SLEMAN, Lontar.id – Hawa panas memancar dari tungku berukuran sekitar 2,5 x 2,5 meter, dengan tinggi sekitar 4 meter. Aroma khas kayu yang terbakar menyeruak memasuki rongga penciuman, berpadu dengan asap tipis dari pembakaran.
Tungku itu merupakan tempat pembakaran genteng tanah liat. Beberapa puluh sentimeter dari tungku, seorang pria berusia sekitar 60 tahun dengan telaten menjaga agar api kayu bakar terus menyala.
Jemari keriput Hartono, pria tua, masih terlihat kekar. Dia menggenggam kayu-kayu yang akan ditambahkan ke dalam api. Kulitnya yang berwarna gelap, tampak mengilat terpapar sinar matahari sore.
Sesekali Hartono menghisap rokok kreteknya dalam-dalam, sambil terus memerhatikan nyala api dalam tungku.
Perajin genteng dari tanah liat, masih tetap menggeliat, meski saat ini banyak rumah yang sudah tidak menggunakan genteng tanah liat, dan menggantinya dengan genteng seng. Pertimbangannya karena harga yang lebih murah dan lebih ringan.
Proses pembakaran genteng tersebut menurut dia, bisa berlangsung hingga 12 jam. Satu kali membakar genteng, dibutuhkan sekitar 5 mobil pikap kayu bakar.
“Sekali membakar membutuhkan lima mobil kayu. Nilainya sekitar Rp4 juta untuk satu kali bakar,” jelasnya menggunakan bahasa Jawa halus, saat ditemui di rumahnya, beberapa waktu lalu.
Kampung itu, Sido Agung, Godean, Kabupaten Sleman, merupakan sentra perajin genteng dari tanah liat. Terdapat puluhan, bahkan ratusan perajin genteng di situ. Tapi sore itu, hanya Hartono yang terlihat sedang membakar genteng.
Meski sibuk dengan kegiatannya membakar genteng yang sudah dijemur, Hartono masih berkenan menjelaskan sekaligus mempraktekkan proses pembuatan genteng. Mulai dari pressing atau pencetakan tanah liat, hingga proses akhir, yakni pembakaran.
Kata Hartono, biasanya proses pembuatan genteng dilakukan pada pagi hari. Saat sore hari, para pekerja sudah pulang ke rumah masing-masing.
“Sebetulnya kalau mau lihat prosesnya, harus datang pagi-pagi, sekitar jam sembilan. Kalau sore begini, karyawan sudah pada pulang,” ucapnya, masih dengan bahasa Jawa, sambil berjalan ke bagian dalam halaman rumahnya.
Hartono lalu mengambil satu bagian tanah liat yang sudah berbentuk kotak. Ukurannya sebesar batu bata atau batu merah. Kemudian tanah liat berbentuk kotak itu dipukul dengan besi pipih, agar bentuknya menjadi gepeng.
Setelah pipih, tanah liat itu diolesi dengan minyak, agar lebih mudah dibentuk. Kemudian, tanah liat berminyak itu diletakkan dalam mesin press.
Hanya beberapa detik kemudian, tangan kekarnya sudah memutar mesin press searah jarum jam. Kemudian dia memutar handel putaran mesin press dengan arah berlawanan.
Jemari keriputnya lincah memutar alat press berulang kali, dengan tujuan agar bentuk genteng buatannya menjadi lebih sempurna. “Harus diulang beberapa kali, supaya lebih padat dan hasilnya bagus,” tuturnya.
Setelah pencetakan menggunakan alat press dirasa cukup, dengan sangat hati-hati Hartono mengambil genteng yang masih basah, dan diletakkan pada rak di dalam gubuk.
Genteng basah itu dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Waktu yang dibutuhkan agar genteng menjadi setengah kering sekitar tiga hingga lima hari.
Setelah setengah kering, barulah genteng dijemur di ruang terbuka atau di bawah terik matahari. Penjemuran di bawah terik matahari membutuhkan waktu dua hingga tujuh hari, tergantung cuaca.
“Proses penjemurannya cukup lama. Kalau cuaca panas bisa dua hari. Tapi kalau mendung atau hujan, bisa sampai satu minggu.”
Setelah genteng-genteng kering, proses selanjutnya adalah pembakaran dalam tungku, yang sekaligus merupakan bagian terakhir proses pembuatan.
Sambil menunjukkan lokasi penjemuran, Hartono menjelaskan, dalam sehari pabriknya mampu mencetak sekitar 300 unit genteng. Tapi, itu hanya untuk proses pencetakan saja.
Genteng-genteng yang dicetak, baru bisa dibakar setelah melewati proses pengeringan, atau sekitar lima hingga delapan hari ke depan. Untuk menghemat biaya produksi, dalam proses pembakaran, Hartono akan mengumpulkan genteng hingga 900 keping. Karena tungku pembakarannya berkapasitas 900 keping genteng.
Jika dia membakar genteng kurang dari 900 keping, biaya produksi yang dibutuhkan akan sama dengan membakar 900 keping, yakni untuk biaya pembelian kayu bakar sebesar Rp4 juta.
Keuntungan dari 900 keping kata dia hanya sekitar Rp1,5 juta. Itu setelah dipotong biaya produksi, termasuk pembelian kayu bakar. “Satu kali bakar itu 900 genteng. Dari biaya kayu seharga Rp4 juta, keuntungannya sekitar Rp1,5 juta,” kata dia sambil memasukkan kayu bakar ke dalam tungku.
Pemasaran
Genteng buatan Hartono bukan hanya dipasarkan di sekitar Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) saja. Menurutnya, genteng buatannya sudah dikirim hingga ke Karawang, Jawa Barat.
Hartono mematok harga Rp11.000 untuk tiap keping genteng. Kata dia, itu disesuaikan dengan waktu atau proses pengerjaan dan biaya produksi yang harus dikeluarkan.
Tapi Hartono tidak menjelaskan, apakah harga Rp11.000 tersebut sudah termasuk ongkos pengiriman atau belum.
“Ini sebetulnya kerjaan sabar mas. Proses pengerjaannya lama, dan biaya produksi juga lumayan besar,” imbuhnya.
Matahari sore semakin condong ke barat. Cahayanya perlahan meredup. Namun cahaya api dalam tungku pembakaran genteng milik Hartono tak turut redup. Seperti asanya, yang terus terjaga meski genteng berbahan alumunium dan seng perlahan menjadi raja.
Editor: Ais Al-Jum’ah