Jakara, Lontar.id – Kerusuhan besar terjadi di Ibu Kota, Jakarta, 22 Mei 2019 malam. Aksi massa yang saling serang dengan polisi di depan kantor Bawaslu terjadi hampir bertepatan saat para atlet Bulu Tangkis sedang berjuang membawa nama Indonesia di Naning, China. Tujuan para pebulutangkis kita jelas. Bertekad juara dan membawa pulang Piala Sudirman kembali ke Indonesia.
Seolah tak terpengaruh dengan kondisi yang terjadi di tanah air, para atlet tetap berusaha maksimal saat berhadapan dengan Denmark. Meski pada akhirnya tim Indonesia kalah 2-3, namun mereka tetap keluar sebagai juara grup 1B. Itu berkat poin kemenangan telak 4-1 sebelumnya saat melawan tim Inggris.
Tim Indonesia hanya membutuhkan satu kemenangan lagi saat melawan China Taipe di perempatfinal. Kemenangan itu akan menaikkan satu langkah lagi harapan Indonesia ke semi final dan jalan menuju final piala Sudirman.
Para pebulutangkis kita tak hanya asli Indonesia. Sebagian merupakan keturunan warga negara China dan beragam suku yang lebih peduli mengangkat prestasi Bulu Tangkis Indonesia di mata dunia. Lihatlah bagaimana kapten tim Indonesia Hendra Setiawan-Mohammad Ahsan berjuang dengan tujuan mulia.
Pasangan ganda putra tersebut merupakan perpaduan orang Indonesia asli dan warga keturunan. Hendra merupakan warga Indonesia keturunan Cina. Sementara Ahsan adalah warga Palembang dan merupakan muslim yang taat. Prestasi mereka tak lahir karena SARA apalagi saling menjatuhkan karena perbedaan agama. Keduanya menunjukkan persatuan dan kolaborasi untuk sebuah prestasi bagi negaranya. Bukan dengan jalan keributan yang melahirkan sensasi semu.
Atlet bulu tangkis pastinya tak tahu atau mungkin saja tak mau tahu seperti apa itu politik. Para atlet dari berbagai cabang Olahraga lainnya tentunya tak pernah mengenal perpecahan, kerusuhan, apalagi saling serang sesama warga negara.
Mereka pasti tak mau tahu apa itu ambisi kekuasaan. Yang mereka tahu bagaimana bersatu dan mencapai kejayaan. Bukan kejayaan pribadi. Tetapi kejayaan sebagai juara untuk negerinya. Sebuah prestasi yang mengharumkan nama Indonesia dan membuat bangsanya disegani oleh warga negara lain.
Tetapi, situasi politik kita di Indonesia sepertinya tak pernah mengenal itu. Persatuan dan kesatuan bangsa agar Indonesia disegani oleh bangsa luar tinggal ucapan semata. Beda pilihan politik bisa menimbulkan perdebatan hingga pertikaian. Apalagi dibumbui dengan isu kecurangan. Dampaknya sudah terlihat.
Perbedaan politik yang diharapkan dapat segera menyatu setelah hasil Pemilu diumumkan tak terjadi. Kerusuhan yang menimbulkan korban meninggal dan luka-luka terus bertambah. Dan bentrokan yang terjadi lagi-lagi dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia. Yang lebih memiriskan lagi, sebagian para pelaku dan korban hanya sekadar ikut-ikutan–dan tak tahu misi apa yang mereka perjuangkan.
Provokatorlah yang akan jadi pemenang. Karena mereka ‘kenyang’ saat kerusuhan pecah. Mari mengasihani diri yang tak akan mendapatkan apa-apa saat keluarga atau saudara kita yang menjadi korban.
Kebanggan dan kejayaan apa yang dicari? Sepertinya peribahasa menang jadi abu kalah jadi arang akan terus mengiringi aksi kerusuhan. Yang katanya hanya karena tak terima dengan hasil pemilu di bulan Mei 2019 ini.
Bukankah regulasi kita sudah mengatur berbagai penyelesaian sengketa. Haruskah hanya karena ambisi kekuasaan sebagian orang hingga menimbulkan korban yang tak tahu apa-apa? Belajarlah dari para atlet bulu tangkis kita. Tak perlu menjadi massa yang brutal untuk meraih abu atau arang. Berprestasilah di bidang dan keahlianmu, maka kebanggan dan kejayaan akan mengangkat bangsamu.