Sulit untuk membedakan seorang praja dan politisi saat ini. Peraturan memang membelit, namun selalu punya kunci untuk melonggarkan ikatannya.
Jakarta, Lontar.id – Dalam video viral yang beredar di seluruh Indonesia. Segerombolan camat bersama mantan gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo, kongko bersama dalam satu ruangan luas.
Para camat itu, dari pelbagai sektor daerah di Makassar, ada yang berpakaian dinas dan ada yang berpakaian biasa. Syahrul sendiri yang tampil elegan. Gayanya rapi, jaketnya putih, di dadanya tertulis nomor satu.
Video itu mengerikan. Saya sampai merinding dan takut, mengapa sampai berteriak-teriak menyebut identitasnya dan mengacungkan jari telunjuknya di video.
Beberapa orang pernah saya wawancara. Baik Camat Manggala, Camat Tallo, Camat Biringkanayya, dan Camat Wajo. Tiga di antaranya baik dan santun sekali. Saya merasa komunikasinya seperti keluarga saya sendiri.
Barangkali kaubisa merasakannya, teman. Saat kau berdiskusi, matanya menatapmu, dan ia sekali-sekali tersenyum. Intonasinya teratur dan kalimat-kalimat yang ia lontarkan sangat sopan. Sopan.
Cuman yang di Manggala saja, yang pernah menaikkan tensi bicaranya saat saya wawancarai ihwal sebuah masalah yang menyeret saya. Saya tidak tersinggung. Itu risiko pertanyaan saya. Sudah biasa saya diintimidasi saat adu argumen.
Begini. Ibu saya itu, termasuk saya, adalah golongan keluarga yang miskin. Rumah kami di Kampung Baru, Antang, bahkan terbilang kecil dan reyot.
Pleseteran rumah kami, semennya sudah terkupas sampai besi cornya tercerabut. Kayu-kayu di lantai 1 sudah rapuh. Jika berjalan, kami sekeluarga tidak boleh berjalan cepat dan mengentakkan kaki dengan keras.
Masalah itu masih segar dalam ingatan saya. Waktu itu banjir bandang, dan misal kau tak terima bantuan dari pemerintah, kau pastinya protes. Tetanggamu juga merasakan hal yang sama.
Kaki ibu saya sudah gatal-gatal. Ia akrab dengan air keruh. Ia butuh obat. Selama berminggu-minggu, belum ada makanan dan tablet penyembuh yang datang.
Bantuan malah datang dari orang lain soal makanan. Kami bersyukur, masih banyak orang baik. Pemerintah juga baik, sebab ia menyiapkan perahu karet. Pastinya dengan koordinasi dengan camat dan lurah setempat.
Banjir sudah selesai. Air surut dan tanah mengering. Saya bertanya pada Camat Manggala yang dulunya diisi Anshar Umar, mengapa bantuan lambat datang di sekitar rumah saya? Ia berkata ngalor ngidul dan ke sana ke mari.
Lalu saya ke Lurah Antang, Fadli, yang sekarang jadi Camat Manggala, dan terseret kasus pelanggaran kampanye. Katanya banyak yang pihaknya kerjakan sehingga bantuan lambat turun. Nadanya saya ingat, tinggi. Maklumlah, pertanyaan saya tajam. Tak masalah.
Anshar kini digeser posisinya setelah fotonya beredar sedang makan bareng dengan Pendiri Bosowa Corp, Aksa Mahmud. Lagi-lagi pemindahannya politis benar. Wali Kota Makassar, Danny Pomanto, paham itu.
Aksa beberapa tahun yang lalu memang memasang mantunya, Munafri Arifuddin, untuk bertarung dengan Danny, pimpinan praja Anshar saat itu.
Kini, saya melihat betapa menyedihkannya tindakan seorang camat. Saya bertanya, apa posisi Syahrul di situ? Mengapa bukan Danny yang membimbing mereka dalam mendukung salah satu pasangan pilpres?
Soal peraturan yang membelit, tak usah dulu dibicarakan. Instrumen pemerintah memang ladang basah untuk meraup suara sebanyak-banyaknya. Pertama, kita harus menyepakati itu.
Fadli berteriak kencang dalam video. Sama seperti saat orang-orang di luar Makassar atau perantau, mendengar orang Makassar berbicara dengan sekampungnya, seperti ingin baku hantam dan marah-marah.
Apa maksud Fadli dan camat yang lain berteriak-teriak? Mau mengintimidasi warganya sendiri? Lalu jari telunjuk yang diacung ke samping untuk apa? Simbol pilihan ke salah satu pasangan pilpres? Aduh, Pak, Bu…
***
“Maksud baik saudara untuk siapa? Saudara berdiri di pihak yang mana?” Begitu kutipan sajak Pertemuan Mahasiswa yang dipopulerkan WS Rendra.
Bisakah camat-camat yang saya hargai dan sayangi, menolak dengan halus soal permintaan berbau kampanye terbuka dalam video yang beredar sebelumnya. Beranikah mereka?
Saya membayangkan, para camat itu bilang ke atasannya: Pak/Bu, maaf, ini terlalu riskan. Bisa jadi bumerang buat Anda, saya, pemerintahan yang sekarang, dan netralitas aparatur sipil negara.
Saya berpikir sampai ke arah sana, karena saya benar-benar perhatian dengan mereka. Mereka orang yang baik. Orang yang pernah membuka pintunya dengan lebar untuk saya masuki; untuk saya wawancarai.
Tapi kenyataan berkata lain. Mereka melakukan hal yang bikin gaduh. Ini momen politik, yang membuat publik terbelah soal memilih Jokowi-Ma’ruf atau Prabowo-Sandi. Dan bagi saya, pilihannya keliru. Bukan pilihan politiknya, namun penyiarannya yang vulgar.
Jika pun tidak dilakukan dan terpaksa jabatannya harus ditumbalkan, camat-camat mungkin harus baca sejarah ulang. Dulu, Pak/Bu, seorang tetua dari Minang, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) namanya, meletakkan jabatannya karena intevensi atasannya.
Dalam ucapannya di hadapan pewarta, Buya Hamka yang undur diri sebagai Ketua Umum MUI, berkata kalau sikapnya disebabkan oleh fatwa MUI 7 Maret 1981.
Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya, jika mengharapkan umat Islam mengikuti upacara Natal, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa.
Prinsip atau langkah politiskah itu? Saya kira itu prinsip. Itu adalah hal yang tak bisa ditawar lagi menurut Buya Hamka. Tak boleh berkompromi soal sensitivitas agama. Ide dipertentangkan di ruang publik dan ia ikhlas kehilangan jabatan.
Lalu pernah, Pak/Bu, saya ingin mewawancarai seorang praja di Makassar. Ia menolak. Saya kenal baik pejabat pemerintah kota itu. Ia sangat baik. Sangat. Mengapa ia menolak untuk mengulas citranya? Sebab ia tak mau dibesarkan.
“Saya cuman ingin kerja, Dik. Biarlah jabatan saya begini saja. Alhamdulliah, penghasilan saya cukup. O, ya, jika ingin ke kantor, silakan. Kita bisa berdiskusi soal agama, salat berjemaah bareng, sambil ngobrol-ngobrol. Tapi jangan wawancara soal citra. Saya tidak mau,” ujarnya suatu kali, saat bertemu di bilangan Jl Athirah Raya, Kompleks Haji Kalla, Makassar.
Terakhir, saya ingin bertanya, gerakan bareng bikin video bersama Syahrul itu, prinsipil atau politis. Jika prinsip dan dengan berani menyampaikan ke publik soal pilihannya saking cintanya dengan pasangan capres, saya kira tidak masalah.
Jika politis untuk mengamankan jabatannya di pemerintahan, saya kira juga tidak masalah. Dalam pemerintahan memang ada kompromi, bukan? Intimidasi dari zaman Bung Karno dan Jokowi selalu punya kisahnya sendiri.
Kita harus mengangkat dua tangan kalau Indonesia adalah negara demokrasi. Namun, dalam undang-undang nomor 7 Tahun 2017, tercantum kalau ada larangan khusus bagi pelaksana dan atau tim kampanye pemilu yang melanggar.
Juga diatur dalam pasal 493 dan pasal 280 ayat dua, yang berbunyi, para pelanggar dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta.
Saya tulis ulang aturan itu, mana tahu para camat-camat yang baik itu lupa. Kedua, saya menulis kisah ini untung mengenang Buya Hamka yang meletakkan jabatannya. Kukira ada yang seberani dia, ternyata tidak. Mungkin nanti. Nanti.