Lontar.id – Polarisasi Pilpres 2019 berdampak desktruktif ketimbang konstruktif, penyebabnya kedua kubu paslon semakin menperuncing perbedaan di masyarakat, sehingga tak jarang terjadi tindakan anarkis.
Bila Anda pendukung Jokowi secara otomatis disebut ‘cebong’ sebaliknya pendukung Prabowo disebut ‘kampret’. Dua konotasi negatif yang semakin melebar di negeri ibu pertiwi yang katanya negara beradab. Bila memang beradab, cacian dan makian tidak akan pernah ada seperti sekarang.
Puncak dari kekonyolan Pilpres 2019, membawa dua arus besar ke dalam potensi konflik laten, pertama terjadinya kerusuhan 21 dan 22 Mei di Bawaslu dari pro Prabowo-Sandi yang menewaskan banyak orang. Jika dari awal kedua paslon saling merangkul dan menahan diri untuk tidak saling menyerang melalui media sosial, kejadian seperti ini tidak akan terjadi.
Lebih konyol lagi, pasca Pilpres isu tentang pemisahan diri atau keinginan oknum melakukan Refendum Aceh merdeka kembali disuarakan. Keanehan ini sangat jelas terlihat, sebab oknum yang menyuarakan isu refendum merupakan bagian dari tim pemenangan Prabowo-Sandi.
Kekalahan di Pilpres 2019 adalah imbas dari adanya wacana refendum, jika sebaliknya, Prabowo-Sandi menang kemungkinan wacana ini tak akan bergema kembali. Pemilu seharusnya menyatukan kembali semua kultur dan kebudayaan Indonesia, bukan malah menciptakan disentegrasi yang justru merugikan kita semua.
Berawal dari pidato mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang juga Ketua Partai Aceh, Muzakir Manaf pada saat peringatan wafatnya Tgk. Muhammad Hasan Ditiro di Gedung Amel Banda Aceh pada 27 Mei 2019 lalu. Serupa serupa juga pernah diungkapkannya pada 3 Juni 2010 dan 3 Juni 2019.
“Alhamdulillah, kita melihat saat ini, negara kita di Indonesia tidak jelas soal keadilan dan demokrasi. Indonesia dia bang kehancuran dari sisi apa saja. Itu sebabnya, maaf Pak Pangdam, ke depan Aceh kita minta referendum saja,” kata Muzakir Manaf
Muzakir Manaf menyerukan wacana referendum karena melihat proses demokrasi di Indonesia jauh dari kata jujur dan adil, hal itu menyebabkan dirinya kembali menaikan wacana referendum. Sekilas dapat kita lihat, bahwa wacana ini memang sengaja dimanfaatkan saat momen pemilu, terlebih lagi ketika jagoannya kalah di kontestasi.
Benarkah demokrasi di Indonesia seperti yang dituduhkan Muzakir Manaf, dalam konteks ini saya akan sepakat bahwa demokrasi kita belum berjalan sesuai dengan harapan. Bukan saja pada saat pemilu terjadi kecurangan, tapi hampir di segala bidang. Baik itu pada saat rekruitmen pegawai, pengisian jabatan di birokrasi yang sangat kental dengan nuansa kolusi dan nepotisme dan seabrek kasus lainnya.
Sebagai bangsa yang baru saja Menginjak umur 73 tahun, tentu ini jadi pekerjaan rumah yang amat berat, mengembalikan demokrasi ke ruh dasarnya. Bukan saja pada pemerintah tapi kita sebagai warga negara harus menerapkan dalam aktivitas sehari-hari, sebagaimana poin yang tertuang dalam dasar negara kita Pancasila.
Demokrasi yang berjalan tertatih-tatih, penegakan hukum yang masih memandang bulu (tajam ke atas tumpul ke bawah), tidak menjadikan kita mengambil sebuah kesimpulan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagaimana platform yang santer terdengar, bahwa NKRI dan Pancasila harga mati.
Tanggapan Wiranto Menkopolhukam
Wacana referendum Aceh Merdeka mendapatkan banyak tanggapan dari pemerintah, seperti Menkopolhukam Wiranto. Referendum Aceh isu lama yang kembali diangkat ke permukaan, lantaran adanya kekecewaan terhadap pelaksanaan pemilu 2019 yang diklaim curang.
Jika menelisik pada TAP MPR Nomor 8 tahun 1998 yang mencabut TAP MPR Nomor 4 Tahun 1993 tentang referendum. Lalu diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1999 yang mencabut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang referendum.
Amanat Konstitusi ini sangat jelas sekali, bahwa di dalam kerangka hukum kita tidak lagi mengenal adanya istilah referendum karena sudah dicabut dan tidak punya payung hukum yang melegalkan.
Dari acuan ini, kita bisa melihat wacana referendum bukan murni karena keinginan masyarakat Aceh, melainkan adanya oknum yang memaksakan kehendak karena kalah dalam pemilu, sehingga dilarikan ke isu Aceh.
Menurut saya, wacana Referendum Aceh sama halnya dengan mengungkit kembali kejadian kelam di masa lalu. Di mana Militer melakukan operasi Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989-1998. Harus berapa nyawa lagi yang hilang, masyarakat Aceh sudah merasakan kehidupan yang harmonis sebagai bangsa yang beranekaragam, jadi, tidak perlu diungkit kembali.
“Jadi, ruang untuk referendum di dalam hukum positif di Indonesia sudah tak ada. Jadi, enggak relevan lagi,” kata Wiranto
Pernyataan Wiranto tentang tidak ada lagi istilah referendum di Indonesia, juga suarakan oleh Wakil Ketua DPD, Nono Sampono. Sebab istilah tersebut sudah lama dicabut di konstitusi, dengan adanya wacana tersebut akan menjadi bola liar dan dapat dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Apalagi saat ini rentan konflik politik pemilu masih belum padam. Bila kedua isu ini semakin diwacanaka maka tidak heran kalau konflik berkepanjangan bisa timbul dan korban akan berjatuhan.
“Saya ingin mengajak seluruh elemen bangsa jangan terprovokasi, terlalu mahal harganya mempertaruhkan kedaulatan negara ini, hukum konstitusi sudah jelas tidak ada negosiasi terhadap kedaulatan negara. Sekali lagi saya tegaskan, jangan sampai ada derita rakyat, air mata dan darah tumpah di Bumi Indonesia, karena NKRI sudah final,” ujar Nono Sampono