Lontar.id – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Sukamta, mengkritisi program Kartu Prakerja yang merupakan salah satu program unggulan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin, saat kampanye Pilpres 2019 lalu.
Pemerintah siap menggelontorkan anggaran sebesar Rp5,6 triliun untuk program Kartu Prakerja. Saat ini, program tersebut juga dianggap sebagai salah satu solusi mengurangi himpitan perekonomian dan ketegangan sosial akibat pandemi Covid-19.
Namun, Sukamta menilai program itu menuai berbagai masalah. Sebab, menurutnya tidak semua anggaran melalui kartu prakerja diterima langsung oleh masyarakat. Seperti alokasi Rp1 juta untuk digunakan biaya pelatihan digital.
“Sangat disayangkan, ternyata sekarang ini seperti ada pembelokan sehingga tidak semua uang dibagi kepada rakyat pencari kerja, tetapi Rp1 juta ditahan dan langsung dialokasikan untuk pelatihan digital. Konsep seperti ini terlihat tidak sensitif terhadap kesulitan rakyat di tengah pandemi covid-19,” kata Sukamta Wakil Ketua Fraksi PKS, melalui keterangan tertulis, Senin, 20 April 2020.
Sukamta berpendapat, biaya sebesar Rp1 juta tersebut bukanlah anggaran untuk pelatihan, karena penerima kartu prakerja tinggal mendownlod bahan yang sudah disediakan melalui aplikasi. Apalagi bahan dan materi yang bakal di download, menurutnya sudah banyak tersedia di internet secara gratis.
Ia menyayangkan pemerintah yang dinilainya setengah hati memberi bantuan pada warganya sendiri, karena mereka masih menanggung biaya pelatihan. Sementara warga ditengah perang melawan Covid-19, sangat membutuhkan bantuan dari pemerintah.
“Harga bahan sampai Rp1 juta per orang. Kalau diakses 3,5 juta orang kan sudah Rp3,5 trilliun harga mendownload materi itu. Kalau modal materi dan pelaksanaannya, proyek ini paling besar bernilai beberapa ratus milyar saja, tidak sampai 5,6 Triliun,” lanjutnya.
Kata dia, biaya pelatihan sebesar Rp1 juta per orang dinilai terlalu besar. Terlebih lagi, tidak ada jaminan bahwa peserta pelatihan bisa langsung mendapatkan pekerjaan.
“Jadi, konsep kebijakannya tidak memberi solusi bagi masalah yang disasarnya, yaitu soal pengangguran. Kalau akan dibuat pelatihan kerja, berikanlah keterampilan yang bisa diterapkan sesuai kebutuhan kerja dan secara keuangan yang rasional, sehingga bisa melibatkan lebih banyak orang atau sisa uangnya bisa dialokasikan untuk yang lainnya,” terangnya.
Pelatihan daring untuk penerima kartu prakerja tersebut, ditudingnya hanya menguntungkan pihak vendor perusahaan digital. Kesan itu muncul karena besarnya biaya pelatihan yang harus ditanggung.
“Ada kesan kuat di masyarakat bahwa ini seperti bagi-bagi uang kepada vendor perusahaan digital yang sebenarnya juga sudah untung dengan peningkatan penggunaan aplikasi mereka sebagai dampak kebijakan semua serba dilakukan dari rumah melalui rasana daring,” imbuhnya.
Editor: Kurniawan