Lontar.id – Setelah Prof Amien Rais mengancam akan mengerahkan poeple power (31 Maret 2019), jika Pemilu 2019 dilakukan secara curang dan KPU tidak jujur dan adil dalam penyelenggaraannya. Mendadak kata ini menjadi sangat menakutkan, dilarang diucapkan, seolah mengancam keamanan nasional dan sebuah kekuatan yang kehendak mengambil alih kekuasaan.
Akibatnya, seorang dosen di Bandung diciduk di rumahnya karena mengunggah soal ‘poeple power’; Egy Sudjana ditetapkan tersangka karena menyerukan ‘poeple power’; Lieus Sungkharisma dilaporkan dengan tuduhan yang sama; begitu juga dengan Kivlan Zen; dan mungkin akan banyak yang menyusul kemudian.
Mereka dituduh dengan pasal “makar”, sebuah tuduhan yang tidak main-main. Makar dalam KBBI artinya perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah. Tuduhan itu jelas tertera dalam laporan Nomor LP/B/0442/V/2019/Bareskrim, UU No.1 1946 tentang KUHP; Nomor LP/B/0391/IV/2019/Bareskrim—karena mereka menyerukan ‘poeple power’.
Kapolri Tito Karnavian dalam Raker bersama DPD RI, di Senayan, mengingatkan bahwa menyampaikan pendapat walaupun dilindungi UU No. 9 Tahun 1998 tetapi menurutnya tidak absolut dan terdapat batas-batas kewajaran, batas itu ia sebut sebagai 4 limitasi: Tidak mengganggu ketertiban publik, tidak mengganggu hak asasi, etika dan moral, serta tidak mengancam keamanan nasional.
Warning Tito seolah menegaskan, bagi siapa yang berupaya dan berkehendak melakukan “makar” akan diancam pidana. Di samping itu, Menkopolhukam telah resmi membentuk Tim Asistensi Hukum, mereka ditugaskan menelaah, menilai, sekaligus mengevaluasi aksi-aksi yang (dinilai) meresahkan masyarakat. Tim ini berjunlah 24 Anggota, berisi pakar hukum, akademisi, dan aparat pemerintah.
Wiranto menjelaskan, tim ini akan menilai ucapan-ucapan (tokoh) di publik yang dianggap meresahkan pasca Pemilu 2019, termasuk mengawasi aktifitas masyarakat soal ‘poeple power’. Belakangan, muncul apa yang disebut ‘poeple fight’ yang disebut oleh Inas Nasrullah Zubir, Anggota Penugasan Khusu TKN Jokowi-Ma’ruf, sebagai perlawanan rakyat (anti tesa) terhadap ‘poeple power’.
Istilah ‘people power’ dimaksudkan sebagai kekuatan massa rakyat yang hendak ingin melakukan perubahan sosial politik, terhadap penguasa dan pemerintah yang zalim dan otoriter. Konsepsi ini bukanlah sesuatu hal yang baru dalam diskursus politik baik di tanah air maupun dalam dunia internasional.
People power pertama kali terjadi di Filipina pada tahun 1986. Gerakan ini mengacu pada revolusi sosial damai sebagai akibat dari protes rakyat Filipina melawan Presiden Ferdinand Marcos yang telah berkuasa selama 20 tahun. Protes itu berawal saat Corazon Aquino, istri pemimpin oposisi Benigno Aquino, Jr, meluncurkan kampanye anti kekerasan untuk menggulingkan Marcos.
Mengutip dari Amazine (25/4/2019), Aquino melancarkan protes sebagai konsekuensi dari deklarasi kemenangan Marcos pada pemilihan presiden tahun 1986. Selain itu, selama dua dekade masa pemerintahannya, kronisme dan korupsi meluas. Miliaran uang negara disedot ke rekening pribadi Marcos di Swiss. Pada 1986, Marcos kembali terpilih menjadi Presiden Filipina. Namun pemilu yang diduga dipenuhi kecurangan, intimidasi dan kekerasan ini menjadi titik klimaks bagi dirinya.
Dari kasus ini ‘people power’ dikenang sebagai perlawanan damai yang ditandai dengan demonstrasi jalanan setiap hari yang terutama diadakan di Epifanio de los Santos Avenue (EDSA). Peristiwa ini juga dianggap sebagai momen yang melahirkan kembali demokrasi di Filipina. Sebagian orang juga percaya bahwa beberapa demonstrasi di negara lain yang juga sukses (termasuk Indonesia) mengacu pada revolusi people power di Filipina.
Di masa lalu, dapat kita saksiskan beberapa penguasa-penguasa yang tumbang karena kekuatan massa rakyat, di antaranya adalah: Presiden Indonesia ke-2 Jendral Soeharto, berkuasa selama 32 tahun, sejak 1966-1998, dan tumbang akibat kekuatan massa rakyat yang marah dalam gelombang gerakan Reformasi Mei 1998.
Presiden Mesir Hosni Mubarak, yang berkuasa tiga dekade sejak 1981-2011. Pada 11 Februari 2011 menyatakan mundur sebagai presiden akibat desakan kekuatan massa rakyat Mesir yang turun ke jalan secara besar-besaran selama 18 hari di awal 2011 yang menewaskan 850 orang demonstran.
Presiden Kuba Fulgencio Batista, memerintah Kuba selama 20 tahun yang dikenal sebagai pemimpin diktator sejak 1933. Pada 1944, masa jabatannya berakhir dan Batista pun meninggalkan Kuba. Namun, 8 tahun kemudian, Batista melancarkan aksi kudeta dan berhasil memimpin kembali Kuba. Selain otoriter, selama memerintah Batista juga memperkaya dirinya sendiri. Batista berhasil dilengserkan pada 1959, melalui Revolusi Kuba yang dipimpin oleh Fidel Castro.
Presiden Uganda Idi Amin, memerintah Uganda selama 8 tahun, dari 1971 hingga 1979. Selama pemerintahannya, Idi Amin mengusir ribuan orang India berkewarganegaraan Inggris dari Uganda. Dia juga diduga melakukan banyak pembunuhan pada lawan-lawannya. Di masa Idi Amin pula ekonomi Uganda morat-marit. Akhirnya pejuang Uganda yang dibantu tentara Tanzania berhasil menggulingkan Idi Amin. Dia kemudian lari ke Libya dan meninggal di Arab Saudi pada 2003.
Slobodan Milosevic, diingat karena kejahatan perang Serbia-Bosnia. Dalam perang 1992-1995 itu, Milosevic dan pasukan Serbia membantai ribuan penduduk Muslim Bosnia. Dia kemudian diadili sebagai penjahat perang. Dia meninggal dalam selnya tahun 2006. Sementara pengadilan internasional masih mencari sisa pengikut Milosevic yang terlibat aksi genosida pada perang Bosnia.
Presiden Rumania Nicolae Ceausescu, memerintah Rumania selama 24 tahun (1967-1989). Di era kepemimpinannya, Rumania menjadi satu-satunya negara di Eropa yang mengalami kelaparan dan kekurangan gizi. Setelah tumbang karena gerakan massa rakyat, Ceausescu akhirnya divonis bersalah atas kejahatan genosida dan dihukum mati.
Presiden Haiti Jean-Claude Duvalier, sering dipanggil ‘Baby Doc’. Pada 1971, Duvalier baru berusia 19 tahun saat menggantikan ayahnya sebagai presiden Haiti. Dia segera menjadi otoriter dan mengakibatkan kelaparan dan resesi ekonomi di Haiti. Tahun 1986, karena terdesak keadaan dan gerakan massa rakyat, Duvalier melarikan diri ke Prancis.
Dengan demikian, ‘people power’ merupakan gelombang kekuatan rakyat yang “marah” terhadap perilaku penguasa, kebijakan pemerintah, dan tindakan negara yang mengekang, mengintimidasi, meneror, otoriter, totalitarian, dan berkuasa absolud terhadap rakyatnya sendiri. Sehingga melalui gerakan massa, rakyat menunjukkan kekuatannya untuk melakukan perubahan sosial yang menyeluruh.
Pada negara modern, kekuatan rakyat sangat diperlukan, bentuk kekuatan yang rakyat yang terorganisir dengan baik itu ada dalam apa yang disebut dengan civil society. Dengan kekuatan civil society, kekuasaan dapat dikontrol, diawasi dan imbangi. Keseimbangan kekuasaan antara negara (penguasa) dengan civil society (/people power) ini akan membentuk negara dan pemerintahan yang baik (good governance), pemerintahan yang bersih (clean government), pemerintahan yang professional (professionalism of apparaturs), pemerintahan yang adil dan bertanggungjawab (justice in government), penegakkan hukum yang baik (role of law), dan pemerintahan yang terbuka dan transparan (open government).
Keadaan ini merupakan suatu tujuan birokratis negara yang tertinggi, dan suatu cita-cita luhur dalam proses demokrasi. Dalam tubuh demokrasi yang sehat, tumbuh kekuatan rakyat yang kuat; demokrasi yang sehat merupakan suplemen civil society, dan rakyat yang kuat merupakan vitamin demokrasi. Sebaliknya, dalam tubuh demokrasi yang buruk, tumbuh kekuatan rakyat yang kurus, karena keduanya saling menerkam dan mencakar.
Penulis : Al Farisi Thalib, Direktur Eksekutif Indonesia Political Studies