Lontar.id – Revisi 155 buku Pendidikan Agama Islam (PAI) segera uji publik, termasuk buku mata pelajaran Al-Quran Hadis, Fiqih, Akidah Akhlak, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab.
Hal itu disampaikan oleh Menteri Agama (Menag) RI, Fachrul Razi, seusai Rapat Kerja tentang Pendahuluan Penetapan BPIH 2020M/1441H di Jakarta, Kamis (28/11/2019).
Melalui rilis tertulis, Fachrul mengatakan, proses review dan revisi ratusan buku PAI tersebut telah melalui beberapa tahapan. Dia berharap, tanggal 20 Desember mendatang sudah bisa uji publik.
Proses revisi itu juga melibatkan seluruh elemen masyarakat.
“Nah ini kita harapkan tanggal 20 nanti sudah siap untuk uji publik, dan di bulan Juli nanti 2020 ini sudah siap dipakai. Baik di Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, maupun Madrasah Aliyah,” ucapnya.
Fachrul menambahkan, rencana dan proses revisi tersebut bukan baru dilakukan, tetapi telah dilakukan sebelum dirinya menjabat sebagai Menteri Agama.
“Jadi saya garis bawahi, bukan berarti saya masuk kemudian diubah. Nggak begitu. Itu sudah berlangsung lama,” tegasnya.
Sementara, Sekretaris Jenderal Kemenag, M Nur Kholis Setiawan, menambahkan, revisi buku pelajaran menjadi suatu keharusan, agar dapat menyesuaikan dengan kebutuhan zaman. Dia mencontohkan Filipina.
“Misalnya, kami terinspirasi ketika Filiphina mewajibkan pelajaran Bahasa Arab sejak dia SD, SMP, SMU,” kata Sekjen.
Hasil pendidikan tersebut menghadirkan tenaga kerja-tenaga kerja yang andal berbahasa arab. “Jadi kalau kitab belanja ke Abu Dhabi melihat ada yang berbahasa Arab, itu orang Piliphina. Di sini saya kira perlu dilakukan revisi. Itu salah satu contoh saja,” ujarnya.
Dia juga menjelaskan, kelima mata pelajaran itu memerlukan perhatian dalam pendidikan madrasah. Salah satunya adalah tidak cukup dengan intelektualita, tetapi harus dibalut dengan moralitas.
Bicara Alquran Hadis, kata dia, pasti belajar tentang sumber kebenaran dalam konteks keislaman. Sedangkan belajar Fiqih berarti bicara tentang intelektualitas.
“Bagaimana Fiqih bisa men-drive peserta didik untuk diajak berpikir. Tapi tidak cukup intelektualita, tapi juga harus kita balut dengan moralitas. Karena hanya berpikir tapi tidak punya moralitas kan nggak bener,” paparnya
Sedangkan untuk akidah dan akhlak, menurut Nur Kholis, membutuhkan contoh. Apalagi penting bagi seseorang untuk menjadi pintar dan benar.
“Makanya kemudian ada akidah akhlaq. Nah ini semua kan memerlukan contoh. Contohnya dari mana? Tentunya dari Sejarah Kebudayaan Islam. Lalu mengapa harus bahasa arab? Karena semua kebanyakan ditulis dalam bahasa arab,” tutur Nur Kholis.