suci. Lokasinya berdekatan dengan makan Sang Bab dan Baha’u’llah,” jelas Lukman.
Tanah suci bagi agama Baha’i berada di Haifa, Israel. Adapun sembilan orang kepemimpinan lembaga dipilih melalui Pemilihan Baha’i selama lima tahun.
Pemilihannya menurut pengikut Baha’i tidak ada proses pencalonan ataupun dicalonkan. Pemilihannya bersifat rohani, yakni orang-orang yang berdedikasi tinggi terhadap kesejahteraan umat.