Lontar.id – Corona (pandemi Covid-19) mengubah keteraturan menjadi kekacauan. Dari cosmos menjadi chaos. Namun, ada dampak positif dari semua kejadian tersebut. Hal itu disampaikan oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengkubuwono X, Selasa, 16 Juni 2020.
Pernyataan Sultan tersebut disampaikan dalam #SultanMenyapaJilid9. Dalam sapaannya, Sultan mengatakan, di DIY, reformasi birokrasi telah digulirkan sejak Maklumat No. 10/1946 tentang Perubahan Pangrèh Prâdjâ ke Pamong Pradja.
Esensinya bukan sekadar istilah, tetapi juga mengubah tata pemerintahannya, dari Abdi-Negara ke Abdi-Masyarakat. Di sanalah sumber Filosofi ASN itu, dari “dilayani” menjadi “melayani”. Mereka bukan sekadar kerumunan pekerja kantoran, tapi insan peradaban sarat empati.
“Corona mengubah keteraturan menjadi kekacauan. Dari cosmos ke chaos. Dampak positifnya, adalah pergeseran peradaban yang mengubah perilaku. Budaya bersih, peduli lingkungan, belajar disiplin, menguji rasa kemanusiaan dan semangat kegotongroyongan, juga menyadarkan manusia akan makna kehidupan yang lebih hakiki,” urainya, seperti tertulis dalam rilia Pemprov DIY.
Konsekuensinya, ASN harus bersiap diri memasuki Era Normal-Baru dengan norma dan etika yang baru pula. Lanjutannya, ASN harus mengubah mindset, karena masyarakat yang dilayaninya pun semakin cerdas –knowledge society, dengan tuntutan yang beragam.
“Sedangkan di depan tak ada jalan, kecuali membangunnya sejak dini!,” Imbuh Sultan
Jalan, menurutnya, adalah sesuatu yang linier, dan di dunia yang tidak linier, penuh lonjakan gejolak ini, kita harus melakukan lompatan pemikiran non-linier. Dari daratan yang dikenal baik ke sebuah pulau yang tak dikenal sama sekali. Dari terra firma ke terra incognita. Bukan dengan “sedan mewah” masa silam. Tetapi “jip persneling ganda” yang bisa menjelajah medan sulit dan mudah untuk dimanuver.
Meski bermetafora mekanis, wahana baru itu, kata Sultan, tetap punya hakikat organisme biologis yang hidup. Bukan mesin. Birokrasi baru itu merupakan jaringan pemikiran trans-disiplin, para pakar yang berbagi ilmu, perwujudan TripleHelix model Jogja.
“Mereka ada yang di dalam dan yang lain ada di luar birokrasi. Sehingga menjadikannya birokrasi cerdas, karena digerakkan oleh mesin imajinasi manusia. Mengundang partisipasi publik dan mitra kerja untuk melakukan penjelajahan Era Normal-Baru, berkolaborasi mendefinisikan protokol Norma-Baru,” urainya.
Sayangnya, imbuh Sultan, tak ada perhentian dalam rally ke masa depan itu. Tak ada jeda untuk memulihkan tenaga, karena proses perubahan itu sendiri menjadi lomba adu cepat dan asah cerdas. Mereka yang terlalu lama menjalani proses itu dan berlaku bimbang, bisa menjadi pecundang. Lebih buruk lagi, tak dapat turut serta dalam perjalanan.
Karena itu, harus dilakukan perubahan radikal terhadap Birokrasi agar tidak Birokratis, tapi Inovatif, aplikasi dari simbol “Satriya” yang tersemat di dada, meski perubahan itu pun harus dilakukan di tengah lomba itu sedang berlangsung.
Inilah gambaran Birokrasi yang Melayani, bentuknya ramping, proaktif, responsif, partisipatis, sarat empati dan mudah bergerak cepat untuk hadir di tengah masyarakat, membangun relasi, bermitra mencari solusi.
“Ayo! Hidupkanlah mesin birokrasi sebagai aktor perubahan dan insan peradaban yang melayani seperti itu. Ya Allah, jauhkanlah itu semua dari sebuah utopia, dan dekatkanlah menjadi realita,” tutupnya.