Jakarta, Lontar.id – Menjadi Sandiaga Uno itu sulitnya bukan main. Banyak orang yang ingin kaya, namun tidak ingin sulit. Tidak ingin berletih-letih. Itu makanya, orang biasa di Indonesia sangat banyak jumlahnya.
Saya salah satu orang yang tidak ingin menjadi Sandiaga Uno. Pertama, tampang saya pas-pasan, badan saya tidak atletis, dan duit saya tidak banyak. Tetapi soal bisnis, insyaallah saya sudah bisa jalankan sendiri.
Menjadi Sandiaga Uno itu sulit. Apalagi sudah masuk dalam pusaran media. Diberitakan ini dan itu. Semakin tinggi pohon, memang semakin rentan disapu angin ke kiri dan ke kanan. Itu konsekuensinya.
Beberapa hari yang lalu, Sandiaga Uno jadi perbincangan lagi. Ia dicari-cari saat tak ada dalam deklarasi kemenangan Pilpres 2019 oleh Prabowo. Mata awak media memang selalu melihat hal-hal yang ganjil. Sudah tugasnya.
Lalu ditanyalah Badan Pemenangan Prabowo Sandi. Dijawablah, kalau Sandi sedang sakit, makanya tidak bisa hadir. Lalu muncul prasangka baru lagi, dengan awal kata “jangan-jangan…”
Untuk melengkapi momen itu, maka dibuatlah cerita-cerita yang tidak jelas sumbernya, kalau ada pengusiran di Jalan Kertanegara, di rumah Prabowo Subianto. Sandi dikabarkan diusir oleh Prabowo. Untung saja media memverifikasinya.
Inti ceritanya adalah, Sandi tak suka dengan klaim kemenangan yang dilakukan Prabowo, padahal versi hitung cepat atau quick count, ia dan pasangannya bertekuk lutut atas Jokowi. Perbedaannya cukup besar 10-11 persen, tergantung lembaganya.
Sebab tidak setuju, Prabowo diceritakan pukul meja dan mengusir Sandiaga keluar dari koalisi. Dengan kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Prabowo, Sandiaga disebut langsung pergi dari hadapan Prabowo.
Susah memang jadi Sandi. Tidak hadir saja, sudah dicerita yang tidak-tidak. Memangnya urusan Sandi cuma pilpres saja? Mengapa tidak bisa berpikir kalau ia punya anak, dan urusan-urusan lain?
Kedua, masing-masing kita mengasihani Sandi dengan kalimat-kalimat pedih seperti, “kasihan ya, Sandiaga Uno, sudah keluar banyak, tetapi tetap saja kalah,” atau “Kalau saja uangnya Rp1 triliun dipakai buat blablabla…”
Seharusnya kita juga mengasihani diri kita sendiri sebab jarang sedekah dan berinfak. Bahkan untuk bayar parkir saja, yang kemahalan, kita masih kasihan sama uang kita sendiri. Padahal rezeki kita itu, kalau bentuknya uang, bisa mempermudah banyak hidup orang lain, tetapi kita memang…
Susah memang jadi Sandi. Keluar uang banyak dikasihani. Keluar uang sedikit dibilang pelit. Kita ini sepertinya tidak pernah bertaruh dalam hidup. Soal begitu saja dikasihani. Ya, namanya juga bertaruh.
Yang salah kalau bertaruh, tidak ingin mengorbankan apa-apa.
Ketiga, ribuan tempat sudah didatangi Sandiaga Uno. Tidak sekalipun ia terlihat lelah. Selalu saja ia mengobarkan semangat pada relawan atau tim-timnya. Setiap hari selama masa kampanye, Sandi berpindah dari daerah satu ke daerah lain.
Butuh kekuatan yang besar untuk menyemangati diri setiap bangun pagi, kalau kita akan pergi lagi ke beberapa tempat dan mengeluarkan tenaga ekstra untuk berbicara, berjalan, dan lainnya.
Demi apa, jika kita di posisinya, kita mungkin saja takluk karena badan sudah meminta untuk istirahat. Memforsir tenaga itu sangatlah sulit. Tetapi kita semua tidak pernah mau mengerti. Mengerti dalam apa itu?
Begini. Sandi akhirnya hadir dalam deklarasi kedua Prabowo di Jalan Kertanegara. Ia datang karena banyak orang yang rindu, dan berita-berita bernada sentimen mengepung dirinya. Di antara semua itu, ada banyak tanya: ke mana Sandiaga?
Ia datang dengan pernyataan sebelumnya kalau ia sedang sakit. Selama berkunjung ke ribuan titik di Indonesia, sudah waktunya mungkin dirinya tumbang. Datangnya dirinya dengan wajah pucat pasi, membuat kita terenyuh, padahal seharusnya ia istirahat di rumahnya.
Sebab pucat dan murungnya ia, sewaktu mendampingi membacakan pidato deklarasi lagi, dibuat lagi narasi seolah-olah ia tidak menerima keputusan Prabowo. Saat Sandi diam pula, ia diliput. Orang diam diliput.
Mengapa kita harus terus memaksa orang sakit harus seekspresif kemauan kita? Kita memang ahli cocokologi. Kalau Sandi murung, ditambah momen politik yang tepat, ditambah berdiri di samping Prabowo, itu artinya ia tidak setuju dengan kebijakan Prabowo.
Tentu saja ini bukan sebuah bentuk dukungan saya pada salah satu paslon. Tetapi ini untuk membangkitkan rasionalitas kita melihat orang yang sakit. Sebab Sandi masih menjadi manusia. Sandiaga bukanlah robot yang tidak ada lelahnya.
Kalau ada yang bilang saya bawa perasaan atau baper, tak apa. Baper sama orang sakit itu baik. Jadi saya deklarasikan diri saya, kalau saya bersamamu wahai para pekerja yang kalau sakit, malah dibikin cerita ini dan itu, dan masih saja disuruh kerja.
“Saya manusia, bukan robot!” Itu yang kerap melintas di kepala saya, kalau permintaan bos sudah aneh-aneh untuk menuruti kemauannya, saat saya sedang dalam kondisi yang tidak enak badan.