Lontar.id – Tak bisa disangkal, pemilu merupakan ajang kompetisi para politikus, mendapatkan suara dari pemilih (voters) pada kontestasi politik atau yang kerap akrab ditelinga sebagai pesta rakyat. Beragam strategi dan taktik dipasang, beradu kuat mana yang lebih pantas dipilih sebagai corong masyarakat. Masyarakat dilibatkan dalam beragam kegiatan kampanye, diskusi, seminar maupun kunjungan silahturahmi, demi menggaet suara.
Calon presiden, DPR maupun DPD menggunakan medium kampanye, menyampaikan orasi politik. Di atas panggung sana, mereka akan beradu visi misi dan program yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan pemilihnya. Kampanye seperti ini, memang sudah jadi hal lumrah dilakukan, bahkan sudah di anggap kuno sebab seumur dengan pemilu pertama kali digelar pada 1955 lalu.
Kompetisi politik seperti ini, menurut pribadi saya, meski terlihat kuno. Masyarakat dapat mengetahui siapa figur, program apa yang ditawarkan hingga kendaraan partai politik apa yang mengusungnya. Masyarakat sebagai pemilih akan dengan mudah menentukan pilihanya di bilik suara nanti.
Namun bagaimana jika pagelaran politik kita saat ini dilakukan tanpa mengindahkan etika dan integritas pemilu berdasarkan prinsip LUBER dan JURDIL (langsung, umum, bebas, jujur, rahasia dan adil)? Lantaran menjamurnya politik uang (money politik), mahar politik sampai mengarah pada istilah serangan fajar, sesaat sebelum pemilih mendatangi tempat Pemungutan Suara (TPS).
Politik uang dan serangan fajar, ibarat virus yang sangat mematikan, paling tidak mematikan tumbuh suburnya iklim demokrasi. Menyerang setiap sendi kehidupan, sebab politik itu menyangkut semua permasalahan masyarakat. Uang memang jadi juara dalam pesta demokrasi, tanpa uang mesin partai tidak dapat bekerja maksimal memobilisasi massa, menggerakan relawan, mencetak baliho dan membeli kendaraan partai politik. Uang memang bukan segalanya, tapi semua butuh uang bukan?
Dengan uang politisi yang tidak berintegritas, akan melego suara masyarakat dengan uang. Kandidat yang memiliki modal besar, memang paling berpotensi menggunakan cara ini, sebab dengan uang dirinya tak perlu harus repot-repot aktif turun ke masyarakat. Mendatangi satu persatu rumah mereka, mengetuk pintu hati masyarakat dan mengajak agar memilih dirinya. Namun karena yang berkuasa adalah uang, maka tingkat keterpilihannya cukup besar.
Saya percaya, politik uang dan serangan fajar sudah tidak asing lagi di telinga kita semua. Ia tetap ada selama nafsu kekuasaan jadi tujuan utama dan masyarakat secara sukarela menerimanya. Politik uang ibarat kentut, ia tidak terlihat tapi baunya menyebar kemana-mana. Memang tidak bisa disangkal, politik uang ini tidak akan tumbuh subur selama masyarakat tidak mau menggadaikan suaranya demi materi, baik berupa uang, sembako (bahan pokok) atau paket lainnya.
Jadi, ada semacam hubungan yang saling bergantungan satu sama lain (simbiosis mutualisme), kandidat memberi uang demi mendapat suara, pemilih menerima uangnya dengan catatan memilihnya pada pemilu. Kalau dalam istilah tokoh kawakan dari Italia, Niccolò Machiavelli mengatakan “menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan”. Potret politik kita tidak jauh dari apa yang dikatakan Niccolò Machiavelli, menggunakan banyak macam cara demi kepentingan mendapatkan jabatan. Atau dalam istilah Jokowi “politik sontoloyo”.
Masyarakat yang sudah direcoki dengan politik uang, juga dapat berimbas pada biaya politik mahal, karena seorang yang ingin maju di kursi kekuasaan, paling tidak harus menyediakan modal yang cukup besar, membiayai praktik politik keseharian.
Saya sangat percaya sekali, presiden maupun anggota legislatif yang menang menggunakan cara ini, menghabiskan banyak uang. Tentu pada saat menjabat nanti, ia akan berusaha mencari cara untuk mengembalikan modal politik yang dihabiskan pada masa pemilu. Maka praktik korupsi meraja lela, dengan sunat anggaran, lelang jabatan, tender proyek hingga bagi-bagi fee kerap dilakukan.
Sudah banyak kita saksikan di media sosial dan televisi, para anggota DPR dipergoki lembaga anti rasuah KPK, menangkap pelaku korupsi. Sebagian besar mereka dari legislatif dan kepala daerah, tergiur dengan uang banyak dan mengembalikan modal, akhirnya melakukan korupsi. Mata rantai korupsi tidak mungkin di amputasi, jika politik uang merajai kontestasi politik kita hari ini.
Pada suatu pagi pekan lalu, istri saya menelepon. Ia meminta pada saya, nanti pada saat hari pencoblosan, caleg dan calon presiden mana yang akan di pilih. Sayapun menjawab, terserah mau memilih siapa saja, sesuka hati berdasarkan hati nurani. Sebab memilih mereka haruslah dari orang yang kita tahu jejak rekamnya seperti apa dan apa yang akan dia lakukan setelah terpilih, itu yang terpenting.
Tak puas mendapatkan jawaban dari saya, istri saya akhirnya berkesimpulan. Dia akan memilih caleg atau capres yang akan memberikan uang atau menunggu datang tim relawan membagi uang pada saat pagi hari “serangan fajar”.
Terserah, mau dikasih berapa yang penting isi dompet terisi dan hak suaranya tersalurkan pada orang yang mau kasih uang. Memang potret pemilih seperti ini, tidaklah sedikit. Apalagi pemilih di daerah kebanyakan tidak mengenal siapa calon wakil mereka terutama pendatang baru, apalagi mereka tidak terlalu familiar. Namanya baru dikenal setelah iklim pemilu diselenggarakan, berjejer di sepanjang jalan.