Lontar.id – Saya meyakini Aparat Sipil Negara alias ASN adalah orang-orang terpilih. Mereka bukan orang sembarangan. Mereka sampai pada status tersebut setelah melalui serangkaian perjalanan panjang. Ada yang harus menempuh studi sampai jenjang sarjana, master, dan doktor.
Mereka berjibaku bersaing dengan puluhan atau ratusan ribu pendaftar. Sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil), mereka adalah pekerja yang bertanggung jawab memastikan tugas-tugas pemerintahan berjalan baik.
Dalam stratifikasi sosial, mereka adalah orang berstatus sosial tinggi dan elite. Di kampung saya, PNS adalah orang-orang yang dianggap berwawasan luas dan bijak. Mereka adalah orang-orang berilmu yang mencerahkan dan mencerdaskan. Mereka adalah orang-orang yang netral. Seharusnya begitu. Tidak menghasut, mencaci maki, dan menghujat. Setidaknya mereka tidak mempertontonkan sikap-sikap tidak etis tersebut di sosial media.
219 PNS diberhentikan sementara selama Pilkada 2018. Sementara mereka yang diberi surat teguran pertama dan kedua, mencapai satu juta lebih orang. Yang tidak atau belum terkena sanksi, tentu jauh lebih banyak lagi.
Kita bisa menemuinya dengan mudah di sosial media. Alih-alih netral dan memberikan berita-berita mencerahkan, mereka malah mengeruhkan demokrasi yang memang sudah keruh.
Di lini masa sosial media, sering saya menjumpai pegawai negeri sipil yang marah-marah. Mereka memaki dan menghujat kepada calon presiden tertentu.
Lini masanya dipenuhi berita-berita hoaks. Berita-berita dari sumber abal-abal antah berantah. Juga cuplikan layar dan meme. Berita-berita yang jelas jauh dari keakuratan informasi. Disebarkan dengan emosi meledak-ledak dan diiringi provokasi. Mungkin nanti ikut-ikutan mengancam Tuhan.
Sebagai orang-orang terpilih, mereka seharusnya tahu aturan-aturan yang harus mereka taati. Ketika mereka ikut prajabatan, tentu mereka mendapat serangkaian kode etik yang mengikatnya. Ya, kecuali kalau mereka tertidur saat pembekalan.
Apalagi Bima Haria Wibisana -Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN)- telah mengingatkan kepada seluruh PNS. Aturan undang-undangnya pun jelas. Asas netralitas diatur dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Apa isinya? Silakan googling kalau belum tahu.
Menjelang Pilpres, larangan dalam UU tersebut juga meliputi larangan terlibat dalam kampanye calon presiden dan wakil presiden. Pemberian dukungan termasuk langsung dan tidak langsung. Larangan tersebut berlaku juga terutama di sosial media: Twitter, Facebook, WhatsApp, BBM, Line, SMS, lnstagram, Blog, dan sejenisnya.
Tentu larangan tersebut bukan hanya larangan mendukung dan mengkampanyekan Prabowo Subianto, tetapi juga berlaku pada petahana Jokowi, bos mereka sendiri. Kalau larangan mendukung secara terbuka saja dilarang, apalagi menyebarkan hoaks dan berita-berita menyesatkan dengan tujuan mendukung salah satu calon presiden dan wakil presiden.
Lagipula mereka hanya diminta netral untuk tidak melibatkan diri. Mereka tetap memiliki hak pilih yang diatur dalam undang-undang. Hak konstitusional.
Silakan mengajak keluarga secara bijak, tanpa harus ikut memperkeruh suasana. Cukup dalam hati dan keluargamu, misalnya, tanpa perlu menghasut orang lain, kalau memang tidak bisa meluruskan dan mencerahkan.
Saya yakin seyakin-yakinnya, tidak ada bagian pekerjaan ASN yang bertugas menyebarkan berita hoaks, memprovokasi, apalagi menghujat di sosial media. Bahkan bagian humas pun, tidak ada tugas seperti ini.
Saya yakin mereka digaji negara–dari pajak rakyat-bukan untuk tugas seperti itu. Semata-mata agar mereka melayani publik. Yang melayani tanpa pilih-pilih. Kalau yang datang orang berada, pelayanannya cepat. Dan kalau orang-orang jelata pelayanannya ogah-ogahan sambil menganut prinsip ‘kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah?’
Lagipula kenapa sih banyak oknum PNS suka menyebarkan kabar bohong dan provokatif di sosial media? Mungkin gaji mereka kurang? Atau mungkin mereka tidak lagi ‘bermain’ seperti tahun-tahun sebelumnya.
Mereka yang tidak bisa lagi main titip-titip amplop. Atau bisa jadi mereka ini kejar jabatan dan promosi. Ya, agar ketika calonnya terpilih pangkat dan golongannya dinaikkan, gajinya menyusul ditambahkan. Kenapa mereka tidak sungguh-sungguh bekerja dan melaksanakan tugas dan wewenangnya sebaik-baiknya. Agar mereka menjadi PNS berprestasi lalu diganjar dengan kenaikan jabatan. Keren kan kalau begini.
Justru tidak lucu, kalaupun nantinya naik pangkat dan golongan, tetapi karena prestasi sebar berita hoaks, sumbernya abal-abal, dan juara menghujat mencaci maki.
Lagipula cara seperti ini justru akan membuat iri pegawai-pegawai lain yang masih menjaga asas netralitas. Lama-lama dia akan dicarikan cara agar dijatuhkan juga.
Bukankah cara-cara tidak baik juga akan mendapat balasannya kelak. Ini kalau misalnya jagoannya menang. Nah kalau kalah bagaimana? Bisa celaka.
Postingan dan sebarannya tentu sudah ditandai oleh teman-temannya yang lain. Bisa jadi sudah ada yang mengintai sejak awal dengan mencuplik postingannya dan sewaktu-waktu jadi bahan menjatuhkannya.
Syukur-syukur kalau mereka tidak tertangkap Bawaslu. Bisa jadi mereka mendapat surat cinta berupa surat teguran pertama dan kedua, dan upsss, siapa tahu surat pemecatan. Semoga.
Bukankah sayang kalau hanya karena tidak bisa menahan jari-jari tangannya lantas pekerjaan yang diraihnya dengan susah payah terlepas begitu saja. Diberhentikan. Dipecat secara tidak hormat lagi.
Pikir-pikirkanlah saat masih berjuang memperebutkan jatah yang tidak semua orang beruntung mendapatnya. Masa sih, kalau bisa menahan sabar berjuang lalu melewati berbagai tes, lalu tidak bisa menahan diri di sosial media.
Tapi tidak tahu sih, kalau mereka meraihnya dengan sogokan atau karena titipannya si anu. Atau kalau memang tidak bisa lagi menjaga asas netralitas, silakan mengundurkan diri. Sebelum dilaporkan dan berakhir dengan pemecatan. Yang berarti bisa jadi merugikan keluargamu dan mempermalukan dirimu sendiri (terutama kalau jagoannya kalah).
Jangan khawatir jika mengundurkan diri. Di luar sana, masih banyak putra putri terbaik bangsa yang jauh lebih baik dan lebih bisa menahan diri daripada dirimu. Lagipula dengan begitu mereka bisa lebih berfokus mengampanyekan calonnya secara kaffah. Dan semoga menang. Kalau kalah?
Penulis: Arief Balla
(Saat ini sedang menempuh studi master double major pada TESOL dan Linguistics di Southern Illinois University Carbondale, Illinois, USA melalui beasiswa Fulbright).