Kini, klaim kesehatan mendorong kita agar tetap menekuni pola hidup sehat dengan sarapan. Hal itu dituangkan melalui kampanye oleh beragam produsen makanan instan yang menampilkan produknya sebagai menu sarapan sehat. Misalnya, kampanye salah satu produk minuman bersereal yang kita kenal dengan gerakannya, “Gerakan Nasional Sarapan Sebelum Jam 9”.
“Sarapan sehat sebagai salah satu dimensi gizi seimbang dalam rangka turut mewujudkan generasi sehat berprestasi…”. Kalimat itu yang seringkali didengungkan oleh klaim-klaim kesehatan pada beberapa Gerakan Sarapan Nasional.
Gerakan Sarapan Nasioanal yang dilakukan industri makanan biasanya mengundang artis-artis untuk menarik masyarakat ikut dalam aksi Gerakan Sarapan Nasional yang biasanya dikemas dengan jalan santai dan sarapan bersma.
Selain itu, salah satu restoran cepat saji dengan menu ala Barat juga mulai mencanangkan program sarapan sehat. “Sarapan, Awal Baik untuk Memulai Hari”. Begitu judul besar pada beberapa iklan yang dipasang di salah satu koran nasional.
Restoran cepat saji ini menawarkan beragam pilihan menu yang ekonomis, praktis serta tanpa melalui proses pemesanan yang ruwet. Prosedur pemesanan yang bisa dilakukan di mana saja, baik itu dengan mendatangi gerai, melalui telepon, atau online.
Sarapan kini bisa dilakukan di mana saja, di dalam mobil, di atas motor, bus, maupun di jalan. Kita tidak perlu direpotkan oleh beragam peristiwa untuk memulai sarapan.
Segala kemudahan dirapalkan bagi siapa saja yang sibuk namun tetap harus mengikuti aturan pola sehat oleh iklan. Padahal, Michael Pollan dalam bukunya yang berjudul Food Rules (2009) menyinggung dengan sangat keras melalui kata-katanya.
“Bukanlah makanan jika itu berasal dari jendela mobil anda” dan “Jangan menelan makanan yang dibuat di tempat-tempat semua orang harus memakai topi bedah”.
Michael Pollan secara tersirat ingin meyampaikan jika makanan yang bersumber dari industri makanan sebenarnya bukanlah makanan yang sesungguhnya. Itu karena makanan-makanan tersebut berasal dari mesin bukan dari alam.
Polarisasi Menu Sarapan
Dalam buku Rijstafel (2011) karya Fadly Rahman digambarkan bahwa selain Cina, Barat juga memberikan kontribusi yang cukup besar dalam membentuk wajah kuliner Indonesia.
“Hal itu tidak bisa dilepaskan dari jejak kolonialisme bangsa Eropa di Indonesia sejak abad ke-16 hingga paruh utama abad ke-20. Riwayat politik sosial, dan ekonomi. Kolonial memang telah lama berakhir tapi tidak demikian dengan nilai-nilai budayanya. Bagian ini sulit dihapuskan karena sudah menyatu menjadi kebiasaan kolektif masyarakat, sebagaimana tampak dalam wajah kuliner Indonesia. Sebagai contoh, gaya prasmanan sebagai gaya penyajian makanan yang sangat lumrah bagi masyarakat Indonesia saat ini. Sebenarnya merupakan gaya Eropa yang menggantikan kebiasaan makan pribumi yang duduk berlesehan di lantai.”
Gesekan tersebut membuat kita meninggalkan ritual makan bersama keluarga dengan sejumput kebiasaan-kebiasaan masyarakat Nusantara. Ritual makan masyarakat Nusantara banyak dibumbui oleh ritus dan kebiasaan yang beradat.
Sudah berabad lamanya, makan menempati tingkat spiritual yang tinggi. Tidak hanya sebagai pemenuhan kebutuhan pangan, makanan adalah produk semesta yang berasal dari tanah. Tanah yang menyerap saripati kehidupan makhluk hidup.
Selain itu, menu sarapan yang kita imani sekarang pun telah terpolarisasi oleh iklan maupun klaim kesehatan. Kita akan dihadapkan pada dua menu besar: makanan berat dan makanan ringan. Makanan ringan, misalnya dengan roti, susu, dan sereal, sedangkan makanan berat dengan nasi goreng atau bubur.
Seberapa pentingkah menu sarapan kita? Saat ini, kita tentu lebih memercayai apa yang digaungkan oleh dokter ataupun klaim kesehatan. Sebab kita lebih membutuhkan gizi, bukan makanan. Dulu, nenek moyang kita belum mengenal dokter, televisi, dan klaim kesehatan yang menyerukan keseimbangan gizi.
Ada pepatah Cina yang memberikan kita kebijaksanaan tentang makanan. “Memakan yang berdiri dengan satu kaki (jamur dan tumbuh-tumbuhan) lebih baik daripada memakan yang berdiri di atas dua kaki (unggas), yang juga lebih baik daripada memakan yang berdiri dengan empat kaki (sapi, babi, kambing, dan mamalia lain)”. Jika itu di Nusantara, maka pepatah tersebut bisa dilengkapi dengan, “dan yang lebih baik dari satu kaki adalah memakan yang tanpa kaki (ikan)”.