Jakarta, Lontar.id – Saya pernah diberitahu kalau ada penelitian, jika pemilih di kota itu mayoritas realistis, sementara di desa adalah mayoritas ideologis. Teman saya ini adalah orang partai.
Realistis di sini maksudnya adalah, mereka memilih lantaran uang dan menguntungkan dirinya. Sementara ideologis adalah, mereka mementingkan bagaimana ide gerakan politik dari seorang politisi.
Tidak ada yang salah. Yang salah cuman saling menyalahkan di antara mereka berdua. Masing-masing punya kebutuhan. Jika berbicara soal moral, maka penempatan realistis jelas sudah wajib dihukum.
Tetapi…
Dalam beberapa berita yang beredar, seperti yang dipertontonkan di Tidore saat dikembalikannya karpet masjid, setidaknya bisa menjadi tamparan bagi kita semua. Baik politisi dan masyarakat. Kok bisa sevulgar itu ya?
Karpet diseret keluar karena ketersinggungan masyarakat itu membuat malu. Hal-hal berbau agamis begitu, gampang sekali dipelintir dan salah satu agama akan kembali dipojokkan. Malah sudah terjadi.
Kata banyak warga maya, begitulah kalau agama dipakai untuk kepentingan politik praktis. Sudah tidak murni lagi. Rumah ibadaha seharusnya steril dari kepentingan politik. Hilirnya bisa saja untuk memisahkan rumah ibadah dengan gerakan politik.
Padahal, rumah ibadah adalah tempat yang bisa dipakai untuk berdiskusi soal bagaimana membangun kekuatan umat. Membangun kekuatan politik. Membangun toleransi dan memperkuat kerukunan masyarakat.
Belajar dari masa ke masa, masjid dari dulu memang sudah dipakai untuk tempat ngadem, tempat buat leyeh-leyeh para pejalan dari jauh. Kehidupan dlaam masjid memang sungguh indah.
Lantas mengapa kita jadi antipati ketika politik dirancang dalam rumah ibadah? Politik yang membawa kemaslahatan umat, tidak masalah kan? Justru jika ada perbedaan keputusan yang berasal dari sana, itu lumrah.
Adakah keputusan baik itu murni diterima semua khalayak dan tidak ditentang? Saya rasa, sangat sulit untuk memaksa semua orang untuk mengikuti kemauan kita. Tetapihal memisahkan politik dan rumah ibadah memang bikin nyeri di dada.
Caleg Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Ahmad Hatari, memainkan perannya sebagai politisi dalam masjid yang berada di Kelurahan Tomolou, Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara.
Ia meminta dipilih dan diangkat oleh masyarakat sana dengan memberi pelicin seperti karpet masjid. Ia mengakuinya. Ini bukan soal perihal membaca hati dalam kata pelicin di atas.
“Dengan demikian, saya berharap bahwa warga Tomolou ini memilih selain saya, ada beberapa lagi nama, tolong imbau kepada mereka, agar mereka juga bantu sajadah di atas, jangan saya sendiri,” ujar Hatari.
Dalam ucapan Hatari, sekilas tidak ada yang salah. Ia sudah mengaku dengan jujur bahwa ia sedang pamrih. Daripada ia mengaku tidak melakukan hal itu, lantas dalam hati mendendam dan memaki para remaja masjid dan seluruh isinya?
Tetapi satu hal yang tidak boleh dan kurang etis dilakukan Hatari, yakni memberi bantuan karpet itu. Jika memang ingin membantu, membantulah seikhlasnya, jangan berharap lebih pada orang yang kamu bantu.
Sulit? Memang sulit. Manusiawi. Lagipula siapa sih yang tahu ikhlas atau tidak? Tetapi ini berguna untuk meminilimalisir sakit hati, jika yang kauberi tidak menuruti apa yang kamu ingini. Dalam agama, satu pahala sudah kamu dapatkan. Kamu sudah untung.
Tetapi ini bukan soal Hatari saja. Kejadian seperti ini memang dipelihara. Contohnya metode yang dipraktikkan Hatari itu berani dilakukannya di Tomolou. Tanpa malu. Tanpa segan memberi karpet masjid.
Masyarakat yang menerima juga salah. Apalagi yang melibatkan pejabat di daerah sana. Hatari mengungkapkan, kalau ia dijembatani oleh lurah setempat untuk memasukkan bantuannya ke masjid itu.
“Jadi testimoni dari ketua masjid itu, jadi tanggal 17 April nanti, warga di Kelurahan Tomolou, satupun (tidak) pilih orang lain, semua harus pilih saya,” kata Ahmad Hatari.
Sayangnya, pada saat pemilu, hasil perolehan suara tidak menunjukkan hal yang sama. Ini memang rentan terjadi. Tidak boleh ada jaminan bahwa basis suara harus melulu satu orang. Bisa saja orang punya pilihan lain, ya kan?
“Ternyata kemarin tanggal 17 itu warna-warni sehingga saya patut mempertanyakan itu,” terang Ahmad Hatari.
Ahmad Hatari menyebut, jika nanti dirinya terpilih, ia akan memberikan bantuan karpet sajadah lagi di lantai 2 masjid.
“Saya sudah menjanjikan sajadah di lantai 2 masjid itu akan saya pasang, dan bersepakat dengan Lurah Tomolou, dan jemaah masjid sajadah di lantai atas dipasang, dengan catatan apa yang disampaikan Pak lurah itu terwujud,” tambah Ahmad Hatari.
“Bahwa tanggal 17 itu saya menang, ternyata yang keluar itu warna-warni,” terangnya.
Lurah disebut. Pengurus masjid disebut. Ada apa ini? Mengapa pengurus masjid tidak menjawab diplomatis saja atau bahkan menolak sumbangan, jika ujungnya harus karpetnya yang dibawa keluar dari masjid? Jika ada pilihan lain, mengapa tak disampaikan, biar kita tidak dianggap sebagai orang yang rakus, makan sini dan sana.
Alih-alih menyalahkan politisinya, kita juga sebaiknya menyalahkan diri sendiri. Kejadian ini jangan sampai terulang lagi. Kasihan, rumah ibadah dan keumatan jadi preseden buruk di kancah perpolitikan lagi.
Berpolitik boleh saja, tapi menunjukkan tabiat buruk seperti pamrih dan suara yang mudah terbeli, saya rasa salah. Semoga hal ini bisa menjadi bahan buat renungan, agar tak ada Hatari lain dan tak ada remaja masjid lalin yang menyeret karpet dengan penuh amarah di dalam dadanya.